Bagi seorang Ibu yang mempunyai anak, apalagi itu anak balita yang susah makan, tentu akan membuat Ibu bingung dan sekaligus khawatir. Perilaku anak yang susah makan atau yang biasa diistilahkan dengan Gerakan Tutup Mulut (GTM) ini, jika tidak segera diatasi dikhawatirkan akan membawa dampak buruk yang bisa mengganggu proses tumbuh kembang anak.
Apalagi sekarang ini, pemerintah sedang gencar-gencarnya melaksanakan program pemberantasan stunting. Pemberitaan tentang stunting hampir setiap hari menghias ruang baca kita, yang membuat kita prihatin dan merasa ingin terlibat dalam program pengurangan angka stunting di Indonesia.
Namun alih-alih terlibat dalam pengurangan angka stunting bagi anak-anak lain, anak sendiri saja terancam menderita "gizi buruk" karena perilaku gerakan tutup mulutnya.
Sebagaimana yang kita ketahui, stunting disebabkan oleh kekurangan gizi dalam waktu lama dan itu bisa terjadi sejak janin masih berada dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Ini bisa terjadi karena rendahnya akses ibu dan anak terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.
Nah, hal yang paling memprihatinkan yang membuat resah adalah ketika kita sudah tahu, dan sudah berusaha melakukan praktik pemberian makan yang tepat dengan memberikan makanan yang cukup untuk memenuhi asupan gizi anak dengan baik. Namun, si anak sendiri yang ogah bahkan tidak mau sama sekali memakan makanan tertentu.
Sebagai Ibu, saya mengalami persoalan ini. Bayi saya sejak memasuki usia 1 tahun, mulai menolak MPASI. Sebelumnya saya memberikan ASI eksklusif bagi bayi saya hingga usia enam bulan, dan setelah itu mulai memperkenalkan makanan tambahan sebagai pendamping ASI. Awalnya semua berjalan lancar, perkembangan tumbuh kembangnya juga bagus.
Persoalan mulai muncul semenjak Ia berusia setahun, ia mulai menolak memakan hampir semua makanan yang sebelumnya sangat disukainya, mulai dari buburnya, pisang, pepaya, telur dll. Ia hanya mau menyusu ASI saja, bahkan susu formula pun enggan diminumnya.
Segala upaya sudah saya lakukan agar anak mau makan, tetapi tak kunjung berhasil sesuai dengan yang saya harapkan. Â Kekhawatiran tentang dampaknya yang bisa membuat berat badannya turun mulai terjadi, awalnya berat badan dan tinggi badan pertumbuhannya cukup positif, di usia 1 tahun berat badannya hampir sembilan kilo, dengan tinggi 70.
Perilaku malas makan mulai terjadi saat si kecil tumbuh gigi dan demam, Ia sama sekali tidak mau menyentuh makanan yang diberikan, maunya hanya menyusu, dan ini terus berlanjut dan membuat berat badannya turun hingga sedikit lagi di bawah normal. Berbagai upaya untuk membujuk terus saya lakukan, namun belum juga berhasil dengan memuaskan.
Walaupun kondisi bayi saya menurut dokter masih dikatakan normal, tetapi dengan kondisi yang hampir dibawah normal dan kebiasaan makannya yang masih buruk tentu membuat saya masih diliputi perasaan khawatir.
Salah satu upaya saya adalah searching internet, apa dan bagaimana sih mengatasi anak susah makan? Jawabannya adalah pertama itu disebabkan oleh kondisi anak yang mungkin kurang sehat, dan ini memang kenyataannya demikian. Kemudian yang kedua adalah masalah pilih-pilih makanan, baik itu dalam hal rasa, maupun tekstur atau bentuk, inipun mungkin bisa juga menjadi sebab susah makan bayi saya.
Dalam hal ini upaya yang saya lakukan adalah tetap berusaha untuk memberikan makanan kepada bayi saya.
1. Saya tetap memberikan makanan kepada bayi saya, tetapi tidak memaksanya untuk makan. Saya biarkan Ia berhadapan dan memakan makanannya sendiri dengan sesekali mencoba menyuapinya. Berapa banyak yang Ia makan itulah porsinya.
2. Saya menetapkan waktu makan, mulai pagi, jelang siang, siang, sore, dan malam. Selain sebagai upaya untuk mengenalkan dan menyesuaikan diri bagi bayi agar menjadi kebiasaan dan tahu kapan waktu Ia harus makan, ini juga bertujuan untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya apalagi Ia makannya sangat sedikit.
3. Variasi jenis makanan, baik itu jenisnya seperti buah, sayur dan karbohidrat, juga warnanya seperti sayuran hijau, wortel dan tomat yang berwarna oranye yang mungkin bisa menarik perhatiannya untuk makan, dan begitu juga bentuknya, seperti bubur, padat, dan semi padat.
Dan hasil dari upaya saya ini, walaupun belum memuaskan saya, tetapi setidaknya ada asupan nutrisi yang bisa didapatkan oleh bayi saya walaupun jumlahnya mungkin masih sangat terbatas, lebih banyak yang terbuang daripada yang dimakan.
Harapan saya dari kebiasaan yang coba saya terapkan dalam pola makan bayi saya, ini akan menjadikan pola makannya segera kembali normal seperti dulu, mengingat kualitas dan kuantitas ASI saya sudah jauh menurun. Dan progresnya yang saya rasakan mulai ada perkembangan yang positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H