Panembahan Senopati mendekatiku bersama dengan Gusti Haryo Mukti.  Keduanya memegang pundakku kiri dan kanan. Dengan sangat pelan mereka bertanya kepadaku, "Anakku, maaf kami melihat sesuatu yang mungkin belum  kami lihat, dan kami berharap kamu akan melihat sendiri. Tetapi kami menunggu demikian lama kamu belum melihatnya, dan mungkin harus  dijelaskan."
"Kamu tidak melihat dirimu sendiri di dalam dirimu? Coba ingat apa yang pernah kau kerjakan selama ini?"
"Aku berdoa untuk negeri ini, membantu orang-orang yang dekat denganku,  terkadang juga tidak dekat, tetapi aku selalu tidak tega melihat  semuanya."
"Dengan apa kamu membantunya?"
"Kadangkala aku mengirim energiku kepada mereka? Ki Juru, kenapa wajahmu  berubah menjadi aneh, katakan padaku apa yang terjadi?" Aku gemas  melihat semua ini, rasanya seperti terjebak dalam permainan yang  benar-benar akan memalukanku, dan semua ini membuat aku tidak sabar. Iya  aku menyadari sepenuhnya, ketidaksabaran yang timbul atas nama  kemanjaan kepada sesepuh sebagai momongan satu-satunya yang selalu  dituruti semua keinginannya. Hm, iya aku menyadari sepenuhnya kemanjaan  dan kecengenganku di depan mereka. Aku menarik nafas panjang dan  berusaha mengendalikan diriku sendiri. Mengembalikan kesadaran diri  bahwa aku tidak boleh terlalu manja dengan mereka, karena apapun  kondisinya, mereka akan menerima dan mengasihiku dengan tulus.
"Maafkan kami anakku, kami juga belum pernah melakukan ini semua. Tetapi  sepertinya ada yang salah dalam prosesmu. Karena setiap perjalanan  spiritual adalah sebuah perjalanan pembelajaran diri pribadi yang akan  berbeda-beda satu orang dengan orang lainnya, demikian juga dirimu  dengan sesepuh-sesepuh yang ada. Kami baru saja melihat dirimu  berserakan di mana-mana, menjadi lambaran negeri ini, di ujung timur dan  barat negeri ini, di setiap perbatasan negeri. Di tempat teman-temanmu,  kenapa kamu bisa melihat dan mendengarkan mereka dengan sangat jelas,  karena energi yang kau kirim sesungguhnya adalah bagian dari dirimu  sendiri, nyawamu, rohmu. Dan, hek hek, (Gusti Haryo Mukti berusaha  menahan tawa untuk meneruskan pembicaraannya), wajarlah jika sekarang  kamu merasa kehabisan energi dan kehilangan hampir separuh nyawamu,  karena memang nyawamu tanpa kau sadari kau berikan kepada orang-orang  yang minta tolong kepadamu. Hahhaha, aduh anakku, maaf aku tidak tahan  untuk tertawa, dan ragamu saat ini, ditempati oleh mereka-mereka yang  menduduki tempat kosong, berikut semua sisa-sisa hasil pembakaran energi  saat kamu sedang bekerja, panas tubuh yang semuanya menggerogoti  tubuhmu."
"Hohoho, anak wedhok kok mesake tenan tho yo." Ki Juru memelukku sambil  tertawa. Mereka sekarang semakin bisa tertawa setelah dapat melihat  dengan jelas, bagian-bagian tubuhku yang terpecah-pecah tidak  karu-karuan, berserakan, pathing klewer dan tersebar di seluruh negeri  ini. Dan Aku sendiri tetap saja belum bisa melihat diriku karena aku  belum mampu menyadari keadaan yang sesungguhnya. Iya aku mengerti,  pasti lucu sekali melihat badan penyusun bathinku terpecah  berkeping-keping dan berserakan di mana-mana. Dan perlahan, sayup-sayup  dalam sinar yang masih sangat redup aku mulai bisa merasakan apa yang  mereka lihat. Ya, aku merasakan kekosongan yang demikian besar di dalam  diriku.
"Anakku, kamu adalah manifestasi jagad ombo, di mana semua bagian negeri  ini bisa mengecil dan menyatu di dalam dirimu. Dan apa yang ada dalam  jangkauanmu sesungguhnya adalah dirimu sendiri, dan selama ini yang kau  lakukan saat menolong teman-temanmu, saat menolong negeri ini, engkau  telah mengorbankan dirimu sendiri. Tanpa kau sadari engkau telah  memberikan nyawa dan kekuatanmu untuk mereka. Dan sekarang kamu harus  merubah semua ini, sebelum semuanya akan habis dan mati menyusul kami."Â
Ki Juru menyampaikan penjelasan dengan terselip nada lucu di suaranya, Â tangannya direnggangkan dan lalu memelukku erat dengan perasaan sayang. Â Dan aku baru mampu menyadari kebodohanku.
"Anakku, tidak ada yang perlu disalahkan, karena kamu belajar sambil  mengerjakan, dan bukan belajar pakemnya, di jagad bathin belum ada pakem  yang bisa ditulis, yang aku harap kamu akan mampu melakukannya, kamu  berjalan tanpa guru dan tanpa kawan, seorang diri dan tidak ada yang  mendampingimu. Wajar sangat wajar jika kamu melakukanbanyak  kekeliruan, bahkan  anak kecil yang belum tahu api, bermain api juga akan terbakar,  demikian juga dengan dirimu. Hal yang sangat bisa dimaklumi, dan aku  sangat bisa mengerti."
"Tugasmu sekarang adalah menyusuri jejak demi jejak yang pernah kau  lakukan dalam seluruh perjalanan hidupmu dan menarik kembali apa yang  pernah kau lepaskan dari dirimu, dan puzzle-puzzle itu akan kembali dan  tersusun utuh di dalam dirimu.  Di sanalah kekuatanmu. Dan anakku,  sekarang kamu bisa mengerti kenapa mereka yang kau dampingi menjadi  sepertimu, karena sesungguhnya bagian dari dirimu telah kau berikan  untuk mereka, sebagian dari energi kehidupanmu. Sangat wajar, jika  engkau merasa sangat lemah dan tepuruk tak berdaya, sakit dan menderita"