[caption caption="Koleksi Pribadi"][/caption] Awalnya saya tidak mau menulis tentang hal ini, karena khawatir dianggap tulisan tendensius, tidak objektif. Penyebabnya adalah beberapa nama di elite parpol saya mengenal dengan sangat baik, demikian juga beberapa nama elite di Direktorat Jenderal Pajak  (pajak) saya juga mengenal dengan sama baiknya. Selama ini saya menahan diri untuk tidak menyampaikannya, menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini akan tersebar entah kemana bagaikan bola terlempar yang tidak dapat diduga arahnya. Luasnya jaringan dan kualitas materi tulisan sudah pasti tidak perlu diragukan lagi. Pemikiran dan pendapat yang dibuat dengan sangat-sangat objektif, tidak berat sebelah, seimbang dengan tidak memihak salah satu kubu manapun.Â
Pada tanggal 1 Desember 2015, Sigit Priadi Pramudito selaku Direktur Jenderal  (Dirjen) Pajak mengundurkan diri, selanjutnya  sebagai gantinya  pada hari yang sama Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menunjuk Ken Dwijugiasteadi sebagai pelaksana tugas (Plt). Alasan Dirjen Pajak mundur dari jabatannya adalah karena tidak dapat mencapai target penerimaan pajak, sedang menurut sumber lainnya adalah karena banyak blunder yang tidak sejalan dengan menteri dan Presiden dan  ada komplain dari parlemen yang merasa tersinggung dengan pernyataan Sigit soal Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di media massa. "Terutama soal pernyataannya yang mengatakan 'Yang mau buru-buru kan DPR, bukan pemerintah',". Sumber tersebut menambahkan, sikap Sigit yang terlalu naif dan kurang bisa menjaga komunikasi politik juga menguatkan tekanan dari parlemen.Â
Dari awal saya sampaikan bahwa Negara ini sakit, butuh tangan dingin seorang Jokowi yang dianggap mampu untuk menjadi dokter untuk berani mengeksekusi rencana-rencana yang sudah dibuat presiden-presiden sebelumnya. Mengambil keputusan tegas atas beberapa konflik politik yang tidak fair dan penuh dengan intrik-intrik licik. Jokowi mulai bisa bermain dengan cantik  dalam konstelasi dan perang politik, tampil dengan manajemen konflik ala Rini Suwandi atau Luhut. Meletakkan pondasi-pondasi kehidupan bernegara dengan program yang selalu berpihak pada rakyat kecil, kecuali proyek kereta cepat dan PMN BUMN,  membuat saya semakin bangga bahwa saya pernah memilihnya.
Saya tahu bahwa Bapak sedang berusaha membangun suasana kondusif di bidang politik, membangun dukungan untuk mengurangi konflik  akan melancarkan program-program pembangunan. Fokus pada pembangunan maritim dan pembangunan infrastruktur. Pembangunan perbatasan dan peduli wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Semua sudah mulai berjalan dengan sangat baik. Apalagi saya sudah mendengar sendiri secara langsung paparan Bapak di Kemayoran lengkap dengan gambar dan penjelasan yang sangat lugas dan jelas, mantap. Tetapi rasanya itu masih ada satu hal yang sampai hari ini masih menggelitik saya.Â
Sampai hari ini, pertengahan bulan Februari 2016, Pajak masih dipimpin oleh seorang Pelaksana Tugas Dirjen Pajak yaitu Ken Dwijugiasteadi. Seperti kita sadari bersama, bahwa penerimaan Pajak adalah tulang punggung penerimaan Negara, menyumbang hampir 80% semua  dana penyelenggaraan pemerintahan ini. Termasuk sebagian dana pembangunan infrastruktur, dana bagi terjaminnya program-program Bapak. Bahwa keberhasilan seorang Jokowi diindikasikan dengan pencapaian pelaksanaan pembangunan, dan terlaksananya program-program untuk rakyat. Pendukung kelancaran pembangunan adalah adanya dana dalam negeri, besar dan cukup yaitu dari penerimaan pajak.
Penerimaan pajak yang optimal adalah harga mati untuk kemandirian bangsa ini, bukan dari BUMN dan bukan dari Sumber Daya Alam. Semoga bapak tidak bangga menggunakan sumber dana pembangunan dari utang. Utang  yang membuat bangsa ini semakin rapuh. Utang memang solusi instan bagi para politikus, mudah dan tidak menimbulkan gejolak sosial. Hutang menjadikan para pemburu rente berderet untuk menjadi agencies, menjadi makelar.  Jaminan memperoleh dana, dan walaupun bebannya menjadi tanggungan generasi berikutnya. Cara lama yang masih terus dipakai untuk menjadikan alat mempertahankan kekuasaan dari sisi anggaran.  apakah itu cukup hebat bapak? Maaf sepertinya tidak.
Direktorat Jenderal Pajak adalah institusi yang besar, dengan pegawai di atas 37.000 orang membutuhkan komandan yang jelas-jelas menguasai kompleksnya permasalahan pajak dan  harus kuat di lapangan. Memahami pengolahan data dan mampu bermain cantik dalam politik. Pajak adalah satu-satunya instansi yang memulai bersih-bersih diri selama satu dekade, dan ironinya transformasi inilah  membuat pajak justru sangat lemah dalam percaturan politik nasional, karena tidak mampu lagi bertransaksional dengan para politikus. Dirjen pajak definitive saat ini sangat dibutuhkan sebagai komando untuk menentukan arah kebijakan. Beberapa program internal pajak tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya kewenangan untuk menandatangani keputusan-keputusan yang bersifat strategis, terutama mutasi, Secara pribadi saya melihat bahwa pajak berjalan dengan sangat baik dipimpin oleh seorang plt, dimana Ken DJ tidak pernah surut dalam semangat kerja dengan tidak hanya berwacana, tetapi langsung dieksekusi.
Tidak pernah ada yang salah dalam sebuah situasi, gemuknya organisasi kementerian keuangan, membuat birokrasi pengambilan keputusan menjadi sangat panjang. Kompleksitas masalah di bidang keuangan, mulai dari anggaran, bea cukai, dan lain-lain direktorat mengantri panjang menunggu untuk diselesaikan masalahnya. Semua sama-sama penting dan sama-sama berat. Ketika koordinasi adalah barang yang langka, maka mengambil keputusan juga tidak bisa diambil dengan cepat, apalagi birokrasinya panjang, maka banyak keputusan yang akhirnya telat. Dan repotnya lagi, sudah lambat, hasilnya tidak pas lagi. Bisa dipahami karena memang situasionalnya seperti ini.
Kejadian ini terulang kembali setelah pada periode yang sama di akhir tahun yang lalu, pajak masih melakukan lelang jabatan juga hanya dipimpin oleh seorang pelaksana harian untuk beberapa waktu. Amat sayang, Â pengambilan keputusan dengan prioritas yang kurang tepat karena kurangnya pemahaman situasi di lapangan.
Saya tidak habis mengerti, apakah seorang Jokowi melupakan saat-saat terakhir Desember 2015, dimana defisit antara penerimaan dan pengeluaran hampir mencapai 3%? Mirisnya, saat jabatan seorang dirjen lowong, akan membuka kesempatan bagi para agen kekuasaan untuk kasak kusuk bagaikan belut, memporak-porandakan kenyamanan organisasi. Pintu-pintu transformasi diterjang dan berusaha diganti dengan transaksional politik. Saya yakin hal ini sangat mempengaruhi objektifitas Jokowi dalam mengambil keputusan. Dari jauh di sini bisa terbaca dengan jelas gegap gempitanya makelar untuk mencari kepentingan yang bisa diwakilinya.
Saya menyadari sepenuhnya memahami pajak adalah sesuatu yang tidak mudah, membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mempelajari detail demi detail. Memahami strategi pajak juga tidak mudah, yang artinya memasang badan dan akan berhadapan langsung dengan para politikus dan pengusaha yang menjadi pendukung presiden. Tetapi mendiamkannya dan membiarkan masalah klasik yang ada di pajak juga sama tidak baiknya untuk negara ini. Perlu dilakukan pembenahan menyeluruh baik dari internal maupun dari ekternal. Seimbang dan balance.Â