Mohon tunggu...
Metias Kurnia Dita
Metias Kurnia Dita Mohon Tunggu... -

Saya ada untuk memberi kemanfaatan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Anugerah Air dari Rinjani

16 April 2015   14:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429166008105267217

[caption id="attachment_410451" align="aligncenter" width="259" caption="Sumber Ilustrasi: www.jambidaily.com"][/caption]

Pada pertengahan tahun 2010 saya berkesempatan mengikuti program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Bebidas, Kabupaten Lombok Timur. Desa ini tepat berada di kaki Gunung Rinjani, gunung yang kecantikannya dikagumi oleh para pendaki dari berbagai belahan dunia.

Kala itu, Gunung tertinggi ke-3 di Indonesia ini masih memiliki hutan yang  relatif cukup terjaga.  Maka tak heran jika puluhan mata air mucul ke permukaan secara alami memancarkan air yang melimpah ruah. Dengan mata air yang melimpah bak jamur di musim penghujan itu, idealnya warga Lombok Timur tidak akan pernah mengalami krisis air. Namun, kenyataan berkata lain. Tidak semua desa bisa menikmati anugrah air dari Rinjani. Krisis air terjadi hampir setiap tahun. Ini tidak hanya memicu timbulnya masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial.

Apa sebenarnya penyebab krisis air tersebut? Apakah jumlah airnya yang memang terbatas? Sebagai mahasiswa KKN yang berusaha mengamalkan salah satu dari Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu Pengabdian Masyarakat, selama dua bulan kami berada di desa Bebidas ini kami mencoba membantu masyarakat setempat untuk menyelesaikan permasalahanya, salah satunya adalah masalah krisis air ini.

Setelah mengadakan musyawarah dengan warga dan mencoba membuka komunikasi dengan Pemerintah Daerah Lombok Timur, kami menyimpulkan bahwa akar masalah dari krisis air ini bukan terletak pada jumlah air yang terbatas melainkan pada sistem pendistribusiannya.  Belum ada sistem pendistribusian air dengan pipa yang dikelola oleh satu lembaga besar yang menaungi semua wilayah di kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar di Propinsi Nusa Tenggara Barat ini. Setiap mata air yang ada di suatu dusun akan menjadi “hak” warga dusun sekitar itu. Warga menyalurkan air tersebut dengan pipa-pipa sederhana secara mandiri atau bergotong royong dengan warga sedusunnya.

Sebagai ilustrasinya, dusun yang berada terdekat dengan sumber mata air kita beri nama Dusun A. Warga di Dusun A membangun bak penampungan air. Dari bak tersebut pipa-pipa air ke rumah warga dihubungkan. Lalu, warga dusun B, dusun yang letaknya berada di bawah Dusun A, memasang pipa besar dari penampungan di Dusun A untuk disalurkan ke penampungan di Dusun B. Warga Dusun B kemudian mengalirkan air dari penampungan air dusunnya ke rumah-rumah mereka. Begitu seterusnya hingga beberapa dusun ke bawah.

Saat debit air melimpah, air dibiarkan meluber dari penampungan air di dusun maupun dari penampungan air pribadi di masing-masing rumah warga. Luberan air tersebut dialirkan melalui parit-parit kecil menuju kebun-kebun warga. Lalu, bagaimana jika musim kemarau datang? Apakah air masih melimpah? Debit air yang keluar dari mata air memang berkurang ketika musim kemarau. Namun, berkurangnya itu tidak cukup signifikan. Karena sistem pendistribusian air yang demikian itu, air tetap bisa dinikmati oleh warga desa yang terdekat dengan lokasi mata air. Tidak adanya kran penutup air di masing-masing rumah membuat air “habis” di dusun yang terdekat dengan sumber air sehingga dusun yang letaknya semakin jauh dari sumber air tidak mendapat bagian air.

Sederhananya, kondisi ini membuat air terbuang mubazir di dusun yang terdekat dengan sumber air. Sementara itu, dusun yang berada semakin jauh dengan sumber air mengalami krisis air. Jika sudah seperti ini, tak jarang terjadi pertikaian warga antar dusun.

Menyikapi keadaan semacam itu, kami melakukan beberapa usaha selama dua bulan berada di desa yang sebagian ibu rumah tangganya menjadi TKW di luar negeri itu. Pertama, kami menawarkan dibuatnya organisasi yang khusus menangani masalah air di seluruh dusun yang ada di desa tersebut. Perwakilan tokoh masyarakat dari dusun-dusun pun ditunjuk. Langkah-langkah perbaikan pun direncanakan.

Kami, mahasiswa KKN dan perwakilan tokoh masyarakat mengajukan permohonan pengadaan pipa air ke Dinas Pekerjaan Umum setempat.  Namun, permohonan ini ditolak karena untuk membuat sistem pendistribusian air bersih dengan pipa yang terintegrasi untuk satu desa tidaklah murah. Karena rencana pertama ini menemui titik buntu, kami menggodok rencana ke-dua yaitu pengadaan pipa secara mandiri oleh warga. Lagi-lagi, ini sulit dijalankan karena tidak mudah menyatukan kepala seluruh warga. Para tokoh masyarakat pun semangatnya mulai mengendur karena langkah pertama dan kedua yang menemui jalan buntu.

Di sisa waktu yang kami miliki di lokasi KKN, kami tidak lantas diam menghadapi rencana-rencana perbaikan tata kelola air yang nampaknya mustahil kami carikan solusi itu. Kami mendatangi rumah warga satu persatu dan memberi penjelasan kepada mereka bahwa air adalah hak semua orang sehingga masing-masing kita sebaiknya bijak mengelola air. Kami juga menyarankan agar pipa dari penampungan dusun menuju penampungan yang ada di rumah mereka diberi kran penutup. Tujuannya adalah agar air bersih tidak terbuang secara percuma, mengingat warga “desa bawah” yang sering kekurangan air bersih. Bersama-sama warga kami juga mengadakan  kegiatan gotong-royong memperbaiki pipa-pipa yang sering bocor untuk meminimalisir jumlah air yang terbuang sia-sia.

Selain mengadakan kegiatan-kegiatan di atas, kami juga mengadakan penyuluhan tentang pelestarian sumber air. Penyuluhan kami adakan di masjid-masjid dengan sasaran kaum bapak, di posyandu dengan sasaran kaum ibu dan tak ketinggalan di sekolah-sekolah dengan sasaran para siswa dari SD hingga SMP. Melalui penyuluhan tersebut, kami ingin menanamkan pemahaman pada warga tentang pentingnya pelestarian sumber air.

Dua bulan ternyata waktu yang sangat singkat. Semua usaha yang kami lakukan itu nampaknya tidak membuahkan hasil. Namun, kami percaya bahwa suatu saat perilaku masyarakat berkaitan dengan tata kelola air bersih ini akan berubah. Tentu saja, tidak bisa berubah dengan simsalabim. Semua pihak harus bergerak memperbaiki kondisi ini. Pemerintah, tokoh masyarkat, swasta dan orang-orang terdidik harus merasa “memiliki” masalah ini dan bersama-sama mencari solusinya demi kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

Aqua, sebagai salah satu perusahaan swasta, dalam hal ini telah melakukan berbagai cara untuk menjaga kelestarian sumber air bersih. Maka dari itu, kita perlu memberikan dukungan atas upaya tersebut. Sebagai golongan masyarakat yang terdidik, tentu kita tahu betul dari mana kita harus bergerak. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo kita mulai bergerak meski dengan langkah yang paling sederhana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun