Â
Duhai malam..., Kaukah sepi yang membenamkan hasrat untuk memeluk lelakiku di tepi kerinduanku yang memuncak.?
Yang terdiam di antara rumpun kembang desember yang berguguran, menyaksikan helai demi helai dari bunganya yang memerah pergi meninggalkan Januari dalam keterasingan.
Mendesir angin malam rindu, aku hanya bisa menyiasati suara serak dari tangis sendiri yang kusembunyikan.
Separuh dari kewarasanku telah layu bersama kembang Desember yang senyum bunganya telah gugur digerogoti keputusasaan.
Kaukah itu duhai malam?
Kaukah itu duhai sepi?
Kaukah itu...?
Bercak-bercak sepi masih membekas di rerumputan yang mengering di sepanjang malam.
Aku ingin meleburmu duhai malam, melarikan diri dari getir sepi menuju keabadian sunyi.
Bahkan bayanganku sendiri seperti tak sudi menunggu mentari datang menyoroti gores luka di dalam dadaku.
Tersedak memanggil-manggil nama kekasih dari rembang petang hingga kejora fajar memijar.
Aku takingin ada lagi sepi melukis wajah kekasih, sambil menyanyikan lagu senandung rindu
Telah kubuang raut pucat kerinduan dan kesedihannya
Dan melarutkan segala lebam yang menghitam di sepanjang jalan rindu
Hari ini aku tak mau lagi bertemu malam yang menyimpan rahasia sepi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H