Indonesia sering dipuji sebagai negeri "gemah ripah loh jinawi," tempat segalanya melimpah ruah. Namun, di balik keindahan frasa itu, ada ironi yang menggelitik nurani.
Global Hunger Index (GHI) 2023 menempatkan Indonesia dengan skor 17,6, menunjukkan tingginya tingkat kelaparan di Asia Tenggara, hanya sedikit lebih baik dibanding Timor Leste. Sementara itu, World Giving Index (WGI) kembali menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia selama 7 kali berturut-turut.
Hampir semua orang Indonesia pernah menyumbang, baik berupa uang, tenaga, maupun waktu. Ironi ini memunculkan pertanyaan: bagaimana mungkin negeri dengan masyarakat yang begitu dermawan masih menghadapi persoalan kelaparan?
Pertanyaan itu semakin tajam ketika, menjelang akhir 2024 sebagai hadiah pahit menyambut malam tahun baru 2025, nama Presiden Joko Widodo muncul dalam daftar finalis "Person of the Year 2024" untuk kategori "Kejahatan Organisasi dan Korupsi" oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). (Baca kembali di Kompasiana)
Masalah korupsi dan kelaparan seperti dua sisi mata uang yang saling mengunci dan sulit terpisahkan.
Kelaparan di Indonesia adalah paradoks yang menyakitkan. Dengan tanah yang subur dan sumber daya alam yang melimpah, seharusnya tidak ada yang kekurangan pangan.
Namun kenyataan berbicara lain. Anak-anak tumbuh dengan stunting, keluarga hidup tanpa kepastian makanan, dan banyak daerah terpencil yang jauh dari jangkauan distribusi pangan. Masalah ini tidak hanya soal kekurangan makanan, tetapi juga ketimpangan ekonomi dan infrastruktur.
Di desa-desa, petani kerap mengeluh soal rendahnya harga hasil panen mereka. Sebaliknya, di kota-kota besar, harga pangan melambung tinggi karena biaya logistik yang mahal. Perubahan iklim juga memperburuk keadaan, membuat musim panen menjadi tidak menentu dan produktivitas menurun.
Solusi untuk masalah ini memerlukan perhatian serius, seperti pembangunan infrastruktur, subsidi untuk petani, dan kebijakan yang mendukung ketahanan pangan nasional.
Kedermawanan yang Belum Tersalurkan Optimal
Indonesia adalah bangsa yang murah hati. Budaya gotong royong dan solidaritas sudah mendarah daging. Kita sering melihat gerakan penggalangan dana untuk membantu korban bencana alam atau mendukung keluarga yang membutuhkan.
Namun, kedermawanan ini sering kali bersifat reaktif. Ketika bencana berlalu, solidaritas itu perlahan pudar. Di sisi lain, masalah seperti kelaparan, yang membutuhkan perhatian jangka panjang, tetap tak terselesaikan.
Bayangkan jika energi kedermawanan ini diarahkan untuk mendukung program-program berkelanjutan seperti pendidikan gizi, pelatihan petani, atau pembangunan fasilitas distribusi pangan. Dengan pendekatan yang lebih sistematis, bantuan yang diberikan bisa lebih tepat sasaran dan memberikan dampak jangka panjang.
Korupsi yang Menggerogoti Harapan
Korupsi di Indonesia adalah luka yang belum sembuh. Masuknya nama Presiden Joko Widodo dalam daftar OCCRP mencerminkan betapa korupsi telah menjadi masalah yang begitu mengakar.
Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas publik atau membantu masyarakat miskin malah lenyap ke kantong pribadi. Korupsi bukan hanya soal angka dalam laporan, tetapi juga soal hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Ketika uang rakyat disalahgunakan, dampaknya sangat nyata: sekolah-sekolah tetap reyot, jalanan tetap berlubang, dan masyarakat tetap kelaparan. Padahal, dengan manajemen yang lebih transparan dan akuntabel, dana tersebut bisa mengubah hidup jutaan orang.
Menghubungkan Semua Titik
Mengapa kedermawanan masyarakat tidak mampu menutupi kebocoran yang diakibatkan oleh korupsi? Jawabannya terletak pada sistem. Solidaritas masyarakat Indonesia adalah kekuatan besar, tetapi tanpa sistem yang mendukung, kedermawanan itu hanya menjadi solusi sementara.
Sementara itu, korupsi terus menggerogoti fondasi negara, membuat program-program sosial yang seharusnya membantu masyarakat miskin menjadi tidak efektif.
Indonesia masih punya peluang besar untuk memperbaiki keadaan. Pemerintah harus berkomitmen pada reformasi tata kelola pangan dan pemberantasan korupsi. Masyarakat juga harus lebih kritis dalam memilih pemimpin dan aktif menuntut akuntabilitas.
Di sisi lain, kedermawanan yang sudah menjadi budaya bangsa perlu diarahkan ke program-program yang berkelanjutan.
Kelaparan dan korupsi adalah dua tantangan besar yang harus dihadapi bersama. Dengan solidaritas yang terorganisasi dan komitmen untuk perubahan, Indonesia bisa benar-benar menjadi negeri yang sesuai dengan semboyannya: "gemah ripah loh jinawi."
Mengubah Ironi Menjadi Energi Perubahan
Ironi antara kedermawanan masyarakat dan maraknya korupsi bukanlah akhir dari cerita, melainkan panggilan untuk bertindak. Setiap rupiah yang disumbangkan, setiap waktu yang diluangkan untuk membantu sesama, adalah bukti bahwa bangsa ini memiliki modal sosial yang kuat.
Kini, tantangannya adalah bagaimana modal itu diterjemahkan ke dalam sistem yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan. Ketika masyarakat dan pemerintah mampu bersinergi untuk membasmi korupsi dan memperkuat ketahanan pangan, mimpi akan Indonesia yang benar-benar "gemah ripah loh jinawi" bukanlah sekadar utopia.
Masa depan negeri ini ada di tangan kita semua---mari berani mengambil langkah perubahan!
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H