Pada tahun 2024, pertumbuhan kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mencatat angka terendah dalam satu dekade, yaitu hanya 3,37% YoY. Hal ini terjadi meskipun Bank Indonesia (BI) terus melanjutkan kebijakan pelonggaran moneter melalui pemangkasan suku bunga acuan hingga 5,75% pada September 2024.
Penurunan ini memunculkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan sektor UMKM sebagai salah satu pilar utama perekonomian Indonesia.
Beberapa faktor yang berkontribusi pada penurunan ini meliputi:
- Risiko Kredit yang Tinggi: Bank lebih selektif menyalurkan kredit ke UMKM, khususnya usaha mikro, untuk meminimalkan potensi risiko gagal bayar.
- Penurunan Daya Beli Masyarakat:Â Konsumsi rumah tangga melemah, terutama pada segmen menengah ke bawah.
- Berakhirnya Kebijakan Restrukturisasi Kredit:Â Dukungan selama pandemi COVID-19 telah dihentikan, sehingga mengurangi fleksibilitas UMKM dalam mengelola kredit.
- Suku Bunga Tinggi:Â Meski suku bunga acuan turun, bunga kredit UMKM tetap tinggi, sekitar 10,79% pada akhir 2024, yang mengurangi minat pelaku usaha untuk meminjam.
Dampak Kebijakan BI terhadap Pertumbuhan Kredit
BI berharap bahwa penurunan suku bunga acuan akan diikuti oleh penurunan bunga kredit perbankan. Namun, dampak kebijakan ini tidak langsung terasa pada pertumbuhan kredit UMKM.
Hal ini menunjukkan bahwa selain bunga, ada faktor lain seperti daya beli dan risiko sektor yang memengaruhi permintaan kredit.
Oleh karena itu, Perbankan menjadi lebih berhati-hati menyalurkan kredit ke sektor mikro yang dianggap lebih rentan. Strategi ini dilakukan untuk menjaga kualitas aset dan mengurangi potensi Non-Performing Loan (NPL), yang saat ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas perbankan.
Proyeksi Ekonomi dan Kredit UMKM di 2025
BI memproyeksikan pertumbuhan kredit di 2025 akan mencapai 9,9% hingga 13%. Namun, target ini dianggap konservatif dibandingkan dengan ekspektasi sebelumnya. Bank yang memiliki portofolio kredit besar pada sektor UMKM, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), menghadapi tantangan signifikan untuk mempertahankan kinerja positif.
Beberapa ancaman yang memengaruhi sektor UMKM adalah dampak El Nino terhadap produksi pertanian, kenaikan biaya produksi, dan penurunan daya beli masyarakat. Faktor ini tidak hanya memperlambat permintaan kredit tetapi juga meningkatkan risiko gagal bayar pada sektor mikro dan kecil.
Dampak pada Kinerja BRI
Sebagai bank terbesar dengan fokus pada UMKM, BRI menghadapi risiko yang besar akibat perlambatan pertumbuhan kredit UMKM.
Meski demikian, BRI terus menjaga profitabilitas dengan mengoptimalkan kredit pada sektor korporasi dan memperbaiki kualitas kredit bermasalah. Namun, strategi ini membutuhkan waktu dan koordinasi yang matang agar tidak mengabaikan segmen UMKM.
Insentif Pajak untuk UMKM
Pemerintah mempertimbangkan untuk mengurangi insentif pajak final UMKM dari Rp4,8 triliun menjadi Rp3,6 triliun. Kebijakan ini dikhawatirkan akan menambah beban sektor UMKM, yang saat ini sudah menghadapi tantangan besar akibat ketidakpastian ekonomi.
Penurunan ini dapat berdampak signifikan pada pelaku usaha mikro dan kecil, yang sering kali bergantung pada kebijakan fiskal seperti ini untuk menjaga kelangsungan usahanya.
Dengan insentif pajak yang berkurang, pelaku UMKM mungkin akan menghadapi tekanan lebih besar dalam menjaga margin keuntungan, terutama di tengah kenaikan biaya produksi dan penurunan daya beli masyarakat.
Sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, yang menyumbang lebih dari 60% PDB dan menyerap lebih dari 90% tenaga kerja nasional, sektor UMKM yang melemah dapat memengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Insentif pajak selama ini menjadi salah satu kebijakan penting dalam mendorong pertumbuhan UMKM. Potongan pajak memungkinkan pelaku usaha untuk mengalokasikan lebih banyak dana ke investasi produktif, seperti peningkatan kapasitas produksi, pelatihan tenaga kerja, atau adopsi teknologi baru.
Oleh karena itu, pengurangan insentif ini tidak hanya memengaruhi daya saing UMKM di pasar lokal tetapi juga menghambat peluang ekspansi ke pasar global.
Alternatif Kebijakan yang Bisa Diterapkan
- Pemberian Insentif Berdasarkan Sektor Prioritas:Â Pemerintah dapat mempertahankan atau bahkan meningkatkan insentif untuk sektor UMKM yang memiliki potensi besar, seperti agribisnis, manufaktur skala kecil, dan teknologi berbasis digital.
- Program Pendukung Lain:Â Selain insentif pajak, subsidi bunga pinjaman atau dukungan dana untuk pelatihan dan sertifikasi dapat menjadi cara untuk mengurangi beban operasional UMKM.
- Digitalisasi Sistem Pajak: Digitalisasi pelaporan dan pembayaran pajak untuk UMKM dapat membantu meningkatkan kepatuhan pajak tanpa harus membebani pelaku usaha dengan biaya tambahan.
Penurunan insentif pajak bisa menciptakan efek domino, di mana pelemahan UMKM berdampak pada penurunan konsumsi domestik, lapangan kerja, dan kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak negara.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan terintegrasi yang tidak hanya mendorong UMKM tetap produktif tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Kesimpulan
Penurunan pertumbuhan kredit UMKM mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh sektor ini dan perbankan secara keseluruhan. Kebijakan pelonggaran moneter BI belum cukup untuk mendorong pertumbuhan kredit, sementara risiko kredit, penurunan daya beli, dan faktor eksternal terus membayangi.
Bank-bank seperti BRI harus mampu menyeimbangkan strategi antara menjaga profitabilitas dan mendukung sektor UMKM. Di sisi lain, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan insentif pajak dan merumuskan langkah proaktif untuk mendorong pertumbuhan UMKM.
Dengan sinergi yang baik antara regulator, perbankan, dan pelaku UMKM, tantangan ini dapat diubah menjadi peluang untuk memperkuat sektor ekonomi Indonesia.
Penulis:Â Merza Gamal (Mantan Bankir & Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H