Dewasa ini, banyak ditemui bahwa pelajar mulai kehilangan motivasi belajarnya dan memiliki daya juang yang begitu rendah akan kehidupannya. Para pendidik (orang tua, guru, dosen) pun menyadari hal tersebut.Â
Akan tetapi, sulit untuk memberi perhatian serta bantuan secara maksimal terkait motivasi belajar dan daya juang pelajar. Karena daya juang seseorang terbentuk sejak kecil mulai dari didikan yang didapatkan dari orang tuanya dan terbentuk dari pengalaman hidupnya di sekolah.
Sebenarnya, didikan dari orang tua-lah yang paling mempengaruhi seseorang dalam bagaimana ia berpikir dan memandang dunia yang ada di sekitarnya dan kemudian tertuang dalam bagaimana ia menyikapinya. Namun, seringkali orang tua maupun anak tidak menyadari hal tersebut.Â
Orang tua tidak merasa bahwa mereka sedang menanamkan hal yang akan membuat anaknya kesulitan kedepannya, dan anak pun tidak menyadari bahwa pikiran, rasa takut, hingga respon yang ada bersamanya hingga saat ini adalah efek jangka panjang dari apa yang ditanamkan oleh orang tuanya.
Ketika orang tua hanya fokus pada hasil akademik yang didapat anaknya, tanpa terlibat secara maksimal dalam dukungan moral dan psikologis, anak akan menjadikan hal itu sebagai acuan dalam kehidupannya.Â
Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yang pertama adalah anak dapat menjadi pribadi yang ambisius dalam hidupnya, tetapi akan mudah depresi ketika ia menemui rintangan dalam proses mencapai tujuannya.Â
Kemungkinan kedua adalah ketika anak sudah mengenal kapasitas dirinya sendiri dan memiliki tujuan yang berbeda dari harapan orang tuanya, jika tidak bisa dikomunikasikan secara baik, anak tersebut secara tidak langsung akan memberikan kesan memberontak.Â
Dari kemungkinan pertama, ke depannya anak akan menjadi pribadi yang tinggal diam di dalam zona nyamannya, tidak berani untuk mencoba hal yang baru, dan berpotensi menjadi orang yang egois dan apatis.Â
Dari kemungkinan kedua, anak bisa menjadi orang yang melakukan semua yang ingin ia lakukan, tetapi ada pribadi yang memiliki pertimbangan baik dan matang dalam keputusannya, ada yang menjadikan keputusannya itu sebagai pelampiasan dari kekang harapan dan ambisi orang tuanya.
Tidak hanya di lingkungan keluarga, hal tersebut juga dapat terjadi di lingkungan akademik. Kebanyakan institusi dan guru menjadikan nilai akademik sebagai tolak ukur kesuksesan pelajar. Kecerdasan pelajar seringkali disamaratakan antara yang satu dengan yang lain.Â
Padahal manusia memiliki 9 kecerdasan (linguistik, logis-matematis, spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalistik, dan eksistensial) yang setiap individu memiliki keunggulannya masing-masing.Â
Ekstrakurikuler di dalam institusi pendidikan pun seperti hanya menjadi kegiatan tanpa esensi yang jelas, tetapi jika pelajar menuai prestasi di dalam ekstrakurikuler, institusilah yang mendapat pengakuan terbesar.Â
Meski demikian, dalam prosesnya, pelajar tidak pernah didukung secara penuh. Sulitnya mencari dana persiapan lomba, dan adanya cibiran dari guru mata pelajaran yang merasa dikesampingkan. Bakat dan minat pelajar nyatanya belum dapat difasilitasi secara maksimal oleh banyak sekolah, khususnya sekolah negeri.
Meski banyak ketidakoptimalan dalam memaksimalkan kecerdasan pelajar di sekolah, aturan yang ada justru memberi jalan mulus kepada pelajar yang tidak memiliki potensi daya juang yang baik.Â
Beberapa tahun terakhir jarang ditemui pelajar yang tidak naik kelas karena nilainya tidak memenuhi. Ada istilah "katrol nilai" yang menjadi rahasia umum di sekolah yang merupakan salah satu bentuk ketidakadilan untuk pelajar yang akan berdampak kurang baik dalam jangka waktu panjang.Â
Disebut ketidakadilan karena ke depannya ia akan sulit menyadari apa yang kurang dalam dirinya dan usahanya, karena selalu mendapatkan apa yang sebenarnya tidak layak ia dapatkan.Â
Tidak adil juga bagi orang lain yang lebih mengoptimalkan dirinya, tetapi mendapatkan penilaian yang sama dengan orang yang sebenarnya tidak layak bersanding bersamanya.
Dari latar belakang yang demikian, akan membawa pengaruh yang cukup besar ke jenjang yang lebih tinggi, yakni perguruan tinggi. Karena merasa bahwa dunia pendidikan akan membantu kehidupannya meski dengan usaha yang minim, mahasiswa akan lebih tergoda untuk melakukan hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya karena terkekang oleh sangkar peraturan dan standar nilai yang menurutnya ketat, dibandingkan meningkatkan potensi diri untuk kehidupannya di dunia yang lebih luas dan terbuka.Â
Apalagi jika orang tua masih memfasilitasi secara penuh pendidikan anaknya di perkuliahan, karena merasa aman, tidak sedikit mahasiswa yang menyepelekan secara langsung maupun tidak langsung.Â
Sehingga banyak mahasiswa yang menjadi "mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang)" yang hanya datang kuliah untuk absen dan menyerap materi tanpa mengimplikasikannya ke dalam kehidupannya secara optimal, tidak mencari relasi baik yang dapat saling menguntungkan, dan tidak mencari kegiatan yang dapat membuat hidupnya sarat makna.Â
Hal ini dapat berdampak jelas ketika mahasiswa sudah lulus dan lepas dari perguruan tinggi, ketika kesulitan mencari pekerjaan karena minim keahlian dan relasi, ketika terpaksa bekerja di bidang yang berbeda dari kompetensi yang diambil. Ia akan kesulitan untuk menghadapi rintangan dan mengambil keputusan yang diperlukan dalam kehidupannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H