"Bukankah selama ini kamu juga berjalan sendiri dalam pahit dan pedih, dalam tangis dan air mata darah, dalam gelap dan kelamnya kehidupan. Tetapi engkau bisa melewatinya dengan luka luar dan dalam, hancur lebur, tetapi engkau masih bertahan". Â Kali ini aku melihat ada segaris senyum di wajah Gusti Ratu yang demikian ayu tetapi mencerminkan kekuatan dan ketegasan yang tidak terkira. Kulitnya kuning keemasan, berbalut busana kebesaran kerajaan Ratu Pantai Nusantara yang bermukim di Pantai Selatan negeri ini, sungguh siapapun akan berpikir seribu kali untuk melawannya. Matanya sangat bening, tajam menusuk. Aura kekuningan tersemburat di bulat hitam matanya. Tidak ada warna putih di sekeliling korneanya, yang ada wana kuning muda dengan garis-garis lembut keemasan, sehingga aura keemasan semakin jelas terlihat saat Gusti Ratu Kidul membuka matanya. Matanya sangat indah, tidak besar dan tidak sipit. Keayuan alami terpancar jelas di wajahnya, perjalanan kehidupan yang panjang telah menggemblengnya, tahu mana bathin manusia yang bersih dan tahu mana yang kotor. Mana yang pamrih dan mana yang tulus, mana yang hitam dan mana yang putih.
Aku masih terpaku dalam kekaguman melihat sinar yang terang benderang yang memancar dari tubuhnya saat Gusti Ratu melanjutkan pituturnya. "Anakku, yang harus kamu kuasai saat ini adalah kemampuan perang dengan dasar perang laut selatan. Di dalam laut bukan hanya air, tetapi tersimpan kekuatan yang maha dasyat yang mampu menghancurkan semua yang ada. Lihatlah saat sebagian air laut naik ke daratan, dia akan meluluhlantakkan semua yang dilewatinya. Di dalam laut ada api, ada gunung, ada tanaman, hewan laut dan ada ombak. Artinya tanah dan angin juga ada di sini. Dan seluruh kekuatan itu harus kau padukan dengan sangat baik agar menjadi senjata yang tidak bisa tertandingi. Air, tanah, udara dan api harus lengkap untuk sebuah kekuatan. Keempatnya mampu menghidupkan dan menyembuhkan. Tinggal kau beri rohnya, maka kehidupan akan ada kehidupan".
"Engkau sudah pernah melakukan, membelah lautan dan mengangkatnya ke darat, mengambil sebagian dan membentuknya menjadi senjata yang sangat kuat dan tajam, panas dan mematikan. Seharusnya kemaren bisa kau tambahi racun yang sangat mematikan, Semua ada di sini. Tidak salah mereka yang menuntut ilmu ke laut, karena semua kekuatan ada di sini. Sayangnya mereka mengambilnya hanya untuk kekuasaan dan kekayaan, bukan untuk kepentingan kehidupan masyarakat di sekitarnya".
"Kembali lagi, Nduk. Kamu harus mengerti cara penjahat jika kamu ingin menumpas kejahatan, kamu harus tahu cara mencuri jika kamu ingin menumpas pencuri. Demikian juga kali ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kamu harus belajar ilmu hitam untuk bisa menumpas segala kekuatan kegelapan yang sudah terlanjur menguasai negeri ini. Aku sudah memilihmu anakku, dan tidak perlu engkau bertanya lagi, apa dan mengapa, karena memang kamu layak untuk menjalankan semua ini. Banyak yang mampu, tapi sedikit yang bersih dan tulus hatinya. Dan sebaliknya, jika ada yang bersih dan tulus, mereka tidak mampu. Dan kamu mempunyai kelengkapan semua pirantinya, kuat, mampu, mau dan tulus. Benar kata sesepuh-sesepuh itu, justru karena tidak genapnya isi kepalamu alias kamu itu memang gendheng dan miring itu yang membuat kamu sangat sangat kuat, walaupun tubuhmu berbalut perempuan". Lagi-lagi aku melihat sesungging senyuman di wajahnya, tampak barisan giginya yang sangat rapi. Putih bersih, tetapi lagi-lagi aura kekuningan sesekali berkilap saat Gusti Ratu tersenyum. Kekuasaan, ketentraman, dan kemakmuran sungguh semua telah digenggam Gusti Ratu. Aku merasakan dalam setiap senyuman Gusti Ratu tersirat rasa bangga kepadaku, karena aku melewati semuanya hingga bisa sampai di sini. Memang banyak kekurangan di sana-sini, tetapi untuk sampai ke tujuan tidak harus sempurna dan utuh. Tidak mudah, tapi aku mampu melewatinya.
Aku menunduk, tak mampu melihat semua aura yang demikian bagusnya. Biarpun aku menggembleng sampai mabuk dan klenger karena latihan, belum tentu aku akan mendapatkan sebagian kecil aura itu. Apalagi jika membandingkan dengan seluruh kecantikan dan keanggunan yang dimiliki Gusti Ratu bagaikan langit dan bumi. Badannya walaupun agak besar, tetapi bentuknya sangat sempurna, kulitnya ternyata agak hitam legam tetapi bercahaya berkilap-kilap, bagaikan diolesi minyak goreng, shinny. Belum lagi kelengkapan ilmunya yang tak ada tandingannya, semua demikian sempurna, tak sanggup aku membayangkannya.
"Anakku". Gusti Ratu menegurku dan membuat aku kembali mendongak dan memandang wajahnya yang masih menyiratkan sebuah senyuman yang tertahan. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, sebelum engkau memulai semuanya, piranti-piranti yang kau butuhkan akan kulengkapi supaya lebih mudah langkah yang akan kau lakukan. Jika engkau mampu melewati tahapan-tahapannya, piranti akan kuberikan sesuai dengan tahapan yang kau lewati".
"Ha hahahaha, kamu memang benar-benar terlalu jujur. Iya, itupun akan kuberikan, jika kamu memang memerlukannya." Terdengar Gusti Ratu tertawa lepas ketika aku melihat tumpukan emas permata yang ada di sudut ruangan, jauh di samping singgasana Gusti Ratu. Tidak ada yang tidak akan menjadi milikmu anakku, termasuk semua kekayaan itu. "Hahaha, kamu memang kelewatan, iya aku juga mengerti, akan tiba saatnya engkau bisa memilihnya, laki-laki yang kau inginkan dalam kehidupanmu untuk melengkapi dan menemani perjalananmu. Semua akan tiba saatnya anakku".
Aku tertunduk malu, Gusti Ratu mampu membaca semua yang berkelebat di kepalaku dengan sangat tepat, dan detil. Aku merasakan curahan kasih sayang yang demikian besar, sama seperti sesepuh-sesepuh yang selalu mengasihiku tanpa pernah ada batasnya. Kasih sayang yang tercurah yang selalu menentramkan, dengan semua pengertian akan keanehanku membuat mereka demikian istimewa bagiku.
Jagad bathin yang demikian penuh warna, dan aku di sini bersama mereka. Beruntungnya hidupku ini, ditemani oleh sesepuh-sesepuh penjaga negeri ini. Aku menghaturkan sungkem yang dalam kepada Gusti Ratu, layaknya seorang anak kepada ibunya. Aku merasakan Gusti Ratu mendekat dan mengusap rambutku. Mataku basah, hatiku bergetar.
"Bangunlah, anakku. Tiba saatnya engkau melanjutkan perjuangan dan perjalanan bathin negeri ini. Ingatlah hitam akan tetap baik jika engkau menggunakannya untuk melawan yang hitam, jika yang putih tidak mampu melawannya. Tidak ada yang salah, semua harus dilalui sebagai bagian dari penggenapan perjalananmu. Akan selalu ada yang menemani dalam perjalananmu, akan selalu ada piranti-piranti yang diberikan saat engkau memang membutuhkannya. Jangan pernah khawatir, kehidupan lebih tahu apa yang kau butuhkan daripada dirimu sendiri. Melangkahlah anakku, pergilah, lanjutkan perjalananmu, memulai perjalanan berikutnya".
"Matursembahnuwun, Gusti". Aku menghunjukkan diri, mengaturkan sembah sujud, sungkem dan berbalik untuk meninggalkan singgasana.