Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, yang jatuh setiap tanggal 1 Oktober, memiliki makna mendalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya generasi yang pernah mengalami langsung atau mendengar kisah tentang peristiwa sejarah yang mengawali hari tersebut.
Hari Kesaktian Pancasila diperingati untuk mengenang peristiwa G30S/PKI, di mana terjadi upaya kudeta yang mengancam dasar negara, yaitu Pancasila, pada 30 September 1965.
Pada masa lalu, peringatan ini sangat kental dengan nuansa nasionalisme dan patriotisme. Di sekolah-sekolah dan instansi pemerintah, upacara bendera digelar dengan khidmat, lengkap dengan pidato yang mengingatkan betapa pentingnya menjaga kesatuan bangsa dan setia pada Pancasila.
Film dokumenter tentang peristiwa G30S/PKI sering kali diputar di televisi sebagai bagian dari pengingat kolektif tentang sejarah kelam yang pernah menguji keberadaan bangsa ini.
Kenangan terhadap peringatan ini bagi generasi yang hidup pada dekade 1970-an hingga 1990-an sangat kuat. Pada masa itu, Hari Kesaktian Pancasila menjadi momen refleksi, di mana masyarakat diajak untuk bersatu, menjaga keutuhan NKRI, dan memperkuat rasa cinta tanah air.
Sekolah-sekolah biasanya mengadakan kegiatan khusus untuk memperingatinya, seperti penulisan esai, drama sejarah, hingga kegiatan diskusi yang mengangkat nilai-nilai kebangsaan dan semangat menjaga Pancasila sebagai ideologi negara.
Namun, makna Peringatan Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga menjaga relevansi Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di masa kini. Nilai-nilai dalam Pancasila, seperti persatuan, keadilan, kemanusiaan, dan musyawarah untuk mufakat, tetap menjadi pondasi yang harus terus dijaga oleh generasi sekarang dan masa depan.
Peringatan ini juga mengajarkan pentingnya kewaspadaan terhadap segala bentuk ancaman terhadap ideologi dan keutuhan bangsa.
Di tengah perubahan zaman dan arus globalisasi yang semakin kuat, peringatan ini mengingatkan kita bahwa tantangan terhadap nilai-nilai Pancasila tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam, seperti korupsi, radikalisme, dan ketidakadilan sosial.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila bukan hanya mengenang sejarah, tetapi juga sebagai momentum untuk memperkuat komitmen menjaga nilai-nilai luhur bangsa agar tetap relevan dan hidup dalam masyarakat modern. Bagi mereka yang pernah mengalami langsung masa-masa penuh gejolak di sekitar tahun 1965, peringatan ini selalu membawa kesan emosional yang mendalam.
Terlepas dari bagaimana generasi muda mungkin melihat peristiwa ini, penting untuk terus memahami dan merawat makna Hari Kesaktian Pancasila sebagai pengingat bahwa bangsa ini pernah menghadapi ancaman besar, namun tetap teguh berpegang pada Pancasila sebagai dasar negara yang tidak tergoyahkan.
Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Tidak Cukup Hanya Slogan
Pernyataan bahwa Pancasila sebagai dasar negara dan asas kehidupan rakyat Indonesia tidak cukup hanya dengan slogan "Saya Indonesia, Saya Pancasila" adalah sangat tepat.
Menghidupkan nilai-nilai Pancasila tidak boleh berhenti pada sekadar kata-kata atau slogan, tetapi harus tercermin dalam perilaku, kebijakan, dan tindakan nyata dari setiap individu, baik rakyat biasa maupun pemimpin bangsa.
Pancasila mengandung lima sila yang menjadi landasan hidup bersama, dan seharusnya setiap warga negara menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai panduan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Namun demikian, dalam kenyataannya, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara retorika dan praktik. Slogan seperti "Saya Indonesia, Saya Pancasila" memang kuat secara simbolis, tetapi tanpa implementasi yang nyata, hanya akan menjadi retorika kosong. Berikut ini adalah refleksi dari kelima sila dan tantangan yang dihadapi dalam penerapannya:
- Ketuhanan Yang Maha Esa: Dalam sila pertama ini, masyarakat Indonesia diharapkan menghormati keanekaragaman agama dan keyakinan. Namun, masih sering kita melihat adanya intoleransi, diskriminasi, dan konflik atas nama agama. Banyak warga yang secara verbal mengaku memegang teguh nilai ini, tetapi perilaku sehari-hari terkadang tidak mencerminkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan kepercayaan.
- Kemanusiaan yang Adil dan Beradab:Â Sila kedua menekankan pentingnya menghormati hak asasi manusia dan perlakuan yang adil serta manusiawi terhadap sesama. Namun, ketidakadilan sosial, pelanggaran hak asasi, kekerasan, dan korupsi sering kali menjadi gambaran yang kontras dengan sila ini. Tindakan beradab seharusnya terlihat dari cara kita memperlakukan orang lain, namun banyak contoh ketidakadilan yang masih mewarnai kehidupan masyarakat.
- Persatuan Indonesia: Persatuan seharusnya menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia yang sangat beragam. Namun, gesekan antarkelompok, suku, agama, dan politik kerap kali justru memperlihatkan betapa rapuhnya persatuan kita. Retorika persatuan sering digaungkan, namun praktik perpecahan dan konflik berbasis identitas masih kerap terjadi. Nilai ini menuntut kesadaran untuk mengesampingkan kepentingan kelompok demi kepentingan bersama.
- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Sila ini mengajarkan pentingnya demokrasi, musyawarah, dan pengambilan keputusan yang adil dan bijaksana. Namun, di realitas politik, sering kali yang terjadi adalah pengambilan keputusan yang diwarnai oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Proses musyawarah sering kali menjadi formalitas, sementara kepentingan rakyat banyak tidak selalu diutamakan.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia:Â Sila kelima menuntut keadilan dalam distribusi kekayaan, kesempatan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Ironisnya, kesenjangan sosial dan ekonomi masih sangat nyata di Indonesia. Slogan Pancasila sering kali dipakai untuk memperlihatkan komitmen terhadap keadilan, namun kenyataannya masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan, sementara sebagian kecil menikmati kekayaan yang melimpah.
Tantangan Utama: Menghidupkan Pancasila dalam Tindakan
Slogan-slogan seperti "Saya Indonesia, Saya Pancasila" memang dapat menginspirasi kebanggaan, tetapi jika tidak diikuti dengan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai tersebut, itu hanya akan menjadi formalitas belaka.
Menghidupkan Pancasila menuntut perubahan yang lebih mendalam dan komprehensif, baik dalam pola pikir individu maupun sistem pemerintahan. Pendidikan moral, hukum yang adil, penegakan hak asasi manusia, serta pemimpin yang menjadi teladan dalam mengimplementasikan Pancasila adalah kunci penting.
Selain itu, setiap warga negara perlu merefleksikan bagaimana Pancasila dapat diterapkan dalam tindakan sehari-hari---mulai dari hal-hal kecil seperti menghormati perbedaan, memperjuangkan keadilan, hingga berkontribusi pada persatuan bangsa.
Dengan demikian, Pancasila tidak cukup hanya dijadikan sebagai simbol atau slogan, tetapi harus menjadi nafas yang menggerakkan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan kelima sila inilah yang akan memastikan bahwa Pancasila tetap hidup dan relevan bagi Indonesia di masa kini dan masa depan.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H