Imigrasi merupakan isu global yang kerap menjadi bahan perdebatan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Sebagai salah satu negara tujuan utama para migran, AS menghadapi tantangan besar dalam mengelola perbatasan dan menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan nilai-nilai kebebasan dan inklusi.
Selama pemerintahan Donald Trump sebelumnya, isu ini menjadi sorotan dunia karena kebijakan-kebijakan kontroversial yang diambilnya, seperti deklarasi keadaan darurat nasional di perbatasan selatan, program "Tetap di Meksiko," larangan imigrasi berbasis agama, dan wacana penghapusan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran.
Pada awal pemerintahan keduanya di tahun 2025, Trump kembali menegaskan komitmennya terhadap kebijakan imigrasi yang ketat dengan menetapkan langkah-langkah baru untuk mempercepat deportasi imigran ilegal dan memperluas larangan masuk bagi warga negara tertentu.
Kebijakan ini memunculkan pertanyaan penting: apakah langkah-langkah tersebut benar-benar diperlukan untuk keamanan nasional, atau justru menciptakan diskriminasi yang merugikan?
Latar Belakang
Donald Trump mulai menjabat sebagai Presiden AS pada 2017 dengan agenda politik yang berfokus pada penguatan keamanan nasional, salah satunya melalui kebijakan imigrasi yang tegas. Trump berargumen bahwa imigrasi ilegal membebani sistem ekonomi dan berpotensi menjadi ancaman keamanan.
Dengan dukungan kuat dari kelompok konservatif, ia menerapkan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk membatasi aliran migran ke AS, terutama melalui perbatasan selatan yang berbatasan dengan Meksiko.
Namun demikian, langkah-langkah tersebut menuai kritik tajam karena dianggap melanggar hak asasi manusia, menciptakan diskriminasi, dan bertentangan dengan nilai-nilai fundamental Konstitusi AS.
Kebijakan "Tetap di Meksiko"
Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah program "Remain in Mexico" atau "Tetap di Meksiko." Kebijakan ini mengharuskan para pencari suaka menunggu proses hukum di Meksiko alih-alih di AS.
Pemerintah Trump mengklaim bahwa langkah ini bertujuan untuk mengurangi beban pengadilan imigrasi dan mengendalikan arus migrasi. Namun, kebijakan ini mendapat kritik keras dari berbagai organisasi hak asasi manusia.
Para pencari suaka yang dipaksa menunggu di Meksiko sering kali hidup dalam kondisi yang tidak layak, menghadapi risiko kekerasan, eksploitasi, dan minimnya akses terhadap kebutuhan dasar.
Langkah ini dinilai melanggar prinsip-prinsip perlindungan pengungsi internasional yang menuntut negara untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang mencari suaka.
Larangan Imigrasi Berbasis Agama
Kebijakan larangan imigrasi terhadap beberapa negara mayoritas Muslim, yang sering disebut "Muslim Ban," menjadi salah satu langkah paling kontroversial dalam pemerintahan Trump.Â
Larangan ini, yang awalnya mencakup tujuh negara mayoritas Muslim, dianggap sebagai bentuk Islamofobia dan diskriminasi terhadap komunitas Muslim di seluruh dunia.
Kritik datang dari berbagai pihak, termasuk organisasi hak asasi manusia, pemimpin agama, dan negara-negara lain. Mereka menilai kebijakan ini bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan beragama yang dijunjung tinggi oleh AS.
Selain itu, kebijakan ini memicu protes di dalam dan luar negeri serta menimbulkan dampak langsung bagi banyak keluarga yang terpisah karena larangan tersebut.
Penghapusan Kewarganegaraan Berdasarkan Kelahiran
Rencana Trump untuk mengakhiri birthright citizenship atau kewarganegaraan berdasarkan kelahiran menambah kontroversi. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan sistem oleh imigran illegal.
Akan tetapi, banyak pihak yang berpendapat bahwa langkah ini melanggar Amandemen Keempat Belas Konstitusi AS. Amandemen ini secara eksplisit menjamin kewarganegaraan kepada semua individu yang lahir di wilayah AS.
Jika diterapkan, kebijakan ini dapat menciptakan jutaan individu tanpa kewarganegaraan, meningkatkan ketidaksetaraan sosial, dan memperburuk polarisasi masyarakat. Langkah ini juga memicu perdebatan hukum yang kompleks tentang batasan kekuasaan eksekutif dalam mengubah prinsip konstitusional yang sudah mapan.
Dampak Sosial dan Hukum
Kebijakan-kebijakan imigrasi Trump tidak hanya berdampak pada individu yang terdampak langsung, tetapi juga memperburuk ketegangan sosial di AS. Banyak komunitas imigran merasa terdiskriminasi dan teralienasi oleh retorika dan tindakan pemerintah.
Di sisi lain, pendukung kebijakan ini berargumen bahwa langkah tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional.
Secara hukum, banyak kebijakan ini menghadapi tantangan di pengadilan. Beberapa kebijakan, seperti "Muslim Ban," mengalami revisi setelah mendapat penolakan dari berbagai pengadilan federal. Hal ini menunjukkan adanya batasan hukum yang kuat terhadap tindakan eksekutif yang dianggap melanggar prinsip-prinsip dasar negara.
Penutup
Debat mengenai kebijakan imigrasi Trump mengungkapkan kompleksitas dalam mengelola isu imigrasi di era modern. Di satu sisi, negara memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi perbatasannya. Namun, langkah-langkah tersebut harus dijalankan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan.
Sebagai negara yang dikenal sebagai tanah harapan, Amerika Serikat perlu menyeimbangkan kebutuhan keamanan dengan komitmennya terhadap inklusi dan kebebasan. Kebijakan yang diskriminatif tidak hanya merusak citra negara di mata dunia, tetapi juga berpotensi memperburuk ketegangan internal.
Kebijakan imigrasi harus dirancang dengan pendekatan yang lebih manusiawi, adil, dan berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, AS dapat tetap menjadi contoh bagi dunia dalam menangani isu global yang kompleks ini.
Pertanyaannya, apakah masa depan akan menghadirkan kebijakan yang lebih inklusif, ataukah ketegangan ini akan terus berlanjut?
Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat bergantung pada arah politik dan kebijakan yang diambil oleh para pemimpin berikutnya.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI