Mengapa negara-negara ini mampu melahirkan pemimpin perempuan, sementara AS yang lebih mapan dalam hal hak-hak perempuan justru masih tertinggal?
Jawabannya mungkin terletak pada perbedaan budaya dan persepsi terhadap kepemimpinan perempuan. Di negara-negara ini, perempuan yang menduduki kursi kepemimpinan sering kali dilihat sebagai figur ibu bangsa atau simbol stabilitas, sementara di AS, kepemimpinan perempuan masih dianggap belum sepenuhnya sejalan dengan tradisi kepemimpinan nasional.
Mengapa Kemenangan Trump Menjadi Pengingat bagi Emansipasi di AS?
Kemenangan Trump dua kali atas kandidat perempuan memberikan refleksi bahwa perjuangan emansipasi masih jauh dari kata selesai, bahkan di negara yang selama ini menjadi advokat utama bagi kesetaraan gender.
Fenomena ini juga mengisyaratkan bahwa pemilih di Amerika Serikat masih lebih mempertimbangkan ideologi politik daripada kesetaraan gender, sehingga pencapaian perempuan di kursi presiden mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terwujud.
Harapan dan Masa Depan Kepemimpinan Perempuan di AS
Meskipun perjalanan menuju kepemimpinan tertinggi di AS masih penuh tantangan, negara ini tidak sepenuhnya kehilangan harapan. Dukungan dari generasi muda yang lebih terbuka dan kesadaran yang terus tumbuh tentang pentingnya representasi perempuan akan menjadi kekuatan besar dalam perubahan di masa depan.
Kamala Harris sebagai wakil presiden adalah simbol langkah maju, dan semoga dalam waktu dekat AS dapat membuktikan bahwa nilai-nilai yang mereka pegang dapat tercermin dalam pilihan pemimpin nasional mereka.
Akan tetapi, bagaimana pun, negara-negara berkembang yang sering kali dianggap kurang menghargai hak-hak perempuan justru telah membuktikan bahwa masyarakatnya bisa memilih presiden perempuan.
Hal ini sangat kontras dengan masyarakat Amerika Serikat, yang meskipun gencar mendengungkan emansipasi dan kesetaraan gender, hingga kini belum berhasil memilih dan memenangkan kandidat presiden perempuan.
Fenomena ini mengundang pertanyaan besar bagi AS: apakah masyarakatnya benar-benar siap menerima kepemimpinan perempuan di tingkat tertinggi, atau apakah semangat kesetaraan hanya hidup dalam wacana tanpa teruji di panggung pemilihan presiden?
Hanya waktu yang dapat menjawab apakah AS akan menyusul negara-negara lain dalam mewujudkan kepemimpinan perempuan di kursi tertinggi.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)