Aku telah menjadi bagian dari proses perjalanan negeri. Dalam sebuah perjalanan yang demikian panjang, tanpa disadari aku telah menempatkan diriku sebagai pondasi, pondasi sebuah kelompok yang terbesar di negeri ini. Aku menempatkan diriku, sebagai bagian dari syaraf dan kekuatannya, menjadi urat nadi dan darahnya.
Aku terlalu mencintai mereka semua, hingga merasuk ke dalam lubuk hatiku, menyatu dalam darahku dan di dalam jiwaku. Sebagai aliran darahku, terbawa dalam hembusan nafasku.
Aku dan mereka tidak bisa lagi dipisahkan, menjadi satu. Seluruh cinta dan hidupku untuk mereka, walaupun mereka tidak mengerti, bahkan mungkin sangat-sangat tidak mengerti. Dan karena hal ini, aku memutuskan untuk mulai melepaskan dari mereka. Tidak mudah, sangat tidak mudah.
Gerakan adalah cara terbaik dalam sebuah pembelajaran keilmuan bathin, termasuk dalam melakukan ajian-ajian yang digunakan untuk berperang. Berdiri adalah kuda-kuda yang bagus saat melakukan pertarungan di dunia nyata, pencak silat dan seluruh ilmu bela diri, demikian juga dalam perjalanan bathin. Urip kuwi obah, nek obah mesti urip dan ora mati.
Secara lahiriah obah dalam hal ini adalah sebuah iktiar, usaha untuk mendapatkan penghidupan. Tetapi dalam peperangan bathin, obah artinya adalah sebuah penyerangan atau pertahanan, dan jangan sekali-kali kita diam, karena semua akan mati oleh dentaman hantaman serangan musuh yang tidak terlihat.
Aku bergerak dan terus bergerak, dengan kesadaran penuh tentang keadaan ini. Betapa aku harus berusaha melepaskan satu demi satu ikatan yang sudah ada, tepatnya, ikatan yang pernah kulilitkan ditubuhku. Tali temali yang sudah demikian erat, demikian liat dan demikian kuatnya semua putaran ini. Sungguh aku merasakan bahwa cengkeraman lilitannya mulai membelit tubuhku bahkan sampai masuk ke dalam tulang-tulang sumsum belakangku., menyakiykan.
Aku berusaha mempelajari semuanya dengan jeli, melihat setiap kelokan demi kelokan. Tali ini tidak boleh dipaksa untuk dilepaskan karena jika ada kesalahan dalam melakukan tarikannya maka aku akan menanggung resiko bagian syaraf-syaraf tubuhku dapat terputus dan mengalami gangguan fungsi.
Lilitan itu mencengkeramku demikian kuatnya, bagaikan akar gantung pepohonan, melilit bagaikan kawat yang tidak mudah dipotong oleh pisau, harus menggunakan arit yang besar. Lilitan itu telah membesar.
Aku mencoba melentingkan diriku jauh ke angkasa dengan gerakan memutar bagai spiral, dengan tubuh posisi rebahan. Satu demi satu, tali itu mulai ada yang bisa dilepaskan. Aku masih terus bergerak dengan posisi memutar, melawan ikatannya, tetapi cengkeramannya semakin kuat. Kulepaskan semua kekuatanku dengan mengalirkan air dari segala penjuru bumi, sebagian lagi sudah mulai lepas, tetapi aku masih melihat lingkaran-lingkaran masih ada di tubuhku, menyatu dengan syaraf-syaraf di tubuhku. Padahal jika diperhatikan, tali dan syarafku adakah dua hal yang sangat berbeda.Â
Air terus bergerak naik dari lautan, menyiram dan menghempas semua yang ada, menyapu bersih yang bisa disapunya. Tetapi karena demikian kerasnya onggokan dan tumpukan-tumpukan tali itu seperti telah menjadi batu candi, batu tugu besar yang sangat susah dihempaskan, dan digoyah dengan hempasan gelombang air dari lautan.
Ketika air lautan itu kembali ke laut, maka batu tugu raksasa tetap bertahan demikian kuatnya. Dan seketika aku membayangkan sebuah kekuatan yang tak tertanding, bahwa kekuatan yang paling kuat yang bisa melawan kekerasan adalah kelembutan. Teringat mainan anakku, squeeze, lembut dan lembek, sebuah bentuk yang tidak bisa menjadi pegangan saking lembeknya, saking lumernya.
Sesuatu yang demikian lembutnya, sehingga ketika diserang dalam kekuatan sebesar apapun tidak akan mampu menghancurkannya. dan aku mulai bisa merasakan saat mencoba membuat lembek diriku, tali-tali sebagai bagian simbol dari kepentingan-kepentingan yang ingin dicapai perlahan mulai melemah. Ibarat pohon yang ditancapkan ke dalam lumpur yang demikian lembek dan berair, perlahan pohon itu mulai roboh, tidka bisa berdiri tegak.
Beberapa bagian ikatan yang membelitku akhirnya tergelincir saking licinnya, saking lembeknya, tidak ada lagi bagian yang bisa menahannya. Aku membuat diriku sendiri menjadi demikian lembek, bukan cairan, aku berbentuk tetapi tidak bisa dibenturkan, apalagi dihancurkan. Gimbal tetapi sangat-sangat lunak, sungguh tidak mudah membayangkannya. Tetapi aku menemukan bahwa itu adalah kekuatan yang sesungguhnya.
Semua yang ada di sekitarku perlahan-lahan melunak, dan kehilangan kekuatannya. Ombak lautan yang bergulung-gulung dari berbagai sisi masih menerjang demikian kerasnya, bergemuruh menimbulkan suara keras, berdentuman, dan tugu batu itu akhirnya melunak perlahan dan terbawa oleh terjangan ombak lautan yang dihadirkan sebagai penyapu semua besarnya piranti dan kekuatan yang sudah dibangun sekian lama.
Di atasnya langit selalu ada langit, di setiap masalah pasti ada penyelesaiannya. Dan setiap kekuatan pasti mempunyai kelemahan, karena demikianlah hukum alam, tidak pernah ada yang abadi dalam sebuah peristiwa di dunia, bagaikan siang dan malam yang akan selalu berganti, bagaikan matahari dan bulan yang selalu silih berganti menerangi bumi.
Bagaikan putaran roda yang bergerak ke atas dan ke bawah, semuanya mempunyai jatah sendiri-sendiri, mempunyai waktu yang akan selalu berputar dalam iramanya. Dan semuanya ada yang bergerak dalam kekuatannya dan ada juga yang berputar cepat karena diputarkan. Waktu dan putaran yang selalu datang dan pergi silih berganti, semua bergerak dan bergerak.
Aku bisa saja berada di mana-mana, bisa di atas dan di bawah, bisa di belakang dan di depan, bisa di samping kiri dan kanan dalam sebuah kekuatan fleksibilitas atas nama kehidupan yang selalu memberikan warnanya.
Dan karena kepasrahan yang demikian dalamnya, karena keyakinan yang demikian kuatnya, bahwa segala sesuatu bisa berubah demikian cepatnya, ada kemenangan dan akan pernah ada kekalahan, ada menyakiti dan ada disakiti, dan mungkin akan tersakiti dan terlukai sebagai akibat karena perbuatannya, maka perjalanan demi perjalanan yang dilalui akan memberikan petunjuk dan jalan yang harus dilewati.
Kekalahan dan kemenangan hanyalah sebagian kecil dari sebuah peristiwa kehidupan, bagian dari perjalanan kehidupan panjang yang harus dilalui. Tidak ada yang perlu ditangisi ataupun disesali, datang dan pergi adalah sebuah hukum waktu, dan biasa terjadi. menerima semuanya dengan rasa yang sama adalah sebuah kekuatan dasar dalam menjalani kehidupan ini. Bismillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H