Mohon tunggu...
Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - senang membaca, baru belajar menulis

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Quo Vadis Pilkada Serentak?

5 September 2020   20:45 Diperbarui: 5 September 2020   20:49 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada serentak tahun 2020 ini telah memasuki fase pendaftaran calon, sebagaimana perhelatan-perhelatan pilkada yang pernah dilaksanakan, seringkali diwarnai dengan hal-hal yang berekses negatif terhadap kondusivitas kehidupan bermasyarakat.

Keinginan untuk menarik simpati dari konstituen kadang demikian besarnya sehingga dilakukan tidak saja dengan cara cara simpatik namun banyak juga yang dilakukan dengan cara yang berlebihan seperti money politics, pembunuhan karakter, fitnah dan penghujatan serta kadang disertai dengan tindak kekerasan berupa pengrusakan terhadap simbol-simbol dan atribut kampanye dari pesaing maupun juga dalam bentuk saling hujat-menghujat antar pendukung calon. 

Intrik-intrik dalam proses perjalanan Pilkada ini tidak saja terjadi di dunia nyata tapi juga terjadi di dunia maya, bahkan apa yang terjadi di dunia maya seperti Facebook dan Twitter bisa sangat tidak terkontrol dan memiliki potensi untuk berkembang ke arah konflik baik antar elit maupun konflik horizontal di akar rumput.

Apa mungkin ini semua adalah merupakan konsekwensi dari sistem demokrasi yang kita anut?

Sistem pemilihan langsung yang menempatkan rakyat sebagai penentu siapa yang akan terpilih sebagai pemimpin berdasarkan suara terbanyak, sebagai perwujudan "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. 

Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak. Namun dalam perkembangannya marak kita temui bahwa demokrasi yang terjadi sudah kebablasan mulai dari tingkat elit hingga akar rumput, begitu banyaknya manipulasi-manipulasi kepentingan dengan mengatas namakan rakyat, menyebar janji-janji manis yang begitu muluk dan mempesona namun ketika saatnya untuk memimpin dan rakyat menuntut dan menagih janji.

Apa yang menjadi kepentingan yang dijanjikan kepada rakyat berbalik 180 derajat menjadi kepentingan pada golongan atau kelompok tertentu yang menjadi bagian dari perjalanan memenangkan Pilkada.

Satu hal mengapa ini bisa terjadi adalah proses Pilkada saat ini masih dimaknai sebagai Pilkada biaya tinggi bahwa Pilkada itu membutuhkan dana besar, mencari konstituen bukan hanya dengan pendekatan program namun lebih banyak dengan politik transaksional.

Tanpa regulasi dan pengawasan ketat soal dana kampanye, pemilihan umum berpotensi menjadi pintu masuk relasi koruptif yang melibatkan pejabat terpilih. Aliran dana politik dalam pilkada pada akhirnya memungkinkan sekelompok pemodal menjadi penentu proses pengambilan kebijakan publik.

Semoga saja Pilkada serentak tahun 2020 yang akan berlangsung dibulan desember ini, apalagi dalam situasi dan kondisi yang masih diselimuti kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19, dapat berjalan damai dan aman serta bermartabat, karena dengan itu semua, akan menjadi pintu menuju kesejahteraan masyarakat dan daerah yang lebih baik.

Marilah kita masyarakat dan juga partai politik pendukung calon untuk menegakkan Pilkada serentak ini, sesuai dengan harapan rakyat dengan menghindari money politics, kekerasan dan saling fitnah antar calon.  

Semoga segala potensi-potensi yang dapat mereduksi harapan rakyat, terhadap adanya kepemimpinan yang berakar dari rakyat, bebas dari politik melanggengkan dinasti kekuasaan bisa dihindari oleh rakyat yang mempunyai hak untuk menentukan kemajuan daerahnya bukan saja kemajuan secara fisik, ekonomi, namun tentunya juga kemajuan politik yang bebas dari kepentingan instan kekuasaan. Damai negeri ku____.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun