Menurut Cameron Burskey, seorang pakar keuangan dari Cornerstone Financial Services, tekanan sosial bagi laki-laki untuk menunjukkan status finansial yang baik bisa menjadi salah satu penyebabnya.
Di era digital saat ini, media sosial turut memperparah situasi ini. Laki-laki merasa perlu "menjaga citra" dan mengikuti gaya hidup yang dipamerkan di platform-platform online, meski kondisi keuangan mereka tidak mendukung.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai FOMO (fear of missing out), mendorong mereka untuk terus melakukan pembelian barang-barang mahal atau mewah demi terlihat sukses di mata orang lain.
Sementara itu, Generasi Milenial---khususnya mereka yang tumbuh dewasa di masa ketidakpastian ekonomi, seperti krisis finansial global 2008---telah terbiasa hidup dengan kekhawatiran finansial.
Kendall Meade, seorang perencana keuangan bersertifikat di SoFi, menambahkan bahwa generasi ini juga terjebak dengan utang, seperti utang mahasiswa, yang membuat mereka kewalahan secara finansial. Hal ini menyebabkan mereka lebih cenderung menghabiskan uang untuk kepuasan jangka pendek daripada menabung untuk masa depan.
"Banyak generasi milenial merasa putus asa dengan harga rumah yang tidak terjangkau, utang yang tinggi, dan kesulitan menabung," kata Meade. Sebagai akibatnya, generasi ini cenderung terlibat dalam doom spending sebagai bentuk pelarian dari tekanan hidup sehari-hari.
Doom Spending di Indonesia: Adakah Fenomena Serupa?
Meskipun belum ada data spesifik terkait doom spending di Indonesia, ada indikasi bahwa perilaku serupa juga mulai terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar.
Lonjakan penggunaan e-commerce dan belanja online yang semakin mudah diakses, ditambah dengan promosi besar-besaran dari marketplace, dapat memicu tren pengeluaran impulsif.
Banyak orang, terutama generasi muda, terpapar gaya hidup konsumtif yang ditampilkan di media sosial, membuat mereka merasa perlu untuk mengikuti tren tersebut meski kondisi keuangan pribadi tidak mendukung.
Seperti di Amerika, Generasi Z dan milenial di Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama---mulai dari harga kebutuhan pokok yang terus naik, kesulitan menabung, hingga utang pendidikan yang menumpuk. Situasi ini dapat memicu perilaku doom spending sebagai cara untuk menghadapi kecemasan finansial.
Dari sisi gender, pola doom spending di Indonesia mungkin juga lebih banyak diikuti oleh laki-laki. Di Indonesia, ada tekanan sosial bagi laki-laki untuk menunjukkan kesuksesan finansial melalui barang-barang mewah atau gaya hidup tertentu. Meskipun perempuan juga tidak terlepas dari perilaku konsumtif, laki-laki mungkin lebih rentan terhadap tekanan sosial ini.
Dampak Jangka Panjang Doom Spending