Pada suatu masa, Matahari Department Store adalah ritel yang gemilang, membawa nama besar di berbagai pusat perbelanjaan Indonesia. Namun, layaknya mentari yang kadang tertutup awan, Matahari menghadapi tantangan besar di tahun 2024.
Dengan ekonomi yang melemah dan perubahan perilaku belanja konsumen, perjalanan perusahaan ini berubah menjadi kisah penuh liku. Mari kita susuri perjalanan Matahari, dari masa kelam menuju harapan.
Awan Gelap di Tahun 2024
Bayangkan sebuah pusat perbelanjaan, di mana lampu-lampu toko perlahan meredup. Di situlah Matahari berada sekarang. Tujuh gerai telah tutup hingga September, dan masih ada enam gerai lagi yang dijadwalkan menyusul sebelum tahun ini berakhir. Tak hanya itu, manajemen bahkan mengawasi 20 gerai lain yang kinerjanya belum memuaskan.
Angka-angka pun berbicara. Hingga kuartal III-2024, penjualan Matahari turun 1,4% menjadi Rp9,48 triliun. Pendapatan bersih ikut tergelincir 1,3% menjadi Rp4,91 triliun. Meski margin kotor stabil, laba operasional mereka terpukul. Bayangkan tekanan bagi manajemen---seperti mendayung di arus deras, mencoba bertahan tanpa tenggelam.
Menyalakan Cahaya di Tengah Gelap
Namun, cerita ini bukan hanya tentang kesulitan. Di tengah badai, Matahari mencoba menyalakan lilin. Mereka mengadopsi strategi omni-channel (integrasi saluran belanja fisik dan online), merangkul dunia digital untuk melengkapi kehadiran fisik mereka.
Tiga perempat vendor kini telah terintegrasi dalam portal digital Matahari, memudahkan akses produk bagi pelanggan online.
Mereka juga membuka official store di berbagai e-commerce besar, sambil memperbarui platform Shop & Talk untuk menghadirkan pengalaman belanja yang lebih segar. Tidak hanya itu, merek eksklusif seperti SUKO menjadi simbol harapan baru, menyasar generasi muda dengan desain modern dan harga terjangkau.
Hembusan Angin dari Tantangan Ekonomi
Tetapi, perjalanan ini tidak mudah. CEO Matahari, Monish Mansukhani, menggambarkan situasi ini sebagai salah satu yang paling menantang. Pelemahan daya beli masyarakat akibat deflasi dan kontraksi ekonomi menjadi hambatan besar.
Bahkan, proyeksi EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) akhir tahun hanya Rp1,2 triliun, turun dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, Monish percaya bahwa badai ini akan berlalu. Renovasi gerai strategis dan inovasi merek mereka menjadi fondasi untuk menatap masa depan dengan optimisme.