Aksi mogok kerja barista Starbucks di Amerika Serikat, yang bertepatan dengan musim liburan akhir tahun, menjadi perhatian publik.
Para pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja Workers United menuntut peningkatan upah, kepegawaian yang lebih memadai, dan jadwal kerja yang lebih manusiawi. (Sumber: Reuters, 22 Desember 2024)Â
Namun, di sisi lain, perusahaan raksasa ini menghadapi tekanan besar untuk menjaga operasional tetap berjalan di tengah lonjakan permintaan pelanggan yang ingin menikmati kopi di suasana liburan.
Strategi Mogok di Musim Liburan
Memilih waktu mogok kerja masal di akhir tahun bukanlah kebetulan. Periode ini adalah masa tersibuk bagi Starbucks, di mana pelanggan memanfaatkan momen liburan untuk bersantai, berbincang, atau mengerjakan pekerjaan sambil menikmati minuman favorit mereka.
Mogok kerja lima hari ini telah meluas ke sepuluh kota besar, termasuk New York, Philadelphia, dan Los Angeles, serta diperkirakan dapat berdampak pada ratusan toko lain menjelang Malam Natal.
Bagi serikat pekerja, ini adalah momen strategis untuk menekan perusahaan, karena potensi kehilangan pendapatan selama periode ini sangat besar. Di sisi lain, Starbucks menyatakan bahwa dampaknya masih terbatas, dengan hanya segelintir toko yang terkena imbas langsung dari aksi ini.
Tuntutan Pekerja: Suara untuk Keadilan
Workers United menyerukan peningkatan upah minimum sebesar 64% secara langsung, dan hingga 77% selama masa kontrak tiga tahun. Selain itu, mereka juga meminta jadwal kerja yang lebih fleksibel dan penambahan staf untuk mengurangi beban kerja.
Serikat pekerja menilai bahwa tuntutan ini adalah langkah penting untuk meningkatkan kesejahteraan para barista yang menjadi tulang punggung operasional perusahaan.
Namun, bagi Starbucks, angka kenaikan yang diminta dianggap tidak berkelanjutan. Perusahaan menyatakan bahwa sejak memulai perundingan pada April lalu, mereka telah mengadakan lebih dari delapan sesi negosiasi dan mencapai 30 kesepakatan. Meski begitu, isu fundamental seperti upah dan jadwal kerja tetap belum menemukan titik temu.
Perspektif Perusahaan: Menjaga Operasional Tetap Berjalan
Sebagai salah satu jaringan kopi terbesar di dunia, Starbucks mengoperasikan lebih dari 11.000 toko di Amerika Serikat dengan sekitar 200.000 pekerja. Aksi mogok ini memang mengganggu, namun perusahaan mengklaim mampu menjaga operasional tetap berjalan dengan memobilisasi sumber daya lainnya. Namun bagi pencinta kopi, hidangan kopi yang tidak diolah oleh barista tentu akan berbeda rasanya.
Meski begitu, dampak jangka panjang dari aksi ini tidak boleh diabaikan. Pelanggan yang kecewa karena layanan terganggu dapat mencari alternatif, yang berisiko pada penurunan loyalitas merek.
Selain itu, aksi mogok yang meluas dapat memengaruhi citra Starbucks sebagai perusahaan yang dikenal inklusif dan peduli terhadap kesejahteraan pekerjanya.
Dampak Lain: Boikot karena Isu Geopolitik
Permasalahan yang dihadapi Starbucks tidak berhenti pada aksi mogok ini. Perusahaan juga tengah menghadapi boikot di beberapa pasar akibat keberpihakan geopolitik yang kontroversial.
Beberapa pihak menilai langkah-langkah politik perusahaan tidak sejalan dengan nilai-nilai tertentu, sehingga memicu reaksi keras dari pelanggan di berbagai wilayah. Tekanan ini semakin memperumit upaya Starbucks untuk menjaga stabilitas bisnisnya di tengah musim liburan yang padat.
Dampak pada Reputasi dan Hubungan Jangka Panjang
Mogok kerja ini mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam hubungan antara pekerja dan perusahaan. Jika tuntutan pekerja tidak segera ditanggapi, ketegangan ini dapat menciptakan preseden buruk untuk hubungan di masa mendatang.
Lebih dari itu, merek yang selama ini dibangun dengan citra progresif bisa tergerus jika pelanggan melihat perusahaan tidak responsif terhadap kebutuhan pekerja.
Kesimpulan: Mencari Titik Temu
Aksi mogok barista Starbucks adalah pengingat penting bahwa keseimbangan antara profitabilitas dan kesejahteraan pekerja harus menjadi prioritas.
Perusahaan perlu menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan perundingan secara adil dan transparan, sementara serikat pekerja harus mempertimbangkan tuntutan yang realistis agar solusi dapat tercapai.
Di tengah suasana liburan yang identik dengan kehangatan dan kebersamaan, konflik seperti ini semestinya menjadi pelajaran bagi semua pihak. Ketika pekerja merasa dihargai dan pelanggan puas dengan layanan, semua pihak akan menikmati manfaatnya.
Kini, bola ada di tangan Starbucks dan serikat pekerja untuk menemukan jalan keluar terbaik yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh ekosistem bisnis mereka.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H