"ooo anging, laoko muollirengnga
narekko mupolei matinro paotorengngga'
narekko moto'ni patudangekka' narekko
tudanni patettongekka' narekko tettonni
pajokkangekka lao mai iyapanamanyameng nyawana nerekko iya naita" *Bahasa Bugis
(oh angin, pergilah engkau panggilkan dia
jika engkau temui dia sedang tertidur, bangunkanlah
jika telah bangun, dudukkanlah
jika telah duduk, berdirikanlah
jika telah berdiri, jalankanlah ia kemari barulah perasaannya akan nyaman jika dia melihatku).
Samar bait-bait lagu itu terdengar dinyanyikan berulang-ulang dengan nada sedih yang menyayat hati. Baco yang sejak tadi tak sadar terbawa mengikuti asal suara nyanyian itu menghentikan langkahnya, dipasangnya telinganya baik-baik sambil kepalanya menoleh ke kiri dan kanan menyelusuri sekelilingnya untuk mencari sumber suara. Tapi yang temuinya hanyalah pohon-pohon besar yang tua, bulu kuduk Baco tiba-tiba meremang teringat ucapan tetua-tetua kampung yang mengatakan bahwa di hutan itu selain dihuni oleh binatang-binatang berbisa dan juga buas serta ganas, hutan itu juga dihuni oleh banyak mahluk gaib yang jahat dan ganas.
Baco tak mengerti kenapa ia bisa berada ditempat ini, tadinya ia berencana mencari sarang lebah di pinggiran hutan. Setelah meletakkan sari bunga enau di pagar-pagar kebunnya untuk memancing lebah datang dan lalu kemudian mengikuti lebah-lebah itu kembali ke sarangnya membawa nektar dari sari bunga enau yang ditaruh Baco sebagai pemancing.
Baru kali ini Baco kesasar, sebagai pemuda yang mewarisi keahlian sebagai pencari madu handal secara turun temurun dari ayah dan kakeknya, meski hanya sebagai pekerjaan sampingan karena jumlah sarang lebah saat ini sudah sangat jarang, hutan yang tersisa hanyalah hutan-hutan keramat yang takut disentuh oleh para perambah.
"Ooo angingngeee, ooo angingngeee.." terdengar sayup suara seperti lolongan yang begitu menyayat hati seolah menyimpan rasa sedih yang dalam. Baco semakin diliputi rasa penasaran, rasa takut yang tadinya sempat membuatnya ingin segera lari dari tempat itu kini hilang sudah. Perlahan diterabasnya semak dengan parang ditangannya, suara itu semakin dekat dan nadanya semakin menyayat hati, Baco menggelengkan kepalanya berusaha mengusir perasaan yang dirasakannya seperti menyirap kesadarannya.
Akhirnya ditebasan parang terakhirnya tersibaklah sebuah pemandangan indah di hadapannya, sebuah telaga kecil yang walaupun tertutup kerimbunan tetapi seperti terjaga keasrian dan kebersihannya. Di samping sebuah batu sebesar kerbau, dilihatnya duduk bersandar seorang gadis sambil tertunduk menopang kepala di lututnya, sejenak Baco terkesima, tapi tiba-tiba gadis itu telah mengangkat kepalanya dan menatap lurus dengan tajam ke arah Baco.
Keduanya terdiam sampai akhirnya Baco memecah keheningan.
"Maaf, saya tersesat karena mengikuti nyanyian yang adinda nyanyikan" kata Baco yang sok tua dengan menyebut si gadis sebagai adinda. Si gadis masih diam, hanya sorot matanya yang tadi sangat tajam menatap Baco, kini telah dialihkannya menatap air telaga yang bening dan tenang seperti kaca.
"Siapakah gerangan adinda, mengapa ada disini dan dengan siapa di tempat yang berbahaya ini.? Baco memberondong pertanyaan kepada si gadis yang kini telah menghentikan nyanyian pilu yang disenandungkannya tadi. Setelah lama terdiam dan tak menjawab berondongan pertanyaan Baco, tiba-tiba si gadis membuka mulut, dengan suaranya yang didengar oleh Baco sangat renyah dan penuh pesona.
"Saya tinggal di tempat ini, dulu bersama kedua orangtuaku tetapi mereka telah wafat secara bersamaan dua purnama yang lalu" berkata gadis itu pelan.
"Namaku Bunga."
"Ohh..." hanya itu yang bisa keluar dari mulut Baco. Ia coba mereka-reka darimana, bagaimana dan kenapa bisa ada keluarga yang tinggal jauh di kedalaman hutan Baruga yang terkenal angker ini.
"Maaf, siapa nama kedua orangtuamu" tanya Baco.
"Aku tidak tahu, aku memanggil mereka 'indo' dan 'ambo'. Tapi mereka bilang mereka adalah 'sanro' yang diusir dari kampung karena fitnah keji orang-orang kampung" jawab gadis itu.