Dunia tengah menyaksikan momen penting dalam sejarah upaya global melawan krisis iklim. Konferensi Perubahan Iklim PBB/UN Climate Change Conference (COP29), yang berlangsung sejak 11 November 2024 di Baku, Azerbaijan, kini memasuki tahap akhir.
Dengan hanya satu hari tersisa sebelum berakhir pada 22 November 2024, ketegangan memuncak di ruang negosiasi. Para pemimpin dunia berlomba dengan waktu untuk mencapai kesepakatan terkait isu-isu krusial, terutama pendanaan iklim bagi negara-negara berkembang.
Selama hampir dua minggu terakhir, diskusi di COP29 difokuskan pada tantangan besar untuk menggantikan target pendanaan $100 miliar per tahun yang akan berakhir pada 2025. Kini, desakan muncul agar dunia menetapkan target baru sebesar $1 triliun per tahun hingga 2030.
Angka ini mencerminkan urgensi yang semakin meningkat untuk membantu negara-negara rentan menghadapi dampak perubahan iklim, seperti bencana cuaca ekstrem, sekaligus mendorong transisi ke sistem energi yang lebih bersih.
Namun, negosiasi yang berlangsung tidak sederhana. Sejumlah isu masih menjadi perdebatan, termasuk siapa yang harus menjadi penyumbang utama. Haruskah negara-negara seperti Tiongkok dan India, yang kini menjadi kekuatan ekonomi besar, juga dimasukkan sebagai donor?
Bagaimana mekanisme pendanaan ini akan diimplementasikan---apakah melalui hibah, pinjaman, atau bahkan pajak internasional seperti pajak karbon atau pajak perjalanan udara global?
Pendanaan menjadi fokus utama di COP29. Hibah, pinjaman, bahkan pajak baru sedang dibahas untuk memenuhi kebutuhan dana yang besar. Salah satu ide menarik adalah pengenaan pajak karbon internasional atau pajak perjalanan udara global.
Satuan Tugas Pemungutan Dana Solidaritas Global (GSLT) yang dipimpin Prancis, Barbados, dan Kenya tengah mengeksplorasi kemungkinan ini. Meski inovatif, ide-ide ini juga menghadapi skeptisisme, terutama terkait implementasi dan dampaknya terhadap masyarakat umum.
Dalam konteks ini, Indonesia memainkan peran yang tidak kalah penting. Sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kenaikan permukaan laut, bencana banjir, dan kebakaran hutan, Indonesia hadir di COP29 dengan suara yang lantang.
Komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060 menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim. Program-program seperti restorasi mangrove, rehabilitasi lahan gambut, dan pengembangan energi terbarukan menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya meminta dukungan, tetapi juga menawarkan solusi.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai net zero emission pada 2060, sementara masyarakat semakin aktif dalam gerakan pelestarian lingkungan, mulai dari pengelolaan sampah hingga inisiatif komunitas dalam mitigasi perubahan iklim.