Perjalanan kali ini membawa saya ke Wonosobo, sebuah kota kecil yang sejuk di Jawa Tengah. Setelah menikmati perjalanan panjang dari Solo dan Yogyakarta yang cukup terik, kemudian singgah semalam di Desa Borobudur, Magelang, akhirnya kami tiba di Wonosobo.
Udara segar khas pegunungan langsung terasa begitu menyegarkan, membuat rasa lelah seketika menghilang. Suhu di Wonosobo memang terasa sangat berbeda---sejuk, dengan angin dingin lembut yang menyapa kulit, seakan membawa pesan keramahan khas pegunungan.
Setelah singgah sejenak di Masjid Agung Jami' untuk shalat Dzuhur, saya membasuh diri dengan air wudhu yang terasa benar-benar dingin dan menyegarkan. Terletak di pusat kota, masjid ini menjadi tempat istirahat ideal setelah perjalanan panjang.
Dari sini, kami melanjutkan ke tujuan utama: mencicipi kuliner legendaris Wonosobo, Mie Ongklok Longkrang, yang terkenal sejak lama.
Mie Ongklok Longkrang, Kuliner Legendaris Sejak 1975
Mie Ongklok Longkrang memang memiliki sejarah yang panjang dan telah menjadi bagian dari warisan kuliner Wonosobo. Berdiri sejak tahun 1975, kedai ini dirintis oleh orang tua Pak Waluyo yang awalnya berjualan mie ongklok secara berkeliling di kampung-kampung sekitar.
Popularitas mie ongklok racikan mereka pun meningkat, hingga pada akhirnya Pak Waluyo dan keluarganya memutuskan untuk membuka kedai tetap di Jalan Pasukan Ronggolawe, sekitar 800 meter ke arah utara dari pusat kota Wonosobo.
Dengan citarasa khas yang autentik dan teknik memasak tradisional, Mie Ongklok Longkrang berhasil mempertahankan kelezatannya selama beberapa dekade.
Kini, kedai ini tidak hanya menjadi favorit warga lokal tetapi juga destinasi wajib bagi para wisatawan yang berkunjung ke Wonosobo untuk menikmati kuliner legendaris yang hangat di tengah kesejukan kota pegunungan.
Kenikmatan Mie Ongklok yang Menghangatkan di Udara Dingin
Begitu sampai, saya segera memesan seporsi mie ongklok dengan tambahan sate sapi dan tempe kemul. Ketika semangkuk mie ongklok tersaji, saya melihat ciri khasnya: kuah kental berkanji yang disebut loh, yang terbuat dari campuran tepung kanji, gula jawa, ebi, dan berbagai rempah.
Aroma yang menggugah selera langsung mengundang saya untuk mencicipi hidangan ini. Mie ongklok disajikan bersama kol segar dan daun kucai yang memberikan kesegaran alami. Rasa gurih dan sedikit manis dari kuahnya berpadu dengan kenyalnya mie, menciptakan sensasi hangat dan nikmat di tengah dinginnya udara Wonosobo.
Proses pembuatannya pun unik, di mana mie dan sayurannya direbus menggunakan alat khusus bernama ongklok, sebuah keranjang kecil dari anyaman bambu yang dicelup-celupkan dalam air mendidih atau diongklok. Teknik ini menghasilkan tekstur mie yang lembut dan rasa kuah yang meresap sempurna.
Sate Sapi dan Tempe Kemul, Pendamping Sempurna
Kenikmatan mie ongklok semakin terasa lengkap ketika dinikmati dengan sate sapi dan tempe kemul. Sate sapi yang empuk berpadu sempurna dengan kuah gurih manis mie ongklok, sedangkan tempe kemul yang renyah memberikan tekstur tambahan yang menyenangkan. Geblek, makanan khas Wonosobo dari singkong, juga menjadi pilihan pendamping yang khas.
Harga satu porsi mie ongklok di sini sangat terjangkau, hanya Rp 13.000, dengan sate sapi Rp 32.000 untuk sepuluh tusuk, dan tempe kemul seharga Rp 1.500 per biji. Kombinasi ini menawarkan cita rasa yang benar-benar memuaskan dan berharga.
Keunikan Mie Ongklok yang Mendunia
Keunikan Mie Ongklok Longkrang tidak hanya terkenal di Indonesia; kedai ini bahkan telah mengekspor mie ongklok dalam bentuk bumbu beku ke luar negeri, memungkinkan masyarakat di luar negeri untuk mencicipi rasa autentik Wonosobo.
Tradisi yang tetap terjaga, rasa autentik, dan inovasi produk menjadikan Mie Ongklok Longkrang bukan sekadar hidangan, tetapi juga simbol kebanggaan bagi Wonosobo.
Menutup Hari dengan Rasa Puas
Menikmati semangkuk mie ongklok di tengah sejuknya Wonosobo adalah pengalaman yang tak terlupakan. Dari kelezatan mie yang khas hingga suasana kedai yang ramah, semuanya menyatu menciptakan kenangan yang berkesan.
Setelah menikmati hidangan yang menghangatkan, kami berkeliling Wonosobo, menikmati udara segar dan keindahan kota kecil ini.
Waktu pun berlalu, dan tibalah saatnya untuk kembali ke Jakarta. Kami melewati rute Alas Roban, jalur dengan pemandangan hutan yang cukup misterius namun menawan. Setelah masuk tol dan perjalanan panjang, kami tiba di Bintaro sudah dini hari.
Rasanya perjalanan yang cukup melelahkan ini telah terbayar dengan pengalaman yang penuh kenangan, dan sesampainya di rumah, kami langsung beristirahat dengan hati yang puas.
Bersama kenangan manis kuliner dan keindahan alam Wonosobo, perjalanan ini berakhir dengan keinginan untuk kembali lagi suatu hari nanti.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H