Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perempuan Berisiko Kalah dalam Transisi Menuju Pekerjaan Ramah Lingkungan

18 Oktober 2024   20:14 Diperbarui: 18 Oktober 2024   20:24 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI

Laki-laki memegang sekitar 70 persen pekerjaan yang mencemari lingkungan di dunia, sehingga banyak yang mengira merekalah yang paling terdampak oleh transisi menuju energi yang lebih bersih.

Negara-negara menutup industri kotor dalam upaya untuk melakukan dekarbonisasi dan mencapai target emisi nol bersih, yang berpotensi menghilangkan banyak pekerjaan tradisional yang didominasi oleh laki-laki.

Namun, analisis dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa perempuan juga berada dalam risiko yang signifikan. Hal ini karena terlalu sedikit perempuan yang mempelajari mata pelajaran sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) yang sangat penting bagi pekerjaan ramah lingkungan di masa depan.

Dampak kesenjangan gender dalam transisi hijau ini terlihat jelas di seluruh dunia, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia.

Dampak Kesenjangan Gender dalam Transisi Hijau

Data menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih sedikit terlibat dalam pekerjaan ramah lingkungan dibandingkan dengan laki-laki. Di negara-negara maju, hanya sekitar 6 persen perempuan yang bekerja di sektor ramah lingkungan, sementara lebih dari 20 persen laki-laki terlibat di sektor ini.

Kesenjangan ini bahkan lebih besar di negara-negara berkembang, di mana perempuan menghadapi lebih banyak tantangan dalam mengakses pendidikan STEM dan peluang kerja berkelanjutan.

Kesenjangan ini sangat penting, karena pekerjaan ramah lingkungan memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat dan menawarkan upah yang lebih tinggi daripada sektor lainnya. Misalnya, di Kolombia, laki-laki yang bekerja di sektor ramah lingkungan mendapatkan upah premium 9 persen, sementara perempuan mendapatkan upah premium lebih tinggi, yaitu 16 persen.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa jika perempuan tidak diberdayakan untuk berpartisipasi dalam sektor ini, mereka akan kehilangan peluang ekonomi yang signifikan.

Tantangan di Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan yang mirip, bahkan lebih besar dalam beberapa aspek, dalam hal keterlibatan perempuan di sektor ramah lingkungan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 20 persen tenaga kerja di sektor teknologi dan energi di Indonesia diisi oleh perempuan.

Padahal, sektor ini sangat penting dalam transisi ke energi terbarukan dan berkelanjutan, yang semakin berkembang di Indonesia melalui kebijakan seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Selain itu, kurangnya pendidikan STEM di kalangan perempuan di Indonesia memperburuk kesenjangan ini. Banyak perempuan yang tidak memiliki akses atau paparan terhadap pendidikan STEM sejak dini, yang berarti mereka lebih kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan dengan prospek pertumbuhan tinggi seperti energi terbarukan dan teknologi hijau.

Jika kesenjangan ini tidak ditangani, perempuan Indonesia berisiko kehilangan akses ke pekerjaan yang menawarkan stabilitas dan gaji lebih tinggi di masa depan.

Pentingnya Pendidikan STEM untuk Perempuan

Salah satu hambatan terbesar yang dihadapi perempuan dalam mengakses pekerjaan ramah lingkungan adalah kurangnya partisipasi mereka dalam pendidikan STEM. Bidang STEM adalah kunci untuk inovasi dan pengembangan teknologi hijau, yang merupakan inti dari pekerjaan di sektor ramah lingkungan.

Tanpa keterampilan ini, perempuan tidak hanya tertinggal dari laki-laki, tetapi juga berisiko kehilangan kesempatan dalam pekerjaan dengan gaji tinggi dan stabil di masa depan.

Beberapa negara telah membuat kemajuan dalam mengatasi hambatan ini. Misalnya, Irlandia berhasil menggandakan jumlah perempuan muda yang meraih gelar STEM dalam kurun waktu delapan tahun dengan mengintegrasikan mata pelajaran ini di semua jenjang pendidikan.

Paparan STEM sejak dini menjadi solusi penting di negara ini, dengan pendekatan yang mencakup kurikulum yang sensitif terhadap gender dan pelatihan khusus bagi pendidik. Langkah-langkah ini perlu diadopsi di Indonesia untuk memastikan bahwa lebih banyak perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam sektor energi terbarukan.

Mengatasi Kesenjangan untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Mengatasi kurangnya representasi perempuan dalam pekerjaan ramah lingkungan memiliki konsekuensi ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Negara-negara dengan porsi pekerja berpendidikan STEM yang lebih besar dan kebijakan kesetaraan gender yang lebih kuat cenderung memiliki pengurangan emisi gas rumah kaca yang lebih tajam sebagai respons terhadap kebijakan iklim.

Pendidikan STEM mendorong inovasi ramah lingkungan dan memberi pekerja keterampilan yang mereka butuhkan untuk pekerjaan ramah lingkungan.

Pembuat kebijakan di Indonesia dan di seluruh dunia harus menurunkan hambatan ini dengan memberikan insentif kepada perempuan untuk pendidikan STEM dan memastikan akses yang sama terhadap pekerjaan ramah lingkungan. Ini termasuk paparan STEM sejak dini, bimbingan, dan kemitraan publik-swasta, seperti yang telah berhasil dilakukan di beberapa negara.

Hal tersebut juga berarti menciptakan lingkungan yang lebih inklusif di tempat kerja, memberikan akses ke keuangan, dan memperbaiki kerangka hukum yang dapat menghalangi partisipasi perempuan.

Jalan Menuju Ekonomi Berkelanjutan

Untuk mewujudkan ekonomi berkelanjutan, jalan menuju transisi energi hijau harus diaspal dengan inklusivitas. Ini berarti bahwa semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari perubahan yang terjadi dalam sektor energi dan lingkungan.

Keterlibatan aktif perempuan dalam transisi hijau bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga tentang memanfaatkan potensi penuh yang dimiliki oleh seluruh masyarakat.

Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa negara-negara yang mendorong partisipasi perempuan dalam sektor STEM dan pekerjaan ramah lingkungan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat.

Semakin banyak perempuan dan laki-laki yang dapat berkontribusi dalam inovasi dan pengembangan teknologi hijau, semakin baik bagi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan kita semua.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan Copilot.Microsoft.AI

Partisipasi perempuan tidak hanya dapat meningkatkan kualitas pekerjaan, tetapi juga membawa perspektif baru yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.

Di Indonesia, langkah-langkah konkret perlu diambil untuk mempercepat transisi hijau yang lebih adil. Ini mencakup penyusunan kebijakan yang mendukung pendidikan STEM untuk perempuan, mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan karier perempuan dalam sektor energi terbarukan.

Misalnya, program beasiswa yang diarahkan khusus untuk perempuan di bidang STEM dapat membuka lebih banyak peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam sektor yang berkembang ini.

Selain itu, perusahaan dan organisasi perlu menerapkan kebijakan yang mendorong inklusivitas dalam rekrutmen dan pengembangan karier.

Hal ini dapat mencakup pelatihan bagi manajer dan pimpinan untuk mengatasi bias gender dalam proses perekrutan dan penempatan, serta program mentoring yang dapat membantu perempuan dalam mengembangkan keterampilan kepemimpinan dan teknis yang diperlukan untuk berkarier di sektor ramah lingkungan.

Lebih jauh lagi, pemerintah juga harus berperan aktif dalam menciptakan infrastruktur dan ekosistem yang mendukung usaha perempuan di sektor energi hijau. Ini mencakup akses yang lebih besar ke pembiayaan, dukungan dalam bentuk pelatihan keterampilan, serta kolaborasi dengan sektor swasta untuk menciptakan peluang kerja yang lebih banyak dan lebih beragam bagi perempuan.

Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat mempercepat transisi hijau yang lebih adil dan membuka pintu bagi perempuan untuk berkontribusi dalam ekonomi masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Transformasi ini bukan hanya akan meningkatkan kesejahteraan perempuan, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi dan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di Indonesia.

Dalam dunia yang semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan, inklusivitas gender dalam transisi menuju ekonomi hijau adalah suatu keharusan untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun individu yang tertinggal.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun