Mohon tunggu...
Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - senang membaca, baru belajar menulis

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fase Kritis Penentuan Koalisi Parpol dalam Pencalonan Cakada

17 Juli 2024   00:29 Diperbarui: 17 Juli 2024   00:48 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelaksanaan Pilkada serentak memang masih hitungan bulan lagi, tetapi nuansanya sudah semakin menghangat dan para kandidatnya pun sudah mulai mengerucut.

Setelah komposisi perolehan kursi DPRD telah ditetapkan, kalkulasi dukungan 20% dari Partai Politik yang mendapat kursi DPRD 20 persen atau suara total 25 persen pada Pemilu 2024 menjadi hal yang menarik.

Di beberapa wilayah mungkin ada figur yang menjadi rebutan partai untuk didukung maju sebagai kandidat. Tetapi di tempat lain malah parpol yang jadi rebutan oleh para kandidat untuk dijadikan kendaraan pendukung untuk maju dalam pencalonan.

Di momentum ini, lembaga-lembaga survey sudah pasti panen job. Popularitas (terkenal), akseptabilitas (tingkat penerimaan) dan elektabilitas (tingkat keterpilihan) adalah modal amat sangat penting bagi calon yang akan bertarung dalam pemilihan (Election).

Meski hasil survey tersebut bukan jaminan mutlak untuk menggambarkan hasil akhir, apalagi untuk survey-survey pesanan yang disesuaikan dengan kebutuhan sang pemesan.

Tetapi survey sedikit tidaknya dibutuhkan partai untuk melihat potensi perolehan suara pasangan calon nantinya. Sesuatu yang wajar, karena partai membutuhkan calon yang berpeluang menang paling besar.

Tetapi tunggu dulu, dibalik itu semua ada fenomena yang boleh dikata sangat memprihatinkan yang dapat merusak iklim demokrasi di negeri ini.

Ditahap pencalonan ini, sangat mungkin terjadi intervensi, baik itu dari elit kekuasaan lokal maupun elit kekuasaan di pusat. Baik itu karena intervensi 'kepentingan' oknum maupun karena godaan finansial.

Terus terang, jujur saja kendaraan politik itu ada harganya dan bukan 'murah'. Makanya tak heran ketika pernah ada ketua partai yang mempertanyakan, "kalau ingin maju, punya duit berapa? "

Kondisi ini bisa jadi membuka jalan bagi calon yang sesungguhnya tidak layak, bisa lolos mulai dari pendaftaran hingga ke penetapan oleh KPU, hanya karena punya uang terus merasa layak menjadi Cakada, hal inilah yang akan merusak kualitas demokrasi kita.

Betul bahwa yang memilih adalah rakyat, karena hak suara itu ada pada rakyat. Tetapi jangan dinafikkan bahwa yang dipilih rakyat itu adalah orang yang dipilih partai. Apa, siapa dan bagaimana orang yang dipilihkan partai itu akan menentukan kualitas demokrasi kita.

Momentum kritis pilkada sesungguhnya ada di fase ini, 'perebutan kursi' terkadang melahirkan manuver-manuver tak terduga dari para calon. Terkadang kepentingan-kepentingan pragmatis bisa lebih menonjol dibandingkan dengan kepentingan ideologis parpol dan calon.

Satu contoh di kota saya, di Kendari. Orang-orang yang ingin ikut kontestasi Pilwali sudah mulai memperkenalkan dirinya jauh sebelum pemilu. Mulai dari politikus, dari partai bintang, partai bulan, partai matahari, partai awan dst

Diantara mereka  ada yang memang cukup pantas untuk mencalonkan diri, dan ada juga yang biasa-biasa saja, dan itu tidak masalah karena semua orang punya hak untuk itu, kecuali bagi mereka yang dicabut hak politiknya.

Dalam perkembangannya hingga saat ini, kepentingan pragmatis itu mulai kelihatan. Bangunan koalisi yang dibangun tidak lagi melihat platform partai dan figurnya.

Satu contoh, ketika seorang kandidat sebut saja namanya 'A' dari partai bintang yang jauh sebelumnya telah memproklamirkan akan maju berpasangan dengan 'B' calon dari partai bulan sebagai wakilnya.

Tiba-tiba, rekomendasi partai bintang bukannya diberikan kepada si 'A' yang secara figur punya popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas paling tinggi (berdasarkan survey) dan memang terbukti beliau terpilih dalam pencalonannya sebagai anggota legislatif DPRD Provinsi.

Rekomendasi partai justru diberikan kepada calon dari partai lain yang berpasangan dengan si 'B' mantan calon pasangan 'A' yang dipecat dari partai bulan.

Lain lagi di partai matahari, partai matahari sebelum pemilu menantang kadernya dengan mensyaratkan pintu partai akan diberikan kepada kader yang maju sebagai caleg partai. Dari beberapa yang maju sebagai caleg rupanya hanya 'C' yang akan maju sebagai Cawali.

Jika merujuk kepada aturan awal yang dibuat partai, tentu 'C' yang akan mendapat rekomendasi partai. Tetapi yang terjadi rekomendasi justru diberikan kepada 'D' kader yang tidak berani maju sebagai caleg.

Kelucuan politik ini tidak berhenti disitu saja. 'D' yang mendapat rekomendasi dari partai matahari berpasangan dengan 'E' kader dari partai awan. 'E' dalam Pilcaleg menjadi pendulang suara terbanyak DPRD Provinsi dari dapil Kota Kendari.

Namun, yang terjadi rekomendasi partai bulan tidak diberikan kepada 'E' kader terbaiknya, tetapi rekomendasi justru diberikan kepada 'C' yang tadinya tidak diberikan rekomendasi dari partai matahari.

Tahapan koalisi Parpol untuk mengajukan calon pasangan yang masih ada waktu hingga 27-29 Agustus nanti, masih akan menyajikan episode-episode kejutan. Jika mengamati perkembangan dan isu-isu aktual, maka saling jegal dalam urusan pintu partai ini potensial terjadi.

Sampai saat ini, baru satu pasangan yang pasti bisa dicalonkan yakni pasangan 'C' dengan 'D', karena telah mengantongi rekomendasi dua partai yang mencukupi 20% kursi DPRD (9 dari 35 kursi). Yang lainnya masih belum ada yang memenuhi. 

Pilkada serentak seharusnya jadi momentum demokrasi untuk membawa Indonesia semakin maju menuju Indonesia emas 2045. Perhelatan yang memakan biaya teramat besar ini sudah seharusnya menghasilkan yang terbaik, baik itu dari sisi penyelenggaraannya maupun pada integritas calon-calonnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun