Echos yakin dirinya telah ditakdirkan menjadi manusia budak iblis sejak lahir. Dan menurutnya manusia sepertinya tentu tak bisa disalahkan sebab bagaimana bisa ia melawan takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Segala sesuatu yang telah disuratkan, mau mencoba dan berusaha sekuat apa pun jika itulah takdirku, maka ia akan tetap sama seperti yang telah dituliskan, begitulah yang selalu dikatakan Echos kepada dirinya sendiri dan kepada semua orang.
Tuhan yang menentukan mana orang yang diberi hidayah sebagaimana ada pula yang sama sekali tak diberi hidayah. Tak ada manusia yang mampu memberi hidayah.Â
Hanya Tuhan yang menentukan, ia yang terlahir dari rahim wanita yang dicap jalang oleh lingkungannya, dari ayah yang tak ada yang mengenalnya bahkan ibunya sendiri tak tahu siapa sebenarnya ayahnya. Sekali dalam hidupnya mendengar kata Tuhan, dari ibu dari ibunya yang hanya diingatnya telah meninggal saat ia masih belum mengerti apa itu hidup.
Namun meski yakin akan masuk neraka, Echos terkadang masih merasa kepingin juga malaikat datang kepadanya dan mengatakan takdirmu itu salah tulis dan kini telah direvisi. Tapi apa mungkin Tuhan salah tulis ?, Nggak mungkinlah, jiwa sesat Echos semakin menggelora. Aku ingin menjalankan takdirku dengan sempurna, aku akan menjadi budak iblis terbaik begitulah tekad yang ditanamkan Echos ke dalam dirinya, ia ingin masuk neraka dengan mulus tanpa ada yang menghalanginya.
Malam itu Echos baru saja sampai di poskamling kampung tempat ia dan gerombolannya biasa ngumpul, ditangannya tertenteng sebuah kantong yang berisi selusin ciu mata yang lebih keras dari arak Bali.
Belum juga duduk, Echos sudah teriak sambil melotot ke arah anggotanya yang terlihat loyo seperti tikus yang habis dikejar kucing. Sambil berkacak pinggang yang paling gagah.
"Mengapa seperti tikus kurap di situ, Bangsat.? Ambil ini dan putar" seru Echos seraya menyerahkan kantong berisi miras kepada salah seorang yang duduk di situ.
"Sorry bos, bos lupa yah kalau ini malam pertama Ramadhan, sebentar lagi mesjid di sebelah akan ramai dengan orang tarawih" Pesek anggota Echos yang paling disayangi coba memberi penjelasan.
"Ramadhan... Ramadhan itu buat orang yang bersih, buat orang yang ditakdirkan suci lahir dan bathin, bukan buat orang munafik kayak penduduk kampung ini, bancakan dana desa, selingkuh, makan harta anak yatim, tak peduli pada fakir miskin, usir saja mereka mari kita minum di dalam mesjid" Â kata Echos melengos dan akan bergegas ke mesjid yang tepat berada di seberang jalan poskamling tempat mereka nongkrong.
Komplotan Echos tentu saja kalang kabut, Echos kalau sudah ngomong pasti dilakukannya, belum mabuk saja sudah ganas, apalagi kalau sudah menenggak berbotol-botol ciu mata, bisa berabe.
Mereka cepat merangkul Echos dan membujuk agar jangan membuat ulah.
"Jangan Bang Echos, apa Abang nggak takut dosa, mengusir orang shalat dan malah minum miras di mesjid.? Pesek mencoba menahan Echos.
"Aku telah menjadi orang sesat!" timpal Echos.
"Dari dulu aku sudah sesat, tidak ada yang peduli. Biadab kalian semua" teriak Echos sambil menuding ke arah orang-orang yang mulai ramai berdatangan ke mesjid.
Sambil berkata begitu, Echos memungut sebutir kerikil yang cukup besar lalu melemparkannya ke arah kerumunan orang yang ada di depan mesjid.
"Hei... Kalian semua, lihat aku manusia yang lebih sesat dari setan. Nah, siapa yang mau jadi pengikutku?, tak perlu menjadi manusia munafik yang menyembunyikan dosa dibalik gamis dan jidat hitam." teriak Echos sambil mulai menenggak sebotol ciu mata.
Para jamaah mesjid yang baru tiba itu sontak kaget dan berhamburan menyelamatkan diri melihat Echos preman kampung yang saban hari selalu berbuat onar. Anggota Echos semua terdiam, bingung mau takut sama siapa, takut sama Echos atau takut sama warga atau takut sama tuhan, soalnya kali ini Echos sudah berani melawan tuhan di rumah tuhan.
"Kutanya sekali lagi, siapa yang mau jadi pengikut Echos budak iblis terbaik yang jauh dari sifat munafik hah.?" kembali Echos berteriak.
Semua bungkam. Dan Echos menerimanya sebagai sebuah tantangan yang membuatnya semakin meradang. Echos telah tiba di dalam mesjid tepat saat Gafur melantunkan adzan panggilan untuk mendirikan shalat isya, Gafur pemuda kampung yang baru pulang dari Mesir setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan keagamaan di Al Ashar, Mesir.
Suara lembut adzan yang dilantunkan Gafur, masuk ke telinga Echos seperti sebuah seruan yang meredam semua marah yang ada di dada Echos. Ia tiba-tiba merasa linglung, jiwa iblis yang biasanya menyanyi dihatinya kini diam Echos seperti terlupa bagaimana itu jahat, bagaimana itu dosa. Dari rasa linglung Echos mulai gemetar dan oleng mengikuti lantunan adzan hingga berakhir, Echos pun kemudian terjatuh saat Gafur menepuk pundaknya sambil menyapa.
"Assalamualaikum..."
Pesek dan kawan-kawan segera menghampiri Echos dan lalu membopongnya keluar dari mesjid. Echos hanya diam, sekarang bathinnya berperang antara seruan iblis atau seruan tuhan yang disampaikan melalui Gafur.
Kesadaran Echos sepertinya berangsur pulih saat shalat isya mulai didirikan dimana Pak Desa bertindak sebagai imam shalat. Bayangan dana desa yang dijadikan bancakan oleh Pak Desa dan kroni-kroninya membuat darah iblis di dada Echos kembali bergejolak. Diambilnya lagi ciu mata dan dibagikannya pada komplotannya, mereka mulai mengisi hatinya dengan kencing syaitan untuk membakar amarah yang terpendam.
Tepat ketika amarah telah meletup-letup dan siap ditumpahkan. Gafur tampil mengisi ceramah tarawih yang mana saat itu Gafur membahas tentang surah An-Nahl ayat 99-100.
"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya. Sesungguhnya kekuasaan (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah."
Mendengar ini Echos seperti ditampar oleh kebodohan, perlahan miras yang ada di hadapan mereka ditumpahkannya. Ia terpekur diam memasang baik-baik telinganya.
Didengarkannya dengan penuh penghayatan setiap  kata yang disampaikan udtadz Gafur.
"Allah Ta'ala telah mewajibkan bagi kita syariat-Nya dan memerintahkan kita dengan syariat tersebut. Sehingga yang tersisa bagi kita hanya ada dua pilihan." pelan tausyiah Ustadz Gafur merasuk di hati Echos.
"Pertama, bahwa Allah telah menetapkan takdir yang baik bagi kita dan menakdirkan kita sebagai penghuni surga. Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya rahmat-Nya itu mendahului kemarahan-Nya, ridha-Nya lebih Dia kedepankan dari pada rasa kebencian-Nya. Tempuhlah takdir yang demikian! Berlakulah dengan perbuatan layaknya calon penghuni surga. Setiap orang akan dimudahkan menuju takdirnya." Echos makin terpukul mendengar ini.
"Kedua, takdir dari prasangka buruk kita kepada Allah Ta'ala. Bahwa Dia akan memasukkan kita ke neraka dan kita memilih jalan-jalan yang mengantarkan kita ke neraka, wal'iyadzbillah." Demikian Ustadz Gafur melanjutkan yang  membuat Echos  sekarang  sesungukan.
"Maka sungguh bodohlah orang yang menempuh takdir buruk,  padahal Allah dengan kasih sayangnya yang maha luas telah menuliskan takdir baik bagi semua hambanya." sampai dikalimat ini Echos sudah melompat menuju ke tempat  wudhu  mengguyur seluruh kepalanya berusaha menghilangkan rasa mabuk yang mulai terasa di kepalanya.
Echos terus mengguyur dirinya, berharap  mensucikan dirinya dan bathinnya, ia tahu, ia malu, dan ia sangat takut dirinya kotor dan ia ingin mensucikan hatinya untuk menjemput takdir baiknya yang pernah dicampakkannya karena kebodohan.
"Innallaha laa yughayyiru ma bi qoumin, hatta yughayyiru ma bi anfusihim".
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah 'apa-apa/keadaan yang ada pada suatu kaum' (ma bi qoumin), hingga mereka mengubah apa-apa/keadaan yang ada pada jiwa-jiwa mereka (ma bi anfusihim)"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H