Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Apa Itu Smart Money dalam Investasi?

12 September 2024   08:46 Diperbarui: 12 September 2024   08:52 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
File Merza Gamal, sumber: McKinsey Institute

Dalam dunia investasi, istilah "smart money" merujuk pada dana atau modal yang diinvestasikan oleh individu atau institusi yang memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam mengenai pasar.

Biasanya, smart money mengacu pada keputusan yang dibuat oleh investor profesional, institusi besar, atau manajer investasi yang memiliki sumber daya untuk melakukan analisis mendalam.

Sementara itu, ada juga investor ritel, yaitu investor nonprofesional yang cenderung mengikuti tren pasar atau informasi dari media.

Perbedaan perilaku antara smart money dan investor ritel sering kali menciptakan dinamika menarik di pasar saham, baik di pasar global seperti Amerika Serikat maupun di pasar lokal seperti Indonesia.

Artikel sederhana ini sebagai pemerhati sosial ekonomi dan pensiunan praktisi perbankan akan membahas bagaimana perbedaan tersebut memengaruhi pasar dan memberikan pelajaran penting bagi investor.

Magnificent Seven dan Perilaku Investor di Pasar Global

Saat ini, pasar saham AS didominasi oleh perusahaan teknologi raksasa yang disebut Magnificent Seven: Apple, Microsoft, Google, Meta, Nvidia, Tesla, dan Amazon. Kenaikan saham dari tujuh perusahaan ini mendorong indeks S&P 500 naik hampir 16 persen hingga pertengahan 2024.

Namun demikian, analisis pola kepemilikan saham menunjukkan perbedaan menarik antara investor ritel dan investor intrinsik (investor jangka panjang yang berfokus pada nilai fundamental perusahaan).

Investor intrinsik hanya memiliki sekitar 12 persen saham Magnificent Seven, lebih sedikit dibandingkan dengan 17 persen kepemilikan mereka di perusahaan S&P 500 lainnya. Sebaliknya, investor ritel justru memiliki 30 persen saham Magnificent Seven, lebih tinggi dari 18 persen kepemilikan mereka di perusahaan S&P 500 lainnya.

File Merza Gamal, sumber: McKinsey Institute
File Merza Gamal, sumber: McKinsey Institute

Fenomena ini menunjukkan bahwa investor ritel cenderung lebih bersemangat membeli saham dari perusahaan-perusahaan besar yang populer, meskipun harganya mungkin sudah tinggi.

Risiko Gelembung Saham

Kenaikan harga saham yang didorong oleh investor ritel terkadang dapat mengarah pada gelembung saham, di mana harga saham melonjak melampaui nilai fundamentalnya.

Pada masa lalu, kita telah melihat contoh di mana investor ritel memompa harga saham secara berlebihan, dan ketika ekspektasi pasar tidak terpenuhi, harga saham tersebut mengalami koreksi tajam.

Namun, dalam kasus Magnificent Seven, terlalu dini untuk menyebutnya gelembung. Perusahaan-perusahaan ini berada di garis depan inovasi teknologi, yang berarti valuasi tinggi mereka mungkin dapat dibenarkan oleh potensi pertumbuhan jangka panjang. Namun, investor tetap harus hati-hati dan selalu memastikan bahwa harga saham yang mereka beli sesuai dengan fundamental perusahaan.

Smart Money dan Kondisi di Indonesia

Di Indonesia, fenomena serupa juga terjadi. Pasar saham kita, yang diwakili oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), didominasi oleh beberapa perusahaan besar seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Telkom Indonesia. Munculnya aplikasi trading seperti Ajaib dan Bibit telah mendorong lonjakan jumlah investor ritel yang berpartisipasi di pasar saham.

Akan tetapi, mirip dengan investor ritel di pasar AS, banyak dari mereka cenderung lebih terpengaruh oleh sentimen pasar ketimbang analisis fundamental.

Saham-saham yang dikenal sebagai saham gorengan sering kali dipilih oleh investor ritel yang tergiur dengan kenaikan harga cepat, tanpa memperhitungkan risiko jangka panjang. Hal ini dapat menimbulkan gelembung pasar yang berbahaya jika terlalu banyak investor yang berinvestasi tanpa melakukan analisis yang mendalam.

Pelajaran dari Smart Money

Apa yang bisa dipelajari oleh investor ritel dari pendekatan smart money? Pertama, investor perlu fokus pada analisis fundamental. Memahami laporan keuangan, mempelajari industri tempat perusahaan beroperasi, serta memeriksa prospek pertumbuhan jangka panjang adalah langkah-langkah penting untuk memastikan bahwa investasi Anda didasarkan pada nilai nyata perusahaan.

Kedua, investor harus menghindari mengikuti tren pasar tanpa analisis. Meskipun beberapa saham mungkin naik dengan cepat, hal itu tidak selalu berarti saham tersebut layak untuk diinvestasikan. Smart money cenderung menghindari saham yang overvalued dan fokus pada perusahaan dengan potensi jangka panjang yang kuat.

Ketiga, diversifikasi portofolio adalah prinsip penting yang sering diabaikan oleh investor ritel. Menginvestasikan semua dana di satu atau beberapa saham populer dapat meningkatkan risiko kehilangan modal jika saham-saham tersebut mengalami koreksi.

Kesimpulan: Mengambil Pendekatan Cerdas dalam Investasi

Konsep smart money memberikan pelajaran penting bagi investor ritel, yaitu pentingnya melakukan analisis mendalam dan berfokus pada nilai jangka panjang. Pasar saham, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, selalu penuh dengan risiko dan peluang.

Untuk itu, investor perlu memahami perbedaan antara investasi berdasarkan tren dan investasi berdasarkan fundamental. Dengan pendekatan yang lebih hati-hati dan bijak, investor dapat meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan mereka di pasar saham yang dinamis ini.

Pada akhirnya, menjadi bagian dari smart money bukan hanya soal mengikuti langkah investor besar, tetapi juga tentang membuat keputusan yang berdasarkan data, keyakinan, dan pemahaman jangka panjang terhadap pasar.

Penulis: Merza Gamal (Pemerhati Sosial Ekonomi Syariah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun