Mohon tunggu...
SolemanD
SolemanD Mohon Tunggu... Pengacara - Ad Maiorem Dei gloriam - postgraduate

Proses pembelajaran adalah sebuah kisah cerita yang tak mengenal akhir. Menempah kita untuk terus mencari, menggali seni berpikir dan mencipta. Dan pengetahuan adalah laboratorium kekal yang mengajarkan kita untuk terus berkarya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Paradoks Kedaulatan di Laut Natuna Utara dan Redesain Kekuatan Maritim

31 Mei 2024   01:52 Diperbarui: 31 Mei 2024   02:02 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paradoks Kedaulatan Di Laut Natuna Utara Dan Redesain Kekuatan Maritim.

Menyambung dari topik utama mengenai isu kedaulatan yang diangkat oleh Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) bagi setiap unsur lapisan masyarakat untuk memberikan opini /penilaian sebagai wujud peningkatan kesadaran warga negara (Citizen's Awareness) terhadap adanya ancaman kedaulatan dengan sub tema "Ancaman Konflik di Laut China Selatan Terhadap Kedaulatan Indonesia". 

Oleh sebab itu dengan adanya fakta kronologis eskalasi di kawasan Laut Cina Selatan antara Negara kita Indonesia dengan Negara China seiring meningkatnya aktivitas China di kawasan tersebut, dimana Pemerintah China menuntut Indonesia untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah perairan Kepulauan Natuna. (CNBC Indonesia, 02/02/2022) Wilayah maritim tersebut memang sama-sama diklaim kedua Negara, baik Negara kita Indonesia maupun China. Indonesia yang sebagian wilayahnya bersinggungan, dituntut waspada dan cermat dalam menjaga dan menegakan kedaulatan wilayahnya. Kedaulatan pada dasarnya adalah sebuah konsep keutuhan. 

Kedaulatan juga merupakan ciptaan hukum, maka kedaulatan adalah sebuah paradoks yang mana bukan sebuah kemustahilan, karena jika suatu Negara berdaulat secara mutlak maka Negara tersebut seolah-olah tidak mengenal hukum dan dengan demikian, saat kedaulatan itu ada maka Negara seperti meniadakan hukum yang memberikan /menciptakan kedaulatan tersebut. Hal ini terang terlihat pada situasi global dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir dimana kedaulatan terus menjadi tema penting di tengah munculnya sejumblah konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Konflik kepemilikan di Laut Cina Selatan antara negara kita Indonesia dengan Negara China merupakan contoh nyata bagaimana wilayah kedaulatan suatu Negara dengan mudah diklaim menjadi wilayah kedaulatan oleh Negara lain dengan serta merta melakukan aktivitas patroli keamanan laut yang dilakukan oleh Negara China sampai dengan memprotes aktivitas Pemerintah Indonesia yang melakukan kegiatan ekonomi dalam wilayah ZEE-nya sendiri. Negara kita Indonesia memang tidak termasuk negara yang terlibat tumpang tindih klaim di Laut China Selatan oleh China. 

Namun, garis putus-putus China nine dash line secara langsung bersinggungan dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau sehingga China merasa berhak atas klaimnya. Nine dash line adalah sembilan garis putus-putus yang merupakan dasar yang digunakan oleh China untuk mengklaim seluruh Kawasan Laut China Selatan yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Namun bila dilihat dari Hukum Internasional kedudukan klaim Indonesia adalah sah berdasarkan UNCLOS 1982 dibandingkan konsep Nine dash line oleh China.

Kedaulatan yang telah menjadi isu yang sentral dialami banyak Negara termasuk Indonesia terlihat seperti tidak diterima sebagai kepemilikan yang berharga atau bahkan sebagai atribut suatu Negara yang merupakan entitas politik. Oleh sebab itu hemat Penulis dengan melihat Kedaulatan kita di Laut Natuna Utara sebagai sebuah paradoks maka reaksi kita terhadap aktivitas China dalam upayanya mengambil atau menyatakan wilayah Laut Natuna Utara sebagai wilayahnya menjadi Laut Cina Selatan adalah tidak sebatas pada upaya-upaya normatif (prosedur Hukum Internasional maupun pemenuhan kewajiban hukum UNCLOS 1982 Indonesia telah menyampaikan ke Sekjen PBB mengenai titik-titik dasar, garis pangkal, dan batas-batas maritime dengan berbagai negara tetangga) maupun politis (jalur diplomasi serta dalam level multilateral melanjutkan kerjasama dengan Negara ASEAN dan China) tetapi adanya kebijakan taktis sebagai wujud redesain kekuatan maritim baik itu secara jangka pendek maupun jangka panjang.

Di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Negara kita Indonesia memiliki hak berdaulat untuk melakukan pengelolaan sumber daya kolom air. Sementara itu, di landas kontinen, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola dasar laut, dan kekayaan di bawahnya. Indonesia juga memiliki hak berdaulat di landas kontinen di luar 200 mil laut hingga maksimal 350 mil laut apabila Indonesia dapat membuktikan secara ilmiah, seperti halnya pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas submisi ekstensi landas kontinen dengan luas 4. 209 km2. (Peraturan Presiden 16/2017) Pelaksanaan dari kedaulatan dan hak berdaulat Negara kita Indonesia di berbagai zona maritim tersebut memang telah sejalan dengan Hukum Internasional karena harus memperhatikan kepentingan strategis Indonesia, yang mana menyangkut usaha menjamin keutuhan wilayah Negara, menjaga Kedaulatan Negara, dan kepentingan kesejahteraan segenap bangsa. 

Akan tetapi ketika berhadapan dalam konteks tertentu seperti isu balance of power ketika adanya potensi ancaman terhadap Kedaulatan Negara kita dari China misalnya, maka tentunya hal tersebut sangat berdampak terhadap posisi tawar kita dalam kancah hubungan Internasional ataupun Politik Global. Mengapa demikian, karena menurut Penulis balance of power harus menjadi sarana pragmatis kita dalam bernegara guna melindungi eksistensi Negara. Negara kita tidak bisa hanya melawan dengan mengedepankan prinsip-prinsip dan keberlakukan Hukum Internasional untuk Negara lain menghormati kedaulatan kita. Sarana pragmatis ini dibangun sebagai konsep bernegara bahwa suatu Negara hanya dapat menjamin kelangsungan hidupnya dengan mencegah Negara lain menguasai dominasi militer dan basis kekuasaannya. (Kevin Bloor, 2022)

Pendapat yang diutarakan Dosen universitas Satyagama Jakarta Asrudin yang menekankan pentingnya sikap tegas oleh Pemerintah dalam menegakkan hak berdaulat Indonesia di ZEE Natuna Utara, ini berlaku tak hanya kepada China, juga terhadap negara-negara lain yang melanggar wilayah ZEE Indonesia. Menurut Asrudin, sikap tegas penting agar Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain. Tanpa ketegasan, persepsi itu akan tumbuh dan merugikan kedaulatan sebagai negara besar. (Kompas.com 2019) Bagi Penulis pendapat tersebut harus juga diikuti dengan Political will dari Pemerintah. Sikap tegas Pemerintah sepatutnya selaras dengan lahirnya kebijakan terkait redesain kekuatan maritim sekarang dan ke depan. 

Memang Presiden Joko Widodo sudah melakukan kebijakan terkait perairan Indonesia yang sangat luas dengan potensi sumber daya dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan Peraturan Presiden Nomor 16 /2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia akan tetapi dalam Perpres tersebut pengaturannya masih sektoral sehingga tentu akan memakan banyak biaya dan berpotensi adanya tindak lanjut kebijakan yang tumpang tindih. 

Dan salah satu dari 7 (tujuh) pilar kebijakan adalah Pertahanan Keamanan, Penegakan Hukum dan Keselamatan di Laut. Bagi Penulis kebijakan ini dalam pengaturannya belum berhubungan atau tidak berpengaruh langsung terhadap redesain kekuatan maritim kita. Contoh bahwa melihat ukuran perlindungan maritim kita dapat dilihat pada status kekuatan militer kita dengan menggunakan data tahun 2014 berdasarkan sumber dari Economist.com kekuatan militer Indonesia di Asia menempati urutan ke 6 (enam) jauh tertinggal di bawah China menempati urutan 1 (pertama) dari 9 (Sembilan Negara) menunjukan bahwa redesain kekuatan maritim kita masih belum menjadi prioritas utama.

Kemudian data tahun 2023 mengenai peringkat kekuatan laut armada Indonesia, berdasarkan lembaga pemeringkatan Global Firepower (GFP) merilis laporannya mengenai data kekuatan militer 145 negara di seluruh dunia yang ditinjau melalui lebih dari 60 (enam puluh) faktor dengan sejumblah kategori, mulai dari unit militer, status keuangan, hingga kemampuan logistic suatu Negara. Negara kita Indonesia sendiri menempati peringkat ke-13 (tiga belas) secara akumulatif berdasarkan kekuatan militernya pada tahun 2023. Negara kita Indonesia memiliki skor 0.2221 serta berhasil mengalahkan skor Mesir dan Ukraina. Sementara dalam peringkat global, Negara kita Indonesia menempati urutan ke-6 (enam) dengan skor 324.

 Indonesia berada di atas Italia yang memiliki skor 313 dalam daftar global. Adapun skor kekuatan armada laut dihitung dari seluruh jenis Kapal perang yang ada di Negara tersebut. (Indonesiabaik.id 2023) Dengan melihat data-data diatas dengan kategori-kategori penilaian, jelas menunjukan ada peningkatan statistik termasuk armada laut kita namun belum menunjukan adanya balance of power terhadap subjek ancaman potensial terhadap kedaulatan kita in casu China. Mengingat pentingnya keseimbangan kekuatan dalam perspektif realisme dalam hubungan politik global yang selalu nyata terjadi dalam hubungan internasional.

Bahwa berdasarkan Teori Politik Global oleh Kevin Bloor maka Penulis berkesimpulan bahwa hubungan politik internasional masih didominasi oleh pikiran realisme yang mencangkup negara berdaulat sebagai aktor utama politik global, keseimbangan kekuatan, perang yang tidak bisa dihindar, dilema keamanan dan pentingnya anarki internasional. 

Oleh sebab itu sebagaimana telah disinggung sebagian diatas bahwa secara ideologis pandangan realis tentang sifat manusia berasal dari perspektif konservatif yang mengambil pandangan bahwa manusia didorong oleh naluri primordial yang berpusat pada kelangsungan hidup. Tak pelak, hal ini tercermin dalam ranah hubungan internasional maupun politik global /politik luar negeri setiap Negara.

Untuk itu dapat Penulis sampaikan pada bagian akhir kesimpulan penulis dalam opini ini ialah bahwa pentingnya redesain kekuatan maritim adalah untuk dapat memberikan pengaruh politik kita dalam lalu lintas maritim dunia demi terlindunginya kedaulatan kita sebagai dampak paradoksnya kedaulatan itu sendiri. Yang penulis maksudkan adalah upaya mewujudkan pertahanan Negara yang mampu menangani keamanan wilayah maritim, yang mencangkup penangkalan umum maupun penangkalan melalui laut dengan pola tertentu entah itu defens aktif atau ofensif sehingga mampu memberikan efek penangkalan (deterrent effect). Harapan bahwa keinginan redesain kekuatan maritim kita dapat dijalankan oleh Pemerintah sebagai political will yang mendapat prioritas dalam kebijakan pos anggaran tentunya dan dikerjakan oleh pihak-pihak atau institusi yang benar-benar berkompeten untuk itu serta yang pasti memiliki integritas. 

Demikian ulasan opini saya dan perkenankan saya menutupnya dengan menyampaikan ajaran filsuf Yunani Thucydides yang sering juga disampaikan oleh Bapak Prabowo Subianto Menteri Pertahanan kita (President terpilih) "Yang kuat akan berbuat apa yang dia mampu berbuat, dan yang lemah akan menderita". Terima Kasih, Merdekaaaaa!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun