Mohon tunggu...
Mesa Indra Naiborhu
Mesa Indra Naiborhu Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Hukum, Management, dan Keuangan

Meminati bidang hukum, management, dan keuangan yang dapat dipergunakan untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

"New Normal" Sebagai Evolusi Manusia

5 Juni 2021   22:59 Diperbarui: 5 Juni 2021   22:56 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar tahun 1918, terjadi penjangkitan wabah yang dikenal dengan "Flu Spanyol" yang diduga menelan korban berkisar antara 20 juta sampai dengan 100 juta jiwa serta menginfeksi sekitar 500 juta jiwa. 

Dalam riset yang dilakukan oleh BBC World Service, Fernando Duarte, yang dikutip dari covid19.go.id (30 Juli 2020), bahwa korban akibat wabah flu Spanyol lebih banyak dibandingkan korban tewas akibat perang dunia pertama, dan flu Spanyol yang menyebabkan berhentinya perang dunia pertama.  Termasuk Indonesia (yang kala itu masih dijajah oleh Belanda) juga dilanda oleh wabah flu Spanyol dengan tingkat infeksi tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Afrika Selatan.  Saat wabah tersebut melanda, perkiraan kematian di Indonesia, sebanyak 4,26 juta sampai 4,37 juta jiwa hanya di Pulau Jawa dan Pulau Madura saja.

Tidak diketahui dengan pasti darimana pertama kali timbulnya flu Spanyol ini, tetapi diduga awal kemunculan virus ini (strain virus flu Spanyol yang berhasil diekstraksi adalah 1H1N), tetapi penyebarannya sangat cepat karena persebaran tentara pada saat itu yang sedang berlangsungnya perang dunia pertama.  Selain itu wabah flu Spanyol juga terjadi dalam 3 gelombang, dimana gelombang kedua dan ketiga memberikan dampak infeksi dan kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan gelombang pertama.

Tingginya tingkat infeksi dan kematian akibat flu Spanyol tersebut, berdasarkan tulisan Ravando Lie, dari University of Melbourne, yang berjudul : "Learning (or failing to learn) from the Lessons of the 1918 Spanish Flu", juga disadur dari covid19.go.id (30 Juli 2020) yang mengutip hasil penelitian sejarah wabah dari Universitas Indonesia, Syefri Luwis, mengungkapkan beberapa penyebab tingginya tingkat infeksi dan kematian, yaitu :

  • Respons yang lambat dan cenderung menganggap remeh dari Pemerintahan Hindia Belanda atas wabah yang terjadi.
  • Masyarakat tradisional juga larut dalam mitos yang mempercayai bisa menangkal penyakit, tetapi tidak terbukti.  Ketika jumlah pasien meningkat pesat, rumah sakit kolonialpun kewalahan.
  • Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyalahkan pribumi yang hidupnya tidak bersih dan menolak pengobatan barat.  Sementara mereka juga dikritik oleh DPR Hindia Belanda (Volksraad) karena lambat bertindak. Pada akhirnya pemerintah kolonial dianggap gagal mengatasi pandemi influenza 1918-1919.
  • Banyaknya hoax yang muncul kala itu, salah satunya adalah dengan mengkonsumsi ikan lele bisa menangkal flu Spanyol.
  • Tidak adanya larangan masyarakat untuk berkumpul oleh Pemerintah Hindia Belanda meski telah diperingatkan oleh Dinas Kesehatan kala itu.  Ternyata perintah yang melarang Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak menghambat masyarakat berkumpul berasal dari Direktur Kehakiman kala itu dengan pertimbangan bahwa melarang orang berkumpul akan menimbulkan keresahan.  Walaupun pada akhirnya, sekitar tahun 1920 Pemerintah Hindia Belanda mulai menerpakan protokol kesehatan, tetapi kurang ditaati masyarakat.
  • Kurangnya karantina wilayah menyebabkan flu Spanyol menyebar dan berkembang.
  • Ilmu kedokteran pada masa itu tidak punya alat penelitian yang memadai.

Flu Spanyol "mulai mereda" pada tahun 1920 (sekitar 2 tahun masa mewabahnya), dikarenakan beberapa hal, yaitu :

  • Arie Rukmantara, penulis buku sejarah pandemi, yang dikutip dari health.detik.com (04 Agustus 2020), mengungkapkan bahwa pemerintah membentuk Inter-coordination Agency (badan yang mengatur koordinasi antar lembaga) ketika terjadinya flu spanyol.  Bukan hanya fokus pada urusan kesehatan, melainkan juga memantau urusan pelabuhan untuk mengatur keluar-masuknya penumpang, dan aturan lainnya, seperti karantina, edukasi.
  • Pemberian edukasi kepada masyarakat tentang penularan, gejala, dan hal-hal yang terkait dengan flu Spanyol.
  • Pemberian sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan, agar masyarakat, terutama tokoh-tokoh masyarakat mau menjalankan protokol kesehatan.
  • Adanya kemungkinan terjadinya mutasi yang cepat yang memungkinkan terjadinya evolusi dari waktu ke waktu menjadi jenis yang tidak terlalu mematikan.

Berdasarkan penjelasan singkat mengenai flu Spanyol, dampak dan mitigasi yang pernah dilakukan, maka untuk wabah Covid-19, dampak dan mitigasi yang akan dilakukan juga memiliki kemiripan, dimana masing-masing memiliki gejala yang mirip dengan serangan influenza, cepat menular, dan mematikan, serta penanganannya yang sama-sama menerapkan protokol kesehatan.  Perbedaan yang terutama adalah kelengkapan alat-alat penelitian kedokteran serta pada masa itu belum dilakukan vaksinasi untuk menanggulangi flu Spanyol seperti yang terjadi saat ini dalam menghadapi Covid-19.

Jika melihat pola kemunculan wabah-wabah yang mendunia sejak abad pertengahan, menurut hemat penulis, memiliki keterkaitan dengan jumlah populasi yang semakin meningkat dan gaya hidup yang semakin berkurang tingkat kesehatannya, serta kemajuan teknologi yang dimiliki.  Beberapa wabah besar yang pernah timbul yang mengubah dunia antara lain adalah sebagai berikut :

  • Wabah Pes I terjadi pada periode tahun 541 - 542 yang memakan korban sekitar 30 juta sampai 50 juta jiwa, dengan perkiraan populasi dunia pada masa itu sekitar 80 juta sampai dengan 100 juta jiwa.
  • Wabah Pes II (sering disebut "the black death) terjadi pada periode tahun 1346 -- 1353, yang menyebabkan kematian sebanyak 25 juta jiwa, dengan perkiraan populasi dunia pada masa itu sekitar 475 juta jiwa.
  • Wabah Kolera terjadi pada periode 1817 -- 1823, yang menyebabkan kematian sebanyak 800.000 jiwa, dengan perkiraan populasi dunia pada masa itu sekitar 900 juta jiwa sampai dengan 1 milyar jiwa.
  • Wabah Flu Spanyol terjadi pada periode 1918 -- 1920, yang menyebabkan kematian sebanyak 30 juta sampai 50 juta jiwa, dengan perkiraan populasi pada masa itu sekitar 1,7 milyar sampai 1,8 milyar jiwa.
  • Wabah Flu Asia terjadi pada periode 1956 -- 1958, yang menyebabkan kematian sebanyak 2 juta jiwa, dengan perkiraan populasi pada masa itu sekitar 2,6 milyar jiwa.
  • Wabah HIV/AIDS yang awal terjadinya pada tahun 1976 dan menjadi pandemik global ditetapkan tahun 1981, yang menyebabkan kematian sekitar 36 juta jiwa.
  • Wabah Flu Babi terjadi pada periode 2009 -- 2010, yang menyebabkan kematian sekitar 500.000 jiwa dan menginfeksi sampai 60 juta jiwa, dengan perkiraan populasi pada masa itu sekitar 6,8 -- 6,9 milyar jiwa.
  • Wabah Covid-19 yang dimulai pada akhir 2019, dan hingga tanggal 02 Juni 2021 telah menginfeksi sekitar 172,8 juta jiwa di seluruh dunia yang telah menyebabkan kematian sebanyak 3,7 juta jiwa, dengan perkiraan jumlah penduduk dunia sekitar 7,7 milyar jiwa.
  • Diperkirakan jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 akan mencapai kiraran 9,9 milyar sampai dengan 10 milyar jiwa, yang akan memperbesar potensi munculnya wabah-wabah baru.

Melihat fakta-fakta wabah yang pernah timbul secara mendunia, terlihat bahwa kemungkinan wabah baru akan tetap timbul dengan jenis dan awal timbulnya yang beragam.  Tetapi yang pasti adalah teknologi akan terus berkembang, karena dengan timbulnya kondisi kritis di dunia akan memicu munculnya inovasi untuk menghadapi dan menyelesaikan kondisi kritis tersebut.  Walaupun peningkatan populasi dunia menjadi faktor utama sebagai pemicu kemunculan wabah lainnya, karena peningkatan populasi dunia akan menyebabkan meningkatnya persaingan untuk hidup baik antar individu maupun antar negara, yang menjadi pemicu hal-hal destruktif.

Peningkatan populasi dunia bukan hal yang mudah untuk dikendalikan, sementara potensi gangguan kesehatan akan selalu menghampiri masyarakat, untuk itu, seperti yang sudah dikampanyekan oleh Pemerintah, dinas-dinas sosial, maupun berbagai pihak, agar kiranya menjaga protokol kesehatan (protokol Covid-19) dapat dijadikan sebagai model hidup di keseharian, yang sering disebut dengan New Normal.  Hal ini sangat baik tujuannya, demi mengantisipasi kemunduran daya dukung hidup dari alam dan lingkungan serta meningkatnya populasi dengan konstan.  Pelaksanaan vaksinasi nasional secara massal tidak menyebabkan kita mengendurkan pelaksanaan protokol Kesehatan di kegiatan sehari-hari.

Dengan menjalankan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin, maka kita akan lebih mampu bertahan jikapun akan ada wabah-wabah berikutnya yang akan timbul.  Protokol kesehatan ini tidak hanya dijalankan karena adanya wabah Covid-19, tetapi dapat dijadikan sebagai kebiasaan baru (New Normal), yang meliputi : menjaga jarak fisik pada saat beraktifitas di luar rumah, menggunakan, masker dengan disiplin setiap saat pada saat beraktifitas di luar rumah,  (terutama jika berada di suatu gedung yang banyak dikunjungi orang), menggunakan pembersih tangan dan menghindari tangan mengusap wajah, serta serajin mungkin membasuh tangan dengan sabun.

Penggunaan masker tidak selalu harus membeli dengan harga mahal, karena penggunaan masker buatan sendiri dari kain tentunya dengan lapisan yang sesuai dengan saran yang diberikan oleh ahli kesehatan, juga akan memberikan perlindungan yang baik kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun