Industri penerbangan Asia, yang sempat terpuruk akibat pandemi COVID-19, kini kembali menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Permintaan perjalanan di kawasan Asia-Pasifik, yang mencakup sekitar 32% dari lalu lintas penumpang global, mulai pulih bahkan melampaui tingkat pra-pandemi.
Setelah pandemi, perjalanan udara di Asia-Pasifik mengalami lonjakan permintaan yang pesat, mencapai sekitar 97,5% dari volume pra-pandemi pada September 2024, menurut data Asosiasi Maskapai Penerbangan Asia Pasifik (AAPA).
Namun, meskipun permintaan telah pulih, maskapai penerbangan di Asia menghadapi kendala besar dalam mengoptimalkan layanan mereka. Gangguan rantai pasokan global---mulai dari kekurangan suku cadang, tenaga kerja, hingga waktu perbaikan yang lebih lama pada mesin generasi terbaru---menambah beban maskapai untuk memastikan operasional berjalan lancar.
Gangguan Rantai Pasokan: Dampaknya pada Maskapai di Asia
Beberapa maskapai besar di Asia, seperti Thai Airways, Singapore Airlines, Malaysia Airlines, dan Air Astana, merasa frustrasi dengan lamanya proses perawatan mesin yang membuat mereka sulit menjaga jadwal penerbangan tetap konsisten.
Misalnya, Thai Airways menyebut bahwa perawatan mesin Rolls-Royce pada Boeing 787 kini membutuhkan waktu hingga enam bulan, dari biasanya hanya tiga bulan. Malaysia Airlines juga menghadapi gangguan operasional, memaksa maskapai tersebut untuk memangkas kapasitas jaringan hingga 20%.
CEO Air Astana, Peter Foster, menyoroti pentingnya peran produsen pesawat dalam menangani masalah ini, dengan menegaskan bahwa produsen perlu bertindak lebih tegas dalam menangani gangguan rantai pasokan.
Sementara itu, Airbus dan Rolls-Royce, sebagai produsen utama, berupaya mengatasi kendala ini dengan membuka akses pembiayaan bagi pemasok untuk mempercepat pasokan suku cadang.
Kondisi Maskapai Indonesia dalam Menghadapi Gangguan Rantai Pasokan
Kondisi serupa juga mempengaruhi maskapai di Indonesia, termasuk Garuda Indonesia dan Lion Air beserta anak perusahaannya. Tantangan seperti kekurangan suku cadang, waktu perbaikan yang lebih lama, dan keterbatasan tenaga kerja turut berdampak pada operasional maskapai dalam negeri.
Garuda Indonesia, yang masih dalam tahap pemulihan finansial, telah menghadapi kendala dalam pemeliharaan pesawat dan pembatasan armada. Situasi ini menyebabkan Garuda harus selektif dalam mengatur rute dan frekuensi penerbangan untuk menjaga efisiensi.
Sementara itu, Lion Air Group, yang mengoperasikan berbagai maskapai domestik, juga mengalami tantangan serupa terutama terkait pasokan suku cadang dan kapasitas perawatan pesawat. Ini mengakibatkan penyesuaian jadwal penerbangan serta waktu perawatan yang lebih lama.