Fenomena penggunaan tagar #Desperate di LinkedIn oleh Generasi Z menjadi tanda keputusasaan banyak pencari kerja muda. Alih-alih menggunakan tagar biasa seperti #OpenToWork, mereka memilih "putus asa" untuk menunjukkan urgensi mendapatkan pekerjaan.
Tren ini mencerminkan kondisi global yang penuh tantangan, termasuk di Indonesia, di mana Gen Z, kelompok dengan keterkaitan erat pada teknologi, kerap menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak meskipun telah memenuhi persyaratan keterampilan dan pendidikan.
Cerita Hanna McFadyn, ilustrator yang mengirimkan lamaran hingga 20 kali sehari namun sering diabaikan, menyoroti krisis yang dialami banyak anak muda. Mereka terbuka untuk berbagai kesempatan, namun respons dari pemberi kerja masih minim, bahkan ketika mereka menunjukkan keputusasaan di profil mereka.
Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi 46 juta Gen Z di Indonesia. Tantangan yang mereka hadapi mencakup persaingan ketat, ketidakjelasan gaji dalam lowongan kerja, serta kurangnya pengalaman yang dibutuhkan oleh banyak perusahaan.
Generasi Z juga harus beradaptasi dengan realitas pasca-pandemi yang mempercepat perubahan di sektor ekonomi, dengan banyak pekerjaan tradisional tergantikan oleh digitalisasi.
Refleksi untuk Calon Kepala Daerah:
Melihat tantangan yang dihadapi Gen Z, calon kepala daerah yang sedang berkampanye di Pilkada perlu lebih memikirkan solusi konkret bagi generasi muda yang terdampak PHK dan pengangguran. Program yang ditawarkan harus mencakup langkah-langkah praktis untuk mengatasi masalah ini, di antaranya:
- Pelatihan Digital dan Keterampilan Kerja:Â Pemerintah daerah dapat menyediakan akses pelatihan untuk keterampilan digital, seperti coding, analisis data, dan pemasaran digital, yang semakin dibutuhkan di dunia kerja saat ini. Ini akan membantu Gen Z mempersiapkan diri untuk pasar kerja yang berubah cepat.
- Insentif untuk Wirausaha: Dukungan bagi startup dan wirausaha muda perlu diperkuat, dengan memberikan insentif, bantuan modal, dan akses ke pasar untuk anak-anak muda yang ingin membangun bisnis kreatif dan teknologi.
- Kemitraan dengan Swasta:Â Kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan swasta untuk membuka kesempatan magang dan pekerjaan paruh waktu juga akan membantu Gen Z mendapatkan pengalaman yang dibutuhkan oleh pemberi kerja.
- Regulasi yang Mendukung Pekerja Muda: Pemerintah perlu menciptakan regulasi yang mendukung fleksibilitas kerja seperti remote work atau part-time work, sehingga lebih banyak peluang terbuka bagi Gen Z untuk tetap produktif meski dalam keterbatasan.
- Akses Permodalan dan Pendidikan: Selain itu, kemudahan akses terhadap permodalan, beasiswa, atau bantuan pendidikan untuk program pendidikan lanjutan bisa menjadi solusi untuk meningkatkan keterampilan dan daya saing mereka.
Harapan dan Solusi untuk Masa Depan:
Melalui tren #Desperate di LinkedIn, Gen Z ingin menunjukkan kepada pemberi kerja bahwa mereka siap berkontribusi namun menghadapi hambatan yang sulit. Pemerintah dan pemberi kerja perlu lebih peka dan menawarkan solusi yang relevan.
Dengan kampanye Pilkada yang sedang berlangsung, ini menjadi momen penting bagi calon kepala daerah untuk benar-benar memahami kebutuhan generasi muda, berkomitmen pada kebijakan yang mendukung penciptaan lapangan kerja, dan membangun masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Pada akhirnya, Gen Z tidak hanya berharap untuk didengar, tetapi juga diberi kesempatan yang adil untuk tumbuh dan berkembang dalam dunia kerja yang semakin kompleks.
Sebagai penutup, fenomena #Desperate di LinkedIn menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh Generasi Z dalam mencari pekerjaan di tengah ketidakpastian ekonomi dan kompetisi ketat. Ini bukan hanya sekedar refleksi atas kondisi dunia kerja saat ini, tetapi juga panggilan bagi para calon pemimpin di Pilkada untuk mengambil tindakan nyata.