Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Repotnya Pajak di Lingkaran Kepentingan dan Pragmatisme

21 Desember 2015   15:37 Diperbarui: 21 Desember 2015   18:00 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sisa 7 hari kerja lagi atau 11 hari kalender sampai dengan 31 Desember 2015, waktu yang singkat apabila dikaitkan dengan pencapaian target penerimaan pajak yang sudah mulai dilakukan sejak awal tahun 2015. Tetapi sisa waktu itu bisa dianggap masih cukup lama, apabila jajaran pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selalu bekerja keras untuk mencapai hasil maksimal. Di sisa waktu yang ada  Plt. Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi, masih membutuhkan Rp 146 T untuk mencapai ambang batas minimal target penerimaan pajak yang telah disepakati.

Menteri Keuangan, Bambang PS Brojonegoro meminta target penerimaan pajak tahun ini terpenuhi minimal 85 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 atau sebesar Rp 1.294,26 triliun. Hal ini diungkapkan sebagai syarat jika ingin jabatan sementara yang diemban oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ken Dwijugiasteadi,  bisa naik status menjadi jabatan definitif. Bambang menyampaikan bahwa Ken Dwijugiasteadi harus bisa mengumpulkan setoran pajak pada Desember 2015 sebesar Rp 218 T.  Instruksi, sekaligus syarat apabila Ken ingin ditetapkan sebagai  Dirjen Pajak pada  Tahun 2016.

Sementara Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, menyatakan  bahwa dalam kurun waktu  Desember 2015 DJP masih  akan bisa bisa menarik setoran pajak lebih dari Rp 100 triliun. Mardiasmo menambahkan bahwa pada awal Tahun 2016 akan dilakukan seleksi terbuka oleh Kementerian Keuangan, seperti yang sebelumnya pernah dilakukan, untuk mencari Dirjen Pajak definitif. Proses seleksi terbuka dilakukan untuk mencari terbaik untuk memimpin DJP. Ken yang saat ini menggantikan posisi Dirjen Pajak sebelumnya, Sigit Priadi Pramudito, pun dipersilahkan mengikuti seleksi tersebut.

Dua pernyataan dari menteri dan wakilnya yang sangat kontradiktif, dimana satu pimpinan dan pimpinan lain membuat statement yang berbeda. Tajam diluar tumpul ke dalam, keras ke orang lain, lunak untuk diri sendiri. Plt. Dirjen Pajak diminta mengejar setoran pajak sebesar Rp 218 T untuk bulan Desember 2015, di sisi lain, Wakil Menteri Keuangan menyampaikan yakin akan mencapai setoran di atas 100 T. Sekilas memang sama maknanya, tetapi apabila dilihat dari aspek psikologis, maka beban Plt. Dirjen Pajak menjadi lebih berat karena hal tersebut merupakan sebuah instruksi yang tidak bisa ditawar lagi, sebuah keharusan.

Tanpa ada anomali, maka penerimaan pajak Bulan Desember 2015 dipastikan akan mencapai angka di atas Rp 100 T, mengingat realisasi penerimaan pajak pada Desember 2014 lalu mencapai Rp 125 T. Dan apa yang disampaikan oleh Mardiasmo kemungkinan besar akan terealisasi. Namun, untuk memenuhi target yang diberikan oleh Bambang jelas tidak mudah, walaupun bukan berarti tidak mungkin. 

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, menyadari pemerintah tahun ini terlalu percaya diri soal target penerimaan pajak. Padahal realitas di lapangan sangat berkebalikan. "Kita tidak bisa seperti ini  di 2015 lagi. Selalu bilang 'bisa, bisa, bisa' tapi tahu-tahu hasilnya lain (tidak bisa)”.

Memang secara realita, jika realisasi penerimaan pajak pada Desember tahun 2014 sebesar Rp 125 T maka kemungkinan yang bisa dicapai untuk Desember tahun 2015 berikutnya adalah di kisaran Rp 150 s.d. Rp 160 T. Jika ditambah dengan penerimaan dari revaluasi asset dan reinventing policy yang ditetapkan maka penerimaan mencapai angka Rp  200 T adalah sebuah angka pencapaian yang luar biasa.

Tetapi memang demikianlah halnya, bahwa sudut pandang politik dalam arti kekuasaan memang belum bisa memandang jernih situasi  internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja  DJP. Bahwa apabila bicara target dan capaian penerimaan pajak, artinya kita dihadapkan pada issue terkait pegawai DJP dan Wajib Pajak. Bicara pegawai adalah bicara kinerja, penghasilan,  dan integritas. Sedang bicara Wajib Pajak sebagai pihak eksternal (pemangku kepentingan) adalah bicara kesadaran, kepedulian dan kemauan untuk membayar pajak.

Masalah tidak tercapainya target penerimaan pajak, dari tahun 2009 adalah masalah klasik dan lagu  lama yang terus berulang. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang harus dibenahi.  Hubungan antara pegawai pajak (fiskus) dan Wajib Pajak haruslah berupa mutual benefit yang senantiasa memberi ruang perbaikan. Yang diperlukan bukan hanya merevisi target, alias merubah angka, bahwa dengan merubah target penerimaan pajak  akan menyelesaikan masalah.

Tetapi yang perlu dilakukan adalah penguatan Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri dalam hal kapasitas dan kewenangan, mengingat kewenangan DJP sebagai institusi penting di Republik ini masih sangat terbatas. Lemahnya koordinasi data antar instansi, masih tertutupnya akses petugas pajak kepada rekening yang dimiliki oleh Wajib Pajak adalah contoh yang paling jelasterlihat. Dan hal tersebut merupakan permasalahan utama yang belum dapat terselesaikan.

Jika Darmin meragukan DJP saat berkata bisa, bisa, bisa tetapi hasilnya lain maka saya akan menceritakan kejadian lucu yang selalu terjadi dari tahun ke tahun. Setiap tahun, target dibuat oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), instansi yang berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan.  Mungkin sudah seharusnya BKF menyampaikan secara lebih komprehensif dan terbuka kepada publik dasar  perhitungan target penerimaan pajak. Dimana saat ini, anggapan masyarakat, bahwa DJP  sendiri yang membuat target dan DJP  juga yang harus mencapainya (end to end). Atas target penerimaan  nasional tadi selanjutnya didistribusikan di tingkat Kantor Wilayah, dan akhirnya menjadi target masing-masing Kantor Pelayanan Pajak (KPP), top down istilahnya.

Kejadian lucunya lainnya adalah pada saat penyusunan prognosa penerimaan pajak. Perkiraan realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir tahun di  KPP. Prognosa awalnya dibuat sesuai dengan asumsi kemampuan penggalian potensi rutin dan non rutin berdasarkan situasi yang sesungguhnya. Tetapi biasanya yang terjadi adalah atasan langsungnya akan mengatakan begini, “Apa ini, saya tidak mau angka ini, saya maunya 100 persen dari target, malah walaupun sedikit harus lebih dari 100 persen”.

Dan pada akhirnya, the boss is always right, if the boss is wrong, see article one. Selanjutnya prognosa selalu disesuaikan dengan keinginan atasan, demikian yang selalu  terjadi dari tahun ke tahun. Bilang bisa salah, bilang tidak bisa salah lagi, serba salah. Hahaha. Dari sudut pandang manajerial secara positif, hal ini dilakukan sebagai motivasi seluruh jajaran pegawai DJP untuk melakukan usaha semaksimal mungkin dalam usaha mencapai target penerimaan pajak. Tapi bukankah ini lucu, kita bisa 80 persen, dipaksa untuk  membuat prosentase pencapaian 90 persen. Begitu diikuti, dan realisasi hanya mencapai 80 persen, kita juga yang disalahkan.

 Namanya juga tuntutan pekerjaan, paham. Apalagi kalau tuntutannya sudah berbau politis, dimana jabatan masih sangat ditentukan secara subjektif, maka jangan berharap orang akan bekerja dengan professional. Tinggal ditulis kamu disitu atau kamu jangan disitu, dan terjadilah seperti apa yang  dikatakan para politisi tersebut, maka jangan banyak berharap banyak perubahan yang berarti dapat terwujud. Tidak ada argumentasi dan diskusi frontal untuk bisa bicara kebenaran, yang ada adalah saling menyalahkan dan menyelamatkan posisi masing-masing.  Sangat realistis, karena memang eranya masih demikian.

Kementerian Keuangan mendapatkan predikat A sebagai penilaian atas  akuntabilitas kinerjanya yang meliputi sisi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan hasil program kerja. Untuk sebuah prestasi kinerja yang sudah memuaskan tersebut, Darmin Nasution dan Menteri Keuangan menyatakan bahwa masih perlunya dilakukan pembenahan administrasi, utamanya administrasi perpajakan. Salah satunya melalui sistem informasi untuk pemeriksaan pajak. Awalnya  saya berpikir, bahwa pernyataan Darmin ini terkait dengan administrasi pemeriksaan yang sudah dilaksanakan dengan Aplikasi Laporan Pemeriksaan dan Penagihan, dimana semua kegiatan awal sampai penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan, hasil pemeriksaan dan hasil pemeriksaannya dapat diketahui dengan rinci. 

Tetapi sepertinya kali ini saya salah, bahwa ternyata yang dipermasalahkan adalah orangnya, pemeriksanya. Tanpa mengesampingkan adanya seorang Gayus Tambunan, sang pengkhianat DJP, maka reformasi di DJP dengan perubahan paradigma telah dilakukan besar-besaran. Fundamental and structural, quite revolution. Begitu kata Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono. Hasil reformasi sumber daya manusia  bisa dilihat dari hasil survei persepsi korupsi atas Integritas Publik (Interaksi Suap dan Probabilitas Suap) di Kanwil Ditjen Pajak Propinsi bahwa probabilitas suap sebesar 17 %,  masih dibawah Kementerian keuangan (24%) dan Kepolisian (44%). Walaupun prosentase tersebut masih diatas PELNI (1%) dan Universitas/IAIN/Poltekkes (13%).   

Maka sudah selayaknya seorang pemimpin bangsa ini bekerja dengan melihat situasi sesungguhnya di lapangan, melihat dengan detil, karena devil is in the detail. Seimbang, sisi positif dan negatif. Perencanaan dan pelaksanaan bukan hanya sekedar angka, hitam putihnya, tetapi mengapa dan bagaimana, sedikit lebih mendalam dalam sebuah tinjauan.  Jika kita hanya bicara hasil, maka kita tidak akan bisa menyentuh prosesnya menjadi lebih baik. Bicara proses, artinya harus memahami keadaan di lapangan dari awal sampai akhir, dan kita akan bisa mengerti bagaimana melakukan pembenahan sebuah proses. Dimana kelemahannya, dimana kekuatannya, dimana yang harus dibenahi. Jika perencanaannya benar, prosesnya benar, Insya Allah, hasilnya akan benar juga. Mulailah mengurangi budaya instan, budaya berpikir negatif. Selalu melihat permasalahan untuk menuju arah yang positif, dengan disertai perasaan mengayomi, yang dapat memotivasi orang untuk bekerja baik dengan penuh perasaan nyaman.

Sudah saatnya memberi ruang agar DJP dapat mandiri dan semakin professional dalam mengemban amanah berat, terkait dengan keberlangsungan hidup bernegara. Perlunya pemimpin memisahkan ruang politis dan professional terkait dengan bidang-bidang yang dianggap vital bagi Negara.

 

Salam Profesionalisme

Metik Marsiya

 

 

Sumber berita :

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/20/224700126/Cerita.Darmin.Nasution.soal.Pajak.dan.Dimarahi.DPR.

http://nasional.kompas.com/read/2015/12/02/16352331/Kebut.Penerimaan.Pajak.Wamenkeu.Targetkan.Rp.100.Triliun.Sebulan

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151207081004-78-96403/menkeu-nasib-plt-dirjen-pajak-bergantung-hasil-desember/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun