Mohon tunggu...
Metik Marsiya
Metik Marsiya Mohon Tunggu... Konsultan - Menembus Batas Ruang dan Waktu

Praktisi Manajemen, Keuangan, Strategi, Alternatif dan Spiritual. Kutuliskan untuk anak-anakku, sebagai bahan pembelajaran kehidupan. ... Tidak ada yang lebih indah, saat menemani kalian bertumbuh dengan kedewasaan pemahaman kehidupan.... ................ tulisan yang selalu teriring doa untuk kalian berdua....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Darurat, Peningkatan Perhatian Negara pada Keuangan dan Pajak

5 November 2015   08:49 Diperbarui: 5 November 2015   09:21 6139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi menanyakan perihal data penerimaan pajak terakhir. Diketahui per 29 Oktober, penerimaan baru mencapai Rp 758 triliun atau sekitar 58,6% dari target dalam APBN Perubahan 2015, yang sebesar Rp 1.295 triliun. Kendati tren setoran pajak cenderung memuncak pada akhir tahun, Sigit menyampaikan ada risiko penerimaan pajak hanya terealisasi 85% atau shortfall hingga Rp160 triliun pada tahun ini.

Jangan-jangan Pak Jokowi kemaren baca kompasiana ya, kok pas? Kemaren pagi saya tulis, kok sorenya heboh. Wwkkwkwkwkwkk, GR sih sudah biasa, narsis memang hobi, berbeda boleh-boleh saja, tidak dosa, dan pasti tidak dipidana.

Yup, kita kembali kepada pokok permasalahan. Sebagai begawan politik dan ekonomi, apa yang saya sampaikan kemaren adalah sebuah tinjauan menyeluruh dari sudut pandang pondasi negara dalam mewujudkan cita-cita kita bersama untuk menjadi sebuah negara merdeka  yang mandiri, berdaulat walaupun masih jauh dari adil dan sejahtera.

Tinjauan berkesan menjadi berat sebelah, padahal apa yang saya sampaikan sangat nyata, sangat objektif. Beberapa hal pernah saya sampaikan kepada pokja tim transisi pada waktu itu bahwa sudah saatnya negara ini menguatkan diri dalam bidang keuangan. Seperti yang Bung Karno pernah sampaikan ke saya dalam sebuah diskusi imaginer. “Jika kamu mau memutuskan sesuatu, bayangkanlah negara ini dirimu, keluargamu, perusahaanmu. Pentingnya mengukur diri dengan pas, ukuran yang pas. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Keseimbangan, keselarasan. Kemampuan ekonomi berarti mengukur pasak dan tiang. Kehancuran ekonomi karena mengukur pasak lebih besar daripada tiang, membuat hutang dan biaya lebih besar daripada pemasukan. Perekonomian harus berjalan sesuai dengan kemampuan diri, jangan memaksakan. Penghasilan boleh kecil, keluarga boleh tetap miskin, tetapi jangan mengambil tindakan konyol dengan menjatuhkan diri ke dalam jurang kehancuran dengan berhutang di luar batas kemampuan diri”. Tulisan lengkap dapat dilihat di sini.

Pesan di atas cukup mewakili situasi dan kondisi negara pada saat ini. Dimana negara disibukkan dengan permasalahan-permasalahan politik yang selalu muncul karena ada pihak yang sangat tidak siap menerima sebuah kekalahan, namun ada juga pihak-pihak yang selalu berusaha memasukkan kepentingan pribadinya di dalam kehidupan bernegara dengan dalih untuk kepentingan rakyat.

Perlunya memandang persoalan secara seimbang, lengkap dan tidak sepotong-sepotong. Memberikan sesuai dengan porsi yang seharusnya diberikan. Permasalahan negeri ini sangat kompleks bukan hanya masalah politik saja, tetapi ada yang sama pentingnya dari itu, yaitu masalah keuangan.

Saya kemaren mengatakan bahwa negara ini bunuh diri dengan pajak, adalah sebuah hal yang realistis. Dimana pengelola negara ini disibukkan dengan permasalahan-permasalahan politik untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan yang sedang dipegangnya. Hal ini juga berlaku kepada para pembantu-pembantunya, sampai pada level staf istana. Semua sibuk dengan manuver dan bagaimana mereka harus menghadapinya untuk bisa tetap bertahan pada posisinya. Mereka melupakan, bahwa ada porsi besar yang harus selalu mendapat perhatian, yaitu bidang keuangan.

Jika kita bicara sumber uang negara, maka kita akan dikembalikan kepada pajak. Kita harus berani mengakui bahwa dukungan politis untuk Direktorat jenderal Pajak masih sangatlah kurang. Karena bicara pajak tidak akan membuat nyaman kepada pihak penyumbang dana politik, maupun kepada mereka-mereka yang mempunyai penghasilan sangat besar, penguasa ekonomi negeri ini. Politisi akan memilih bicara tentang kesejahteraan, pendidikan, kesehatan yang bersifat sosial dan efektif dalam menambah jumlah dukungan suara. Walaupun jika mereka mau memahami lebih jauh lagi, bukankah semua itu bisa dilaksanakan kalau penerimaan pajak ada dan bisa tercapai sesuai target.

Dalam kerangka keseimbangan, maka bicara pengeluaran negara, sudah seharusnya kita  bicara penerimaan negara, tentu saja dengan porsi yang sama besarnya. Bayangkan, berapa banyak kementerian yang bicara pengeluaran, dan bisa dihitung kembali, berapa banyak menteri yang bicara penerimaan. Jadi kalau saya sampaikan bahwa sudah selayaknya pajak diberikan porsi yang besar untuk dibicarakan, untuk dibahas dan untuk diselesaikan adalah hal yang sangat wajar. Pajak yang demikian penting dan demikian vital bagi negara ini masih mendapat porsi kecil, dipandang sebelah mata. Tapi kalau duitnya tidak ada, orang teriak-teriak, kan ya tidak pas kalau begitu. Porsi besar ya sudah seharusnya mendapat perhatian besar, demikian juga dengan porsi kecil. Kita harus bisa menempatkan pada porsinya, tidak bisa memandang dari sisi subjektifitas pribadi.

Dalam tulisan yang sama, kemaren saya sampaikan bahwa permasalahan keberhasilan penerimaan pajak memang ada di internal dan eksternal DJP, tetapi untuk saat ini permasalahan besar yang belum tersentuh, atau tidak boleh disentuh adalah pihak eksternal yaitu pembayar pajak. Jika saja DJP tidak harus bergerilya mencari data, tentu tidak akan habis energy waktu hanya untuk gresek-gresek data. Pemimpin negara memberikan akses langsung untuk membuka data yang terkait dengan transaksi, sebagai bahan untuk melakukan cek silang atas transaksi keuangan yang terjadi, perlunya melanjutkan kembali data identitas tunggal yang melekat pada pribadi warga negara, mungkin saat ini NIK sudah cukup mewakilinya. Mengintegrasikan seluruh data kepada sebuah identitas tunggal, dalam koordinasi antar kementerian dan lembaga yang kuat, dalam satu visi dan tidak cakar-cakaran.

Pemimpin harus menyadari bahwa selisih antara potensi penerimaan dan realisasi penerimaan pajak, semakin hari semakin besar, jurangnya semakin lama semakin dalam. Jadi apakah salah, jika saya katakan ini adalah sebuah kesalahan sebuah sistem, kesalahan yang sistemik, massif dan terstruktur yang tanpa disadari terjadi di negeri ini. Kalau bisa didukung, maka akan memperluas basis pengenaan pajak. Dan ini menurut saya akan lebih adil, lebih fair. Pajak tidak berburu di kebun binatang, bukan lu lagi lu lagi, tapi adil dan merata.

Bahkan jika kita merunut pada pesan BK di atas, secara ekstrim kita harus berani mengambil langkah strategi APBN itu harusnya surplus, minimal seimbang, sama besar antara penerimaan dan belanja pemerintah. Itu lebih logis, dan namanya bisa mengukur diri. Maka pilihan yang terbaik saat ini adalah meningkatkan penerimaan pajak, dengan cara yang baik untuk tujuan yang baik. Jangan sampai ada yang merasa dizholimi karena pajak. Orang boleh saja ngomong, bahwa kamu itu ngawur asal ngomong, tidak pakai landasan teori. Ya, saya memang jarang memakai teori barat dalam membuat landasan berpikir saya, karena saya orang timur, jadi saya memakai cara berpikir orang timur yang sederhana dan bersahaja. Negeri barat bukan negeri timur, dimana keilmuan dari sana sebagian besar tidak bisa dipakai di negeri ini, baik dalam bidang politik, kesehatan, dan pendidikan, apalagi dalam bidang keuangan. Negeri ini negeri spiritual lahir dan bathin,  dan dan saya berharap tidak menjadi negeri kapitalis. 

Percayalah, bahwa hutang besar tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah. Karena kehancuran sebuah keluarga, sebuah perusahaan, bahkan kehancuran negara Yunani juga disebabkan oleh hutang. Apakah pemimpin di sini tidak menyadari akan hal ini. Bahkan dalam "Hadis Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari 'Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”. Berikut juga  "Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: "(Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai."

Dalil-dalil diatas cukup menguatkan pemikiran saya,  bahwa sudah selayaknya kita mengurangi atau bahkan melepaskan diri dari hutang, karena pada dasarnya hutang itu adalah mengambil kenikmatan di depan dan membayar di belakang. Jika kita bicara filosofi manusia, maka manusia haruslah bisa mengendalikan dirinya untuk sesuatu yang seharusnya belum menjadi haknya, belum saatnya. Hutang adalah salah satu cermin bahwa kita mesti harus belajar lagi mengukur diri dan mengendalikan diri.

Walah kok jadi nglantur ngalor ngidul ga karu-karuan. Yuk mari hidup dari apa yang ada, apa yang ada di sekitar kita, makanlah apa yang di dekat kita. Melihat sejauh pandangan, meraih sejauh jangkauan. Jika mau disederhanakan menjadi hidup dari apa yang ada sekarang dan bukan  berharap dari yang akan datang.  Kesenangan hari ini, jangan sampai menambah kesusahan yang akan datang, apalagi membebani anak cucu. Kalau mau negara merdeka, mandiri dan berdaulat ya sebaiknya berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk berhutang. Penghematan nasional yang akan membuat kita menabung, justru uang akan dikelola secara professional bagi sesuatu yang bersifat investasi. Menambah satu putaran, bukan hanya dengan mendorong konsumsi untuk menghidupkan perekonomian nasional, sedikit berpikir lebih panjang, kreatif, tidak harus sama dengan yang sudah ada.  

 

Salam Tri Sakti

 

Sumber berita:

http://finance.detik.com/read/2015/11/04/201633/3062353/4/panggil-dirjen-pajak-ke-istana-jokowi-khawatir-soal-penerimaan-negara

http://finansial.bisnis.com/read/20151104/10/489006/jokowi-ketar-ketir-setoran-pajak-baru-mencapai-60

 

 Sumber Gambar di sini

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun