Era hiperglobalisasi yang bebas hambatan kini digantikan oleh tatanan dunia berbasis kekuatan di mana keamanan dan ketahanan menjadi prioritas utama. Negara-negara mulai mengadopsi kebijakan "jaga-jaga" (just in case) untuk memastikan keamanan pasokan, berlawanan dengan pendekatan "tepat waktu" (just in time) yang lebih fokus pada efisiensi biaya.
Diversifikasi sumber perdagangan menjadi tren baru, terutama untuk mengurangi ketergantungan pada satu negara produsen, seperti Tiongkok. Negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan Meksiko menjadi destinasi baru bagi relokasi pesanan ekspor.
Namun demikian, proteksionisme yang semakin menguat ini dikhawatirkan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global, yang diperkirakan hanya mencapai 2,8 persen pada tahun 2030---jauh di bawah rata-rata historis sebesar 3,8 persen.
Tantangan bagi Negara Berkembang dan Indonesia
Dampak dari fragmentasi global ini sangat dirasakan oleh negara berkembang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa kemiskinan ekstrem, yang seharusnya bisa diberantas pada tahun 2030, kini masih memengaruhi sekitar 700 juta orang. Pada laju kemajuan saat ini, 600 juta orang akan tetap hidup dalam kemiskinan pada akhir dekade ini.
Bagi Indonesia, tantangan ini sangat nyata. Sebagai negara berkembang dengan perekonomian yang tergantung pada perdagangan global dan transfer teknologi, Indonesia harus beradaptasi dengan tatanan baru ini.
Dengan kebijakan pemerintah yang fokus pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain penting dalam rantai pasokan global yang lebih terdiversifikasi.
Namun demikian, langkah ini harus disertai dengan strategi yang cerdas dan kemauan untuk bekerja sama dalam forum internasional.
Solusi: Multilateralisme yang Lebih Kuat
Di tengah fragmentasi yang mengancam, solusi utama terletak pada multilateralisme yang lebih kuat. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan lembaga multilateral lainnya seperti IMF dan Bank Dunia harus memainkan peran yang lebih aktif dalam menjaga stabilitas ekonomi global.
WTO, misalnya, harus lebih fokus pada penyelesaian sengketa perdagangan melalui dialog dan negosiasi, bukan lagi melalui sistem banding legalistik yang kaku. IMF perlu mengoptimalkan kapasitas pinjamannya sebesar $1 triliun untuk memberikan asuransi terhadap guncangan ekonomi, sementara Bank Dunia harus berperan sebagai bank global yang mendukung pembangunan manusia dan pengelolaan lingkungan.
Selain itu, G20---yang lebih representatif dibandingkan G7---harus memainkan peran yang lebih besar sebagai forum utama untuk kerja sama ekonomi global. Dengan pendekatan yang lebih inklusif, G20 bisa menjadi platform bagi negara-negara berkembang dan berpenghasilan menengah untuk mengajukan suara mereka dan berkontribusi dalam membentuk masa depan ekonomi dunia.
Kesimpulan: Kerja Sama Global untuk Masa Depan yang Lebih Baik