Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara dengan ekonomi besar seperti Tiongkok dan Indonesia telah menghadapi tantangan mendasar dalam menyeimbangkan konsumsi rumah tangga dan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Khususnya, Tiongkok kini dihadapkan pada pilihan kebijakan yang sulit setelah meluncurkan rencana stimulus monumental yang bertujuan mengisi kantong konsumen, sebuah langkah yang menggeser paradigma kebijakan lama yang terlalu fokus pada investasi properti, infrastruktur, dan industri. (Sumber: Reuters)
Beijing dilaporkan berencana menerbitkan obligasi senilai sekitar 2 triliun yuan ($284 miliar) guna mensubsidi pembelian barang konsumen dan tunjangan anak. Pergeseran ini mencerminkan pentingnya mengalihkan penggerak utama pertumbuhan ekonomi dari investasi ke konsumsi rumah tangga, sebuah upaya yang telah lama diusulkan banyak ekonom.
Namun, upaya ini bukan tanpa risiko. Tiongkok telah bergantung pada model pertumbuhan yang menekankan investasi besar-besaran sejak tahun 1980-an. Model ini memang sukses mengubah negara tersebut menjadi raksasa ekonomi dunia, tetapi juga meninggalkan masalah struktural, termasuk kelebihan kapasitas dan lonjakan utang yang menakutkan.
Pergeseran Paradigma di Tiongkok: Jalan Panjang Menuju Konsumsi
Selama bertahun-tahun, konsumsi rumah tangga di Tiongkok telah dibayangi oleh investasi. Dengan hanya sekitar 40% dari output ekonomi tahunan berasal dari pengeluaran rumah tangga, Tiongkok berada 20 poin persentase di bawah rata-rata global. Sementara itu, investasi berada 20 poin persentase di atas rata-rata global.
Untuk menutup kesenjangan ini, Tiongkok perlu menata ulang arsitektur kebijakan sosial-ekonominya. Kebijakan saat ini lebih berfokus pada mendukung investasi, dengan rumah tangga ditekan oleh suku bunga deposito yang rendah, hak buruh yang lemah, dan jaring pengaman sosial yang rapuh.
Selain itu, sistem pajak yang menguntungkan investasi dan menekan konsumsi harus dirombak. Pajak atas keuntungan modal di Tiongkok hanya 20%, jauh di bawah Amerika Serikat (37%) dan India (30%) .
Namun demikian, upaya penyeimbangan ini tidak bisa dilakukan dalam semalam. Michael Pettis, seorang ekonom di Carnegie China, mengingatkan bahwa Jepang membutuhkan waktu 17 tahun untuk meningkatkan pangsa konsumsi dari output ekonominya sebesar 10 poin persentase dari titik terendahnya pada 1991.
Tiongkok pun menghadapi jalan panjang yang berpotensi disertai risiko resesi jika subsidi besar-besaran untuk perusahaan manufaktur dihentikan .
Tantangan Struktural: Risiko dan Jalan Keluar