Industri ritel di Indonesia terus mengalami transformasi besar-besaran, mencerminkan tantangan dan peluang baru yang muncul seiring dengan perkembangan zaman.
Tahun 2024 menjadi salah satu momen penting bagi sektor ini, dengan berbagai dinamika yang mencuri perhatian, seperti penutupan ratusan gerai minimarket hingga munculnya fenomena quick commerce (q-commerce).
Penutupan Gerai Alfamart: Realitas di Balik Laba Besar
PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, pengelola jaringan minimarket Alfamart, mencatatkan kinerja keuangan yang cemerlang pada kuartal III 2024. Emiten berkode saham AMRT ini berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp2,39 triliun, meningkat 9,52% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Laba yang diperoleh AMRT bahkan lebih tinggi dibandingkan laba bersih Indomaret yang tercatat sebesar Rp1,85 triliun pada periode yang sama.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, Alfamart menghadapi kenyataan berat dengan menutup 300 hingga 400 gerai sepanjang tahun 2024. Menurut Corporate Affairs Director AMRT, Solihin, keputusan ini terpaksa diambil akibat tingginya biaya operasional, terutama biaya sewa, yang tidak sebanding dengan pendapatan.
Dalam beberapa kasus, harga sewa naik hingga 1.000% dalam lima tahun terakhir, dari Rp20 juta menjadi Rp200 juta. Selain itu, perubahan arah bisnis oleh pemegang waralaba turut berkontribusi pada penutupan sejumlah gerai.
"Sebanyak 300-400 gerai kami tutup tahun ini karena tidak memberikan keuntungan yang diharapkan. Kalau untung, tentu saja kami akan terus mempertahankannya," ujar Solihin dalam sebuah acara di Tangerang. Dari total gerai yang ditutup, sekitar 10% merupakan toko franchise.
Optimisme dengan Pembukaan Gerai Baru
Meski menghadapi tantangan besar, Alfamart tetap menunjukkan optimisme. Solihin menjelaskan bahwa penutupan gerai di lokasi tertentu diimbangi dengan pembukaan gerai baru di lokasi strategis lainnya.
Hingga akhir tahun, Alfamart berhasil melampaui target pembukaan 800 gerai baru. Langkah ini mencerminkan strategi substitusi untuk memastikan jaringan ritel tetap kuat dan relevan di tengah perubahan pasar.
"Ada yang tutup dan ada yang buka, jadi saling menopang. Kami terus mencari lokasi baru dengan potensi pasar lebih besar," tambah Solihin.
Fenomena Quick Commerce: Tantangan Baru untuk Minimarket
Di sisi lain, quick commerce (q-commerce) muncul sebagai tren baru yang mengubah pola belanja konsumen urban. Salah satu pemain utama dalam sektor ini adalah Astro, yang menawarkan layanan belanja daring dengan pengiriman dalam waktu 15 menit, beroperasi 24 jam setiap hari. Konsep ini berbeda dari ritel tradisional seperti Alfamart dan Indomaret yang lebih mengandalkan gerai fisik.
Q-commerce memiliki beberapa keunggulan utama: kecepatan pengiriman, kemudahan akses melalui aplikasi, dan kemampuan beroperasi tanpa batas waktu. Hal ini membuatnya sangat menarik bagi konsumen perkotaan yang sibuk dan mengutamakan kenyamanan.
Namun demikian, model bisnis ini juga menghadapi tantangan besar, seperti biaya operasional tinggi untuk mendukung infrastruktur logistik dan gudang mikro (dark stores), serta keterbatasan jangkauan di luar kota besar.
Minimarket Vs Q-Commerce: Peluang atau Ancaman?
Meski q-commerce seperti Astro menunjukkan potensi besar, menggantikan dominasi pemain tradisional seperti Alfamart dan Indomaret masih menjadi tantangan.
Minimarket memiliki jaringan yang matang dengan ribuan gerai yang tersebar hingga pelosok Indonesia, menawarkan harga kompetitif, dan diversifikasi layanan seperti pembayaran tagihan dan pengiriman uang.
Di sisi lain, q-commerce justru dapat menjadi pelengkap ekosistem ritel modern. Beberapa pemain ritel tradisional mulai mengintegrasikan elemen q-commerce ke dalam model bisnis mereka untuk tetap relevan.
Kolaborasi antara kedua model ini mungkin menjadi solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin beragam.
Kesimpulan: Transformasi yang Berkelanjutan
Industri ritel Indonesia berada di persimpangan penting, dengan berbagai dinamika yang menguji fleksibilitas dan inovasi para pelakunya.
Penutupan ratusan gerai oleh Alfamart mencerminkan perlunya efisiensi operasional, sementara ekspansi agresif menunjukkan komitmen terhadap pertumbuhan berkelanjutan. Di sisi lain, kehadiran q-commerce menandai perubahan pola belanja konsumen yang harus diakomodasi.
Bagi pelaku industri, tantangan ini adalah kesempatan untuk beradaptasi, berinovasi, dan menciptakan nilai lebih bagi konsumen. Sementara itu, bagi konsumen, transformasi ini menawarkan lebih banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan strategi yang tepat, baik ritel tradisional maupun q-commerce memiliki ruang untuk tumbuh bersama, menciptakan lanskap ritel yang lebih dinamis dan inklusif.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H