Dalam ceramah-ceramah Ramadhan seringkali kita mendengar ustadz mengutip hadits tentang keutamaan Ramadhan yakni hadits yang berbunyi:
"Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, sedangkan akhirnya adalah terbebas dari neraka."
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuabul Iman dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih ibn Khuzaimah.
Walaupun diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih-nya, menurut al-Suyuthi, hadits ini bermuara pada satu sumber sanad (madar), yaitu Ali ibn Zaid ibn Jadan yang divonis oleh para ulama sebagai orang yang dhaif.
Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits tersebut dari Ali ibn Zaid adalah Yusuf bin Ziyad yang divonis dhaif parah (dhaif jiddan). Walaupun ada ulama lain yang juga meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, yaitu Iyas ibn Abd al-Ghaffar. Sayangnya Iyas sendiri juga orang yang majhul menurut Ibn Hajar al-Asqalani. (Lihat: al-Suyuthi, Jmi al-Adts, [Beirut: Dar Fikr, j. 23, h. 176.)
Terus terang hadits ini bagi saya sangat memotivasi, ini termasuk hadits yang sejak saya masuk usia wajib puasa jadi favorit saya yang selalu saya ingat, ini sangat memotivasi saya untuk tidak bolong puasanya mulai dari awal, lalu dipertengahan hingga diakhir Ramadhan.
Namun ternyata sebagaimana penjelasan di atas hadits ini adalah dhaif, lalu apakah hadits tersebut tak bisa diamalkan dan diriwayatkan.?
Sebagai orang yang memfavoritkan hadits ini, tentu saja saya berusaha untuk mencari tahu.Â
Menurut Syaikh Dr Mahmud al-Thahhan (Ulama hadits Ummul Quro makkah al mukarramah) menyebutkan bahwa hadits dhaif bisa disampaikan atau diriwayatkan, bahkan tanpa menyebutkan kedhaifannya, namun dengan dua syarat berikut:
Pertama, tidak berhubungan dengan akidah, seperti sifat Allah subhanahu wata'ala, dan sebagainya.
Kedua, tidak berhubungan dengan hukum syariat seperti halal dan haram.
Jadi pada prinsipnya, hadits yang berkaitan dengan fadhail amal (keutamaan beramal) itu boleh diriwayatkan atau digunakan untuk ceramah, walaupun dhaif. Â
Ditambahkan oleh Syaikh DR Mahmud al-Thahhan bahwa ada beberapa ulama yang menggunakan hadits dhaif untuk semacam memberikan ceramah atau tausiyah, terkait maidhah, anjuran, ancaman, kisah, dan sebagainya. Seperti Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.
(Mahmud al-Thahhan, Taysr Musala al-Hadts, [Riyadh: Maktabah al-Maarif, 2004], h. 80).
Jadi sebenarnya hadits ini tetap baik dan bisa dijadikan sebagai hadits untuk memotivasi agar kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan tekun dan semangat.
Apalagi jika hadits ini disandingkan dengan hadits-hadits lain yang secara substansi sama tapi lebih sahih sanadnya. Seperti hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah berikut ini:
 "Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Ketika tiba awal malam bulan Ramadhan, para setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka. Pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup, lalu ada penyeru yang berseru, 'Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah. Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam'."
Atau juga hadits shahih Bukhari, Muslim
"Siapa yang menghidupkan bulan Ramadhan (dengan puasa atau ibadah) dengan iman dan mengharap pahala dari Allah SWT, maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan siapa yang menghidupkan (beribadah) malam lailatul qadar dengan iman dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wata'ala maka diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejatinya memang bulan Ramadhan ini adalah bulan yang penuh rahmat, penuh maghfirah atau ampunan dan bulan penuh kemuliaan bagi orang-orang yang beriman.
Ramadhan telah memasuki hari-hari akhir, sebentar lagi akan meninggalkan kita semoga ini bukanlah Ramadhan terakhir dalam hidup kita. Marilah kita panjatkan doa :
Bismillahirrahmanirrahiim.
Allahumma laa taj'alhu aakhiral 'ahdi min shiyaamina iyyaah,
fa-in ja'altahu faj'alnii marhuuman wa laa taj'alnii mahruuma.
Artinya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai yang terakhir dalam hidupku. Seandainya Engkau berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasaku ini sebagai puasa yang dirahmati bukan yang hampa semata."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H