Saat kemarin aku mendapatkan bayangan sebuah daerah yang penuh dengan  pepohonan, sangat asri dan teduh. Di tengah rumpun pepohonan dengan  membentuk sedikit lembah di ketinggian sebuah bukit yang tidak seberapa  tinggi terdapat danau di tengah-tengahnya, sejuk dan tenang.Â
Membuat  hati terasa menep, membuat hidup seperti memasrahkan kepada semesta.  Jagad bathinku berkelana, di manakah itu? Kenapa aku harus melihat semua  ini? Bayangan tempat yang menyejukkan ini tidak hilang juga dalam waktu  seminggu ini, pikiranku seperti selalu ditarik untuk pergi ke sana, ke  sebuah tempat di mana ada asa yang demikian besar yang pernah terbentuk.
Dalam  penerawangan dan pencocokan informasi secara langsung, aku memperoleh  jawaban bahwa itu adalah daerah atau wilayah yang berada di Jawa Timur  saat Jaman Kerajaan Majapahit.Â
Di sana adalah tempat awal Raden Wijaya  berada, saat Raden Wijaya mempunyai niat untuk mendirikan sebuah  kerajaan dengan membuka alas Mentaok yang di dalamnya terdapat pohon  Maja yang rasanya pahit.
"Kenapa aku harus melihat  lebih jauh semua ini, saat ini aku tidak memungkinkan untuk pergi ke  sana. Aku punya tanggung jawab di tempat lain yang tidak bisa  kutinggalkan. Pekerjaanku dan anak-anakku sebagai tanggung jawab utama."  Aku bertanya kepada sesepuh yang hadir di sini dengan segala kegundahan  hatiku.
"Anakku, kegundahanmu dan ketidakiklasanmu itu  yang membuat langkahmu pendek. Hatimu yang selalu bergelimang risau dan  ragu, dan membuat langkahmu begitu berat. Dan akhirnya kamu tidak bisa  melakukan banyak hal seperti hari kemarin, saat kita semua berjuang  bersama-sama."
Aku menunduk, lagi-lagi aku merasakan  sesuatu yang menusuk hatiku. Benar kata sesepuh, perjalanan masa laluku  yang menimbulkan dalamnya luka hatiku membuat aku seperti gamang setiap  akan mengambil keputusan dan memulai langkah kaki.Â
Aku ragu dan aku  galau, air mata ini menjadi pengikat langkahku. Menjadi belenggu dalam  pikiranku, menjadi penghalang dari semua kemerdekaanku.Â
Tanpa kusadari,  aku telah membelenggu diriku dengan pikiranku dan perasaanku, bukan  orang lain, bukan keadaan, tetapi semua kekalahan dan kegagalan ini  adalah karena diriku sendiri, karena kekerdilan hatiku, kecilnya jiwaku  dan sempitnya pikiranku. Hahahahaha, aku tertawa, menertawakan diriku  sendiri, hal yang selalu kukoreksi kepada orang lain, ternyata aku  memilikinya, tetapi aku tidak bisa melihatnya.Â
Sesuatu yang terletak  jauh di dalam lubuk hatiku dan aku mampu menutupinya dengan sempurna,  sehingga akupun tidak menyadari keadaan ini. Melenakanku, melemahkanku,  dan aku ingin semua kekuatan itu kembali kepadaku dalam sebuah kenyataan  perjalanan hidup yang harus kulewati.
Aku memandang  sesepuh, dan mereka menyambutku dengan senyuman menertawakan  kebodohanku, kekerdilanku dan seluruh hal yang telah membelengguku. Hal  yang selalu kami lakukan bersama, tertawa dalam kebodohan-kebodohan  kami, dalam kesalahan-kesalahan yang kadangkala  terjadi tanpa kita  sadari.