Pandemik COVID-19 memberikan dampak yang sangat luas terhadap kelangsungan dunia usaha, mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar. Â Dampak luas yang ditimbulkan adalah penurunan penjualan akibat dari pembatasan aktivitas masyarakat.
Bisnis pertama yang terkena dampak ini adalah perusahaan yang bergerak di industri jasa, seperti restoran, perhotelan, travel, penerbangan, pariwisata, dan usaha-usaha lain yang terkait. Â Jumlah pengusaha di bidang ini sangat banyak dan tersebar luas di hampir setiap lapisan masyarakat yang mana jumlah karyawan yang terlibat di industri jasa tersebut juga banyak dan bervariasi. Â Inilah awal dari dampak yang ditimbulkan oleh pandemik Covid-19 di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia.
Akibat melemahnya daya dukung dari industri jasa terhadap perekonomian masyarakat, menyebabkan daya beli masyarakat juga melemah yang mengakibatkan terjadinya efek domino terhadap industri-industri lainnya, seperti melemahnya usaha di bidang properti (salah satunya perumahan sederhana), yang menyebabkan banyaknya kontraktor menghentikan usahanya, yang mengakibatkan semakin bertambahnya karyawan yang kehilangan daya beli. Â Demikianlah seterusnya terhadap industri-industri lainnya, juga mengalami dampak ikutan akibat sektor industri jasa terkena hantaman di awal merebaknya pandemik.
Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya gangguan "cash flow". Â Cash flow ibarat alat pernafasan bagi perusahaan, dimana jika cash flow terganggu, maka terganggu jugalah kelangsungan hidup suatu perusahaan.
Gangguan terhadap cash flow dapat diakibatkan oleh beberapa hal, seperti umur piutang (account receivable) bertambah, sementara penjualan mengalami penurunan, padahal setiap bulan biaya tetap (fixed cost) tidak bisa ditunda, seperti gaji, listrik, sewa, maupun variable fixed cost seperti bunga kredit dan lain sebagainya.
Jika suatu perusahaan telah sampai pada fase dimana uang masuk (cash in flow) lebih kecil dibandingkan dengan uang keluar (cash out flow), maka tindakan logis yang harus dilakukan adalah mengurangi skala usaha, seperti mengurangi line produksi untuk pabrikan, menutup cabang untuk usaha perdagangan atau jasa. Â Akibatnya adalah adanya pengurangan jumlag karyawan, bisa dirumahkan sementara dengan pembayaran gaji tidak full atau PHK.
Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia mendorong banyak pihak untuk masing-masing membantu memberikan stimulus berdasarkan bidangnya masing-masing, seperti OJK dalam membuat kebijakan-kebijakan yang dapat membantu perbankan dalam menghadapi pemburukan kualitas asset yang dikelola (debitur-debitur yang mengalami pemburukan kolektibilitas). Â Berdasarkan POJK No. 11/POJK.03/2020 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang diperpanjang oleh OJK dengan POJK No. 48/POJK.03/2020 hingga 31 Maret 2022.
Secara garis besar, stimulus yang dilakukan oleh OJK adalah memberikan relaksasi kepada perbankan dalam hal pelaksanaan restrukturisasi terhadap debitur-debitur yang terkena dampak Covid-19. Â Dalam hal ini perbankan diberikan keleluasaan dalam menjalankan restrukturisasi sepanjang masih berada di dalam batas kooridor yang telah dilonggarkan oleh OJK.
Dengan relaksasi tersebut, maka untuk sementara waktu perbankan akan "aman" menjalankan bisnisnya, dan perusahaan-perusahaan yang terdampakpun akan lebih relaks dalam melakukan pembayaran cicilan kepada perbankan maupun kepada lembaga keuangan non bank lainnya.
Pertanyaannya adalah, setelah batas restrukturisasi telah habis, pada saat itu hampir seluruh perusahaan sudah mulai akan melakukan pembayaran cicilan. Â Masalahnya yaitu pada saat perusahaan telah mulai membayar cicilannya, pada saat itu kondisi perusahaan belum seperti ketika Covid-19 belum mewabah, dalam arti skala perusahaan nanti akan jauh lebih kecil dibandingkan skala perusahaan sebelum terjadinya gangguan cash flow.Â
Pada kondisi ini, terdapat potensi turbulence bagi dunia perbankan, karena masa grace period (periode tidak bayar cicilan pokok atau kalaupun cicilan pokok dibayar tapi jumlahnya kecil, dan suku bunga juga kemungkinan dibebankannya kecil). Â Hal ini akan memberikan pekerjaan rumah tambahan kepada dunia perbankan, bahwa setelah selesai masa relaksasi justru akan ada potensi NPL (non performing loan) mengalam peningkatan. Â Mengapa demikian ? Karena dunia usaha telah melakukan penyesuaian sendiri dalam hal skala usahanya, dimana hampir semua skala perusahaan umumnya mengecil, sementara jumlah utang yang dimiliki masih sama dengan jumlah utang pada awal diperoleh masih sesuai dengan skala usaha pada saat itu.
Tantangan berat tersebut kemungkinan besar baru akan dirasakan pada tahun 2022 atau 2023. Â Berbagai cara jalan keluar yang sudah mulai dapat dipikirkan dari sekarang untuk mengantisipasi tahun-tahun berikutnya setelah masa-masa relaksasi berakhir, seperti melakukan restruktursasi ulang secara B to B (bilateral) dengan sangat selektif terhadap perusahaan yang masih dikategorikan memiliki harapan dan kooperatif, menempuh langkah PKPU, atau mengajukan pailit.
Hal ini akan tergantung pada kesiapan infrastruktur perbankan maupun lembaga keungangan non-bank dalam mengadapinya kelak. Â --MIN--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H