Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saatnya Negara Melakukan Revolusi untuk Petugas dan Wajib Pajak

12 Februari 2016   12:25 Diperbarui: 12 Februari 2016   19:27 33729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesan Pajak Sulit, Ribet dan Merepotkan

Tulisan ini adalah lanjutan tulisan sebelumnya yang berjudul Pajak Itu Pusing, Repot dan Ribet. Menurut saya, hal yang saya sampaikan tersebut masih sangat sederhana, baru berupa garis besar, representasi keluhan sebagian besar orang yang berurusan dengan pajak. Pajak berkesan ribet dan sulit bagi wajib pajak dan bagi petugas pajak. Lebih ribet administratifnya daripada membayarnya.

Permasalahan dimulai dari mengisi Surat Setoran Pajak (SSP), cara mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), apalagi dengan aplikasi yang terbaru e-billing, e-faktur, e-SPT, dimana awal-awal pelaksanaannya selalu banyak bermasalah. Mereka mengesankan bahwa program tersebut belum siap dilaksanakan,  kurangnya dukungan sarana dan prasarana, bahkan bisa dibilang terlalu dipaksakan untuk dilaunching. Mungkin benar, terpaksa dilaksanakan untuk sebuah perbaikan. Tapi sepertinya akan lebih baik apabila dilaksanakan dan tidak menyusahkan pihak lain.

Dukungan untuk menyampaikan permasalahan ini justru  datang dari petugas-petugas pajak, terutama mereka yang berada di lapangan sebagai  ujung tombak pelaksanaan semua program dari kantor pusat. Bagaikan gayung bersambut, tulisan ini bisa menjadi awal untuk  melihat masalah dari sudut pandang yang lain.  Selanjutnya dapat digunakan sebagai koreksi dan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Perbaikan dan pembenahan dari dua sisi secara seimbang, baik bagi wajib pajak, pembayar pajak, bagi pelaksana di lapangan dan tentu saja, maaf, bagi mereka yang sudah bekerja keras dalam menyusun ketentuan dan peraturan perpajakan.

Ide ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili institusi manapun. Berusaha memandang pajak dalam sebuah grand design dalam satu kesatuan utuh sebagai bangsa, penulis berusaha objectif dengan berdiri diantara kepentingan wajib pajak dan petugas pajak. Ide ini sangat berbeda dengan yang saat ini sedang diterapkan. Pemikiran yang lahir dari  pengalaman dan pengamatan di lapangan.

Jika pembaca mempunyai teori yang berhubungan dengan hal-hal yang dibahas di sini silakan ditambah pada kolom komentar. Bebas untuk pro dan kontra, saling melengkapi, menjadi semakin utuh. Atau dapat menjadi indpirasi untuk selalu melahirkan ide-ide baru yang lebih komprehensip yang bisa diaplikasikan secara nyata.

 

Substansi dan Makna Penting Pajak

Substansi pajak adalah uang untuk negara, salah satu sumber dana yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan kehidupan bernegara. Substansi berikutnya adanya pembayaran Wajib Pajak. Peraturan perpajakan dibuat sebagai landasan agar negara yang diwakili oleh petugas pajak secara sah dapat menarik pajak dari masyarakat.

Pembayaran bisa dipaksakan oleh petugas pajak apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya, karena pajak adalah kontribusi yang dapat dipaksakan.

Makna penting pajak adalah negara mendapatkan uang dari wajib pajak sehingga ada penerimaan negara dari pajak. Selesai.

Memahami betapa negara sangat tergantung dengan penerimaan pajak. Negara ini tidak akan kuat dan mandiri jika masih mengandalkan pembiayaan kehidupan bernegara dari hutang. Negara rapuh, jika tidak mau mencoba anggaran surplus, karena semakin hari hutang akan semakin bertambah dan tidak semakin berkurang.

Semakin hari negara kita  semakin lemah, dengan menjerumuskan diri ke dalam lingkaran setan atas nama hutang yang melilit leher. Dan dari pada itu, semua sibuk dengan ego sektoral masing-masing, tidak berpikir tentang sebuah “big picture”, meminjam istilah yang biasa dipakai Jokowi. Terbayang sebuah keluarga atau perusahaan yang terjerat hutang kepada rentenir, susah dan siap menuju di ambang kebangkrutan. Maaf Pak Jokowi, pesimis, karena faktanya memang demikian.

Jebakan Administrasi dalam Pelaksanaan Pajak

Pelaksanaan perpajakan saat ini, menurut saya semakin jauh dari  substansinya. Pajak disibukkan dengan aturan rumit yang dibuat sendiri. Menyusahkan dirinya sendiri. Kadangkala rumit itu tidak selalu yang terbaik. Petugas pajak terjebak pada banyaknya tugas administrasi yang tidak menghasilkan uang. Walaupun ada yang mengatakan bahwa semakin rumit akan terlihat semakin pintar, namun menurut saya belum tentu demikian.

Menerima SPT nihil, mengadministrasikan, mengawasi dan menyimpan dalam ruang yang bertumpuk dan berdebu. Pengembangan seakan-akan harus mengacu kepada sistem yang saat ini sedang berjalan, haram untuk merubahnya. Koreksi dengan pemikiran yang berbeda  seakan-akan menjadi enemy.

Menurut saya harus ada perubahan yang fundamental dan revolusioner untuk mengatasi krisis dalam pencapaian target penerimaan pajak yang merupakan andalah penerimaan negara tetapi dalam pelaksanaannya selalu terseok-seok.

Perubahan yang akan membawa pada pola kerja, dari banyak administratif menjadi sedikit administratif. Dari sedikit pengawasan menjadi banyak pengawasan. Efisien di operasional tanpa kehilangan formal dan materialnya. Semua ini bisa dicapai jika ada perubahan revolusioner. Betapa sayangnya, saat ini petugas pajak lebih banyak tenggelam dalam lautan berkas.

Begitu banyaknya dokumen yang harus diadministrasikan membuat energi habis digunakan untuk memikirkan bagaimana cara mengadministrasikannya. Waktu yang digunakan untuk pengawasan dalam rangka penggalian potensi menjadi sangat sedikit. Dan ini adalah salah satu penyebab adanya jurang antara potensi dan realisasi penerimaan pajak.  Tidak ada yang salah, karena sebuah keadaan yang tidak disadari bukanlah dosa.

Wajib pajak merasa kesulitan dalam memahami, melaksanakan ketentuan perpajakan sehingga menimbulkan keengganan terlibat lebih jauh dengan pajak. Demikian juga halnya dengan petugas pajak, mereka sulit memberikan pemahaman kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama wajib pajak. Keluhan baik dari wajib pajak maupun petugas pajak adalah terlalu banyaknya aturan yang selalu berubah-ubah.

Perubahan wajib dilakukan sebagai bagian dari dinamika dan perkembangan jaman, tetapi masalahnya adalah berubah-ubah tetapi tidak konsisten. Membayangkan sebuah situasi apabila peraturan dan pemahaman pajak dibuat mudah saja, orang masih tidak nyaman dengan pajak, karena pajak bermakna mengeluarkan biaya, tanpa bisa dirasakan langsung manfaatnya. Belajar pajak seakan-akan lebih susah daripada belajar di sekolah. Dorongan untuk tidak melaksanakan kewajiban perpajakan akan semakin besar.

Mungkinkah Pajak Disederhanakan

Kita harus mengakui bahwa kesadaran wajib pajak saat ini masih sangat rendah, baik kewajiban administratif formal maupun kewajiban materialnya. Jarang yang mau melakukan pembayaran secara sukarela dan benar, mereka melakukannya dengan terpaksa. Secara tertulis, pajak mempunyai kewenangan yang luar biasa, mulai dari permintaan data pihak ketiga, penetapan, penyitaan, penyanderaan, bahkan memidanakan wajib pajak. Tetapi sejauh ini sebagian besar kekuatan itu masih sebatas di atas kertas yang prakteknya tidak mudah diterapkan.

Penyebabnya adalah pekerjaan administrasi yang lebih  menyita waktu, stigma negatif, kurangnya dukungan politik dan faktor-faktor lain yang  disebabkan oleh situasi internal dan eksternal.  Kunjungan ke kantor pajak identik dengan ragam formulir dan tumpukan berkas. Persiapannya bagaikan akan masuk ke dalam sebuah lorong penuh dengan labirin-labirin tak berujung. Pembuatan aplikasi sesuai dengan perkembangan tehnologi dengan segala kekuarangan dan kelebihannya layak untuk dihargai, karena dari sinilah pondasi dasar database perpajakan mulai terbentuk.

Pajak punya pilihan terhadap dirinya sendiri, belajar memilih dan bukan mengekor, belajar mencipta dan bukan mencontoh. Sistem yang ada saat ini akan berhasil jika pajak mendapatkan dukungan dari pihak lain, yaitu data dan kesadaran wajib pajak. Dukungan pihak ketiga, dukungan politik dan tentu saja kemampuan administrasi yang baik dari petugas pajak.

Tetapi harapan tinggallah harapan,, bagaikan punguk merindukan bulan untuk mendapatkan semua dukungan itu. Mahalnya koordinasi di negeri ini, membuat pajak harus berjuang sendiri untuk mencapai tujuannya. Maka sudah saatnya pajak memikirkan cara lain yang mandiri, benar-benar berbeda agar tidak tergantung sepenuhnya kepada pihak ketiga. Bantuan pihak ketiga adalah bonus, dan bukan menjadi hambatan untuk bergerak melaju. With or not with, the show must go on.

Membuat sistem sendiri sesuai dengan kebutuhan agar pajak tidak terjebak pada tugas-tugas administrasi, dan tentu saja bukan sistem karena pesanan proyek dari pihak ketiga terutama parpol dan politisi, yang akhirnya menjadikan pajak tersandera.

Hukum pajak  di Indonesia sebagian besar mengacu dari hukum pajak di Belanda dan  Amerika. Sangat bagus, mungkin malah terlalu bagus, saking bagusnya sepertinya masih belum pas diterapkan di Indonesia dengan perbedaan budaya yang sangat mencolok. Perbedaan dimulai dari tingkat intelektual, kesadaran wajib pajak, dan kualitas pelayanan publik. Ibarat baju model Cinderella dipakaikan kepada ibu-ibu petani yang mau berangkat ke sawah. Njomplang.

Menurut saya, jika tidak sesuai ya sebaiknya jangan dipaksakan, jika menyusahkan kita semua ya sebaiknya jangan dipakai. Dengan melihat situasi di lapangan, melihat dengan hati kita akan bisa mencari cara yang tidak harus sama tetapi dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan bersama.

Usulan sederhana

Sederhanakan hal yang bisa disederhanakan, mengembalikan kepada substansinya. Bisa dilakukan dengan membuat sebagian pajak bersifat final tanpa embel-embel kredit pajak. Kredit pajak ini selain membutuhkan administrasi yang sangat panjang, pada akhirnya hanya akan berfungsi sebagai pengurang. Maka kita ringkas langsung kepada hasil akhir yaitu pajak terutang. Menerapkan tarif yang paling rendah, masuk akal yang bisa dijangkau pembayarannya oleh wajib pajak.

Ketidakpahaman wajib pajak saat ini bahwa kredit pajak adalah pengurang dari pajak terutang, membuat wajib pajak merasa dipotong dan dipungut pajak dimana-mana. Tanpa pernah mengerti bagaimana mengkreditkannya. Akhirnya tanpa disadari lagi pajak adalah salah satu komponen selain birokrasi yang membuat harga jual barang dan jasa di Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk dari luar negeri. Saya sangat yakin bahwa ini sangat tidak disadari oleh pembuat kebijakan.

Tidak perlu memakai kredit pajak dan tidak perlu memakai berbagai macam laporan yang berlembar-lembar. Kita bisa melihat pajak penghasilan konstruksi yang sudah bisa diterapkan dengan baik, tanpa menimbulkan kontra karena mudah dan tarifnya rendah. Hal ini sangat berbeda dengan pajak penghasilan atas sewa aktiva dan/atau bangunan yang menimbulkan kontra karena tarifnya tinggi.

Tarif pajak berbanding lurus dengan manfaat yang diterima wajib pajak dan kemampuannya untuk membayar. Penghindaran akan selalu ada, karena demikianlah budaya wajib pajak di Indonesia. Petugas pajak dan data yang sangat terbatas, membuat ruang geraknya juga sempit. Menjadi celah buat wajib pajak untuk  semakin tidak patuh. Selama rahasia bank belum dibuka maka gap antara potensi pajak dan realisasinya masih akan sangat terbuka lebar.

Jika memungkinkan maka tanggal jatuh tempo pembayaran pajak dibuat sama. Laporan pajak tanpa kredit pajak membuat pembayaran pajak dapat berguna sebagai laporan sekaligus. Pemakaian aplikasi-aplikasi tetap menjadi kebutuhan pokok, tetapi dengan format-format yang lebih sederhana, karena sistemnya disederhanakan.

E-faktur sebagai data penjualan, E spt Pajak Penghasilan Pasal 21 akan menjadi data penghasilan wajib pajak orang pribadi, begitu seterusnya. Semua data tersebut diintegrasikan menjadi satu untuk setiap wajib pajak, sehingga menjadi SPT sementara di dalam system dengan primary key Nomor Pokok Wajib Pajak. Laporan pajak dapat dilakukan dengan menyetujui  atau menambahkan data pajak terutang lainnya secara langsung maupun secara on line layaknya buku tabungan di bank.

Integrasi secara langsung di dalam sistem informasi pajak, bisa diterapkan kepada wajib pajak karyawan yang sekaligus menjadi sarana laporan pajaknya. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui.

Jika tanggal jatuh tempo pembayaran pajak diatur pada tanggal yang sama, maka pada saat pembayaran pajak dapat dibuat sistem perhitungan sanksi dan denda yang dimunculkan otomatis dalam aplikasi pembayaran. Cara ini pernah dipakai pada Pajak Bumi dan Bangunan, dan sangat berhasil. Hemat administrasi penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP), dan penerimaan pajak tetap tercapai. Jika jatuh tempo tidak bisa dibuat sama, maka yang perlu dirubah adalah tata cara penerbitan STP-nya. Intinya adalah memungkinkan dibuat sistem penagihan denda dan bunga otomatis pada saat wajib pajak melakukan pembayaran.   

Tulisan di atas adalah sebuah ide dari pemikiran sederhana, yang bisa jadi masukan atau bisa menjadi angin lalu. Tetapi jika diterapkan dengan baik maka secara substansi pajak terpenuhi, hasil akhir berupa angka kepatuhan yang menjadi ukuran dan citra pajak bagi pihak eksternal akan tetap tersaji dengan indah.

Demikian harap menjadikan maklum, dengan senang hati menunggu tanggapannya.

Salam Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun