"Untung poskonya dipindah ke Jateng kalau tidak, mungkin ya bantengnya masih merumput terus."Â
Cuplikan berikutnya adalah saat Megawati menyampaikan betapa capeknya beliau saat Pilpres, bertempur dengan Kubu Prabowo, "Capek saya perang terus, Bapak (Prabowo) sih bikin saya capek."
Tentu saja hal ini disambut pecahnya gelak tawa seluruh hadirin.
Saya tidak hanya ingin menyampaikan bagaimana suasana cairnya hari ini, tetapi saya ingin menyoroti bagaimana keikhlasan seorang Megawati Soekarnoputri dalam mengahadapi segala peristiwa.Â
Bagaimana kekuatan dan keteguhan hatinya, dalam melangkah dan mengambil keputusan secara konsisten dalam panggung politik Indonesia. Tanpa keikhlasan yang demikian dalam, maka tidak akan pernah lahir kekuatan dan keyakinan yang demikian besar.
Tanpa keyakinan, tidak akan lahir keikhlasan yang demikian kuat. Dua hal yang saling berkaitan. Dan ini telah dimiliki dengan sangat sukses oleh Megawati sehingga mampu merangkul semua perbedaan dan pertempuran dengan suasana tetap membahagiakan.
Megawati sangat layak diberi gelar Ibu Demokrasi, di mana saya pernah melihat dan mendengarkan secara langsung di depan saya pada suatu waktu yang sangat lampau di rumahnya, di Teuku Umar.Â
Saat itu ada seseorang yang sedang menghadap, kalau tidak salah itu masih ada hubungan saudara dengan Almarhum suaminya, Bapak Taufik Kiemas, yang bersangkutan menyampaikan keinginannya untuk menjadi ketua DPD dan sekaligus jabatan politis, kalau tidak salah ketua DPRD.
Megawati menanggapi dengan wajah yang sangat datar, tanpa kemarahan, bahkan dibilang dengan sangat keibuan, khas Ibu Megawati. Dengan tangan bersedekap di dada, Ibu berkata kepada orang yang duduk di depannya, "Ya tidak bisa begitu. Kamu harus milih salah satu. Kalau orang itu namanya serakah, semua mau diambil sendiri. Sana kamu itu mikir dulu, nanti mantepnya yang mana, jangan dua-duanya. Milih itu ya salah satu, bukan semua. Masing- masing tugas itu berat tanggung jawabnya, nanti hasilnya juga tidak bagus." Orang itu diam menunduk.
Bu Megawati mengalihkan perhatian ke saya dan berkata, "Ini lho penyakit, kalau mau terpilih ngomongnya manis-manis. Nanti kalau sudah jadi dan menang, baru sebentar saja suka lupa sama tugas awalnya, rakyat yang milih malah ditinggalkan. Piye tho, makanya aku itu suka nyinyir nek sama anak-anak itu."
"Kalau dibukukan aku marah-marah ke anak-anak itu sudah jadi berjilid-jilid serinya." Dan kami langsung tertawa bersama-sama mendengar gurauan Ibu yang selalu penuh dengan kesabaran ini.