Mohon tunggu...
Metha Madonna
Metha Madonna Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan peneliti kajian jurnalistik, media dan penyuluhan pembangunan, Fikom Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Life is beautiful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beda 'Kasta' Netizen Anarkis dengan Citizen Journalist

5 Desember 2022   10:52 Diperbarui: 5 Desember 2022   11:25 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah para pelaku jurnalis warga telah memastikan  narasumber atau peristiwa  memiliki validitas yaitu artinya dapat diklarifikasi dan dikonfirmasi,  selanjutnya yang harus diperhatikan yaitu  memiliki nilai urgensitas bagi publik, edukatif, informatif serta tidak mengandung unsur provokasi berbasis sentimen Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

Biasanya menjelang  Pemilihan Umum (Pemilu), apalagi Pemilu serentak 2024, praktik jurnalisme provokasi berbasis sentimen SARA segera bermunculan di media sosial, media siber bahkan bagi media mainstream yang kurang peka atau teliti dapat terjebak  mempraktikannya.

Lalu apa saja informasi atau pemberitaan yang dapat dikategorikan jurnalisme provokasi.  Mengutip Jurnal Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Jakarta Raya 5 (1), 65-82, 2019  beberapa indikasinya yaitu  memuat justifikasi kepada individu atau kelompok yang belum jatuh vonis dari peradilan, memantik  penghujatan yang berujung persekusi, memanipulasi fakta, agitatif dan lainnya (https://scholar.archive.org/work/uzuaoyxwlzgtzlud3vb5dnzir4/access/wayback/http://ojs.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/download/422/pdf).

Praktik jurnalisme provokasi kerap muncul pada masa menjelang kampanye Pemilu sehinggga turut memanaskan tensi politik.   Apabila artikel atau tayangan audiovisual yang dimaksud hanya sekadar ilustrasi kefanatikan atau dukungan kepada salah satu tokoh atau partai politik peserta Pemilu, tentu bukan masalah.  Namun manakala informasi atau pemberitaan telah berpotensi  menimbulkan konflik apalagi berujung tindakan anarkis di masyarakat, maka harus diantisipasi sejak dini.

Karenanya penting bagi para jurnalis warga untuk waspada agar tidak terjebak menghasilkan karya jurnalistik namun bersifat provokatif.  Berdasarkan kewaspadaan tersebut sangat wajar apabila  Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi, Dewan Pers serta institusi pers terkait mesti merangkul  citizen journalist.

"Sebaiknya Dewan Pers  maupun organisasi profesi kewartawanan manapun harus merangkul, membina bahkan mendidik  para jurnalis warga agar memahami adab berkomunikasi juga KEJ," tegas  pengamat pers nasional sekaligus Komisioner Kejaksaan  RI, Muhammad Ibnu Mazjah SH, MH pada acara yang sama. (metha)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun