Selama beberapa dekade, Amerika Serikat (AS) telah mengampanyekan nilai-nilai demokrasi, kesetaraan gender, dan emansipasi perempuan, terutama di panggung dunia.
Sebagai negara yang kerap mendengungkan hak-hak perempuan, AS dianggap sebagai panutan dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Namun, realitas pemilu di negara ini justru menunjukkan kontradiksi yang menarik.
Dalam dua kali pemilihan presiden, Donald Trump---figur yang kontroversial dan sering kali dianggap konservatif---berhasil mengalahkan dua kandidat perempuan dari Partai Demokrat: Hillary Clinton pada 2016 dan Kamala Harris pada 2024.
Fenomena ini seolah menunjukkan bahwa, meskipun emansipasi perempuan menjadi prinsip yang diagungkan, pencapaian kesetaraan di kursi kepresidenan masih merupakan tantangan yang sulit terwujud di AS.
Representasi Perempuan dalam Kepemimpinan AS: Perkembangan dan Batasan
Sebenarnya, Amerika Serikat bukan tanpa kemajuan dalam hal representasi perempuan di pemerintahan. Selama beberapa dekade terakhir, semakin banyak perempuan yang menduduki posisi tinggi di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kamala Harris bahkan menjadi wakil presiden perempuan pertama, memberikan harapan baru bagi perempuan Amerika. Namun, fakta bahwa perempuan belum mampu memenangkan pemilihan presiden mengundang pertanyaan besar. Mengapa negara yang mempromosikan kesetaraan gender masih sulit memilih presiden perempuan?
Di berbagai negara lain, fenomena ini tidak lagi menjadi isu besar. Beberapa negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, Pakistan, India, dan Bangladesh telah berhasil menempatkan perempuan di puncak kekuasaan sejak dekade yang lalu.
Di Eropa, bahkan negara-negara seperti Jerman dan Inggris telah memiliki pemimpin perempuan yang sukses memimpin dalam skala nasional dan global. Kontras ini seolah membuktikan bahwa AS masih menghadapi hambatan besar dalam merangkul kepemimpinan perempuan di tingkat tertinggi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Presiden Perempuan di AS
- Bias Gender yang Tersirat:Â Penelitian menunjukkan bahwa bias gender masih kuat di Amerika Serikat, meskipun seringkali tidak disadari. Kandidat perempuan sering dinilai lebih ketat daripada laki-laki dalam hal kompetensi, pengalaman, dan emosi. Seringkali, masyarakat menilai kandidat perempuan dari aspek yang berbeda, dan hal ini mempengaruhi persepsi publik dalam memilih pemimpin.
- Polarisasi Politik yang Ekstrem:Â Kemenangan Trump dalam dua kali pemilihan presiden melawan kandidat perempuan juga mencerminkan polarisasi politik yang semakin meningkat di AS. Dukungan yang kuat dari kalangan konservatif membuat pemilih cenderung mempertahankan pilihan mereka berdasarkan ideologi, bukan berdasarkan gender.
- Ekspektasi Sosial yang Berbeda: Meski emansipasi telah berkembang, masih ada ekspektasi tradisional terhadap peran perempuan dalam masyarakat Amerika, terutama di wilayah-wilayah konservatif. Ekspektasi ini menciptakan hambatan tersendiri bagi kandidat perempuan untuk tampil dengan gaya kepemimpinan yang lebih tegas dan kompetitif tanpa dianggap "berlebihan."
- Pengaruh Media dan Opini Publik:Â Liputan media terhadap kandidat perempuan sering kali berbeda dari liputan terhadap kandidat laki-laki. Perempuan sering dihadapkan pada sorotan yang lebih tajam terkait penampilan, gaya bicara, bahkan kehidupan pribadi, yang kerap dijadikan bahan kritik.
Kontras dengan Negara Lain: Amerika Serikat dan Paradoks Kesetaraan Gender
Negara-negara berkembang yang sering kali dianggap belum semaju AS dalam hal kesetaraan gender justru telah berhasil melampaui AS dalam hal kepemimpinan perempuan di tingkat nasional.
Sebagai contoh, Indonesia memiliki Megawati Soekarnoputri sebagai presiden perempuan pertama pada awal 2000-an. Filipina telah memiliki dua presiden perempuan, sementara Bangladesh telah dipimpin oleh perdana menteri perempuan selama beberapa dekade.
Mengapa negara-negara ini mampu melahirkan pemimpin perempuan, sementara AS yang lebih mapan dalam hal hak-hak perempuan justru masih tertinggal?