Ketua KPU RI 'HA', terbukti melakukan perbuatan asusila terhadap seorang wanita berinisial 'CAT' di sebuah hotel, di Denhaag Belanda. Atas pelanggaran susila ini, oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) HA kemudian dipecat dari jabatannya sebagai ketua KPU RI, tetapi tidak dipecat dari keanggotaan sebagai komisioner KPU.
Lalu dengan keputusan seperti ini, apakah itu sudah merupakan hukuman atau sanksi yang sepadan dengan perbuatan HA? Yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai pejabat negara yang harus memiliki moralitas, etika dan integritas. Ataukah putusan ini hanya sebuah dagelan untuk menghibur publik bahwa seolah-olah etika dan kehormatan lembaga telah ditegakkan.
Publik juga pasti belum lupa dengan dugaan atau tuduhan serupa yang pernah dilayangkan kepada HA dari si "Wanita Emas", dengan inisial H yang mengaku mengalami pelecehan seksual dengan iming-iming agar partainya bisa diloloskan oleh KPU.
Putusan pemecatan terhadap HA dari jabatannya sebagai ketua KPU RI, ini telah membuktikan dan membuka tabir kebenaran atas perilaku HA. Yang masyarakat harapkan tentunya putusan ini tidak hanya berhenti sampai disitu saja, tetapi lebih dari itu bahwa moralitas, etika dan integritas harus ditegakkan oleh lembaga dan juga oleh 'terdakwa'
Apa yang terjadi pada "CAT" dan mungkin juga pada "H" tidak bisa dinafikan sebagai hal atau skandal biasa antara dua orang dewasa, ini bukan hanya perkara kehidupan pribadi, tetapi juga menyangkut moralitas, etika dan integritas pejabat yang dalam hal ini mempunyai implikasi "relasi kuasa" antara pelaku dan korban.
Sungguh brutal dan keji 'kejahatan syahwat' yang dilakukan oleh HA, yang dengan kekuasaan jabatan yang diberikan negara padanya, membuat korbannya tak kuasa menolak. Sebagai perempuan yang tentunya menuntut kesetaraan gender itu betul-betul ditegakkan, jangan lagi perempuan menjadi korban dari 'relasi kuasa' seorang laki-laki, terus terang saya kecewa dengan keputusan banci DKPP.
Apalagi setelah melihat tanggapan si terhukum yang seperti tanpa dosa, dengan percaya dirinya merasa berterima kasih, dan mengucapkan alhamdulillah telah dibebaskan dari jabatan berat yang diembannya. Sungguh harga diri saya dan mungkin juga rekan-rekan perempuan lain merasa terinjak-injak.
Ini bukan masalah seberapa besar atau berat tindakan asusila yang dilakukan, tetapi ini adalah masalah etika dan integritas dari seorang pejabat negara, seorang yang punya latar belakang 'agama'. Ini juga bukan masalah benci terhadap sosok pribadi seseorang, ini adalah persoalan bagaimana kesetaraan gender itu dipahami dan dilaksanakan oleh semua, dan tak ada lagi ketakberdayaan akibat 'relasi power' dari laki-laki ke perempuan.
Menariknya adalah dalam kesempatan khutbah Idul Adha yang dibawakan HA, di Halaman Masjid Raya Baiturrahman Semarang, di hadapan Pak Presiden Jokowi dan ibu, bulan lalu, HA mengingatkan bahwa kelakuan kebinatangan manusia harus disembelih.
HA juga mengatakan bahwa ajaran kurban ini juga mengisyaratkan makna yang mendalam agar kita dapat mengorbankan segala sikap dan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan ajaran Allah.
Tetapi naudzubillah min dzalik tsumma naudzubillah min dzalik, apa yang ia sampaikan dalam khutbahnya tersebut jauh bertolak belakang dengan perbuatannya, kabura maqtan indallaahi an taquuluu maa laa taf'aluun. (Artinya) Sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.