Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Saat Atasan Tone Deaf, Bagaimana Menghadapinya dengan Bijak?

29 Agustus 2024   08:01 Diperbarui: 29 Agustus 2024   08:20 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda berada dalam situasi di mana atasan atau seseorang yang seharusnya dihormati justru tampak kurang peka terhadap situasi atau perasaan Anda?

Saya yakin banyak di antara kita yang pernah mengalaminya. Kondisi ini bisa sangat menantang, terutama ketika kita merasa terjebak antara kewajiban untuk menghormati mereka dan kebutuhan untuk menjaga kesejahteraan diri kita sendiri.

Sebagai seseorang yang telah bekerja di berbagai level jabatan selama lebih dari 35 tahun, sejak tahun 1989 hingga pensiun, dan kini menjadi konsultan, saya sendiri pernah dan beberapa kali berada dalam situasi seperti ini.

Ada momen di mana saya merasa atasan saya tidak menyadari beban kerja yang sudah menumpuk, dan komentar-komentar yang dilontarkan malah menambah tekanan. Di sisi lain, sebagai bawahan, saya merasa bingung, karena ada rasa segan untuk menyampaikan perasaan saya dengan jujur.

Situasi ini sering kali menempatkan kita dalam posisi yang sulit, karena ada rasa takut untuk menyampaikan perasaan kita secara langsung. Akan tetapi, dengan pendekatan yang tepat, kita masih bisa menjaga hubungan yang baik dengan atasan dan melindungi diri dari dampak negatif.

Apa Itu Tone Deaf dalam Konteks Kepemimpinan?

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah tone deaf biasanya merujuk pada seseorang yang tidak mampu mengenali nada musik dengan baik. Namun, dalam konteks sosial dan profesional, istilah ini berkembang menjadi gambaran bagi mereka yang tidak peka terhadap suasana hati, perasaan, atau situasi di sekitar mereka.

Orang yang tone deaf seringkali tidak menyadari dampak kata-kata atau tindakan mereka terhadap orang lain. Mereka mungkin tidak merasakan ketegangan emosional atau tidak mampu menangkap sinyal-sinyal halus dari lingkungan sosialnya.

Dalam konteks kepemimpinan, tone deaf berarti atasan yang kurang sensitif terhadap perasaan, kebutuhan, atau kondisi karyawan mereka.

Mereka mungkin tidak memahami betapa pentingnya komunikasi yang empatik, atau mungkin kurang memperhatikan kesejahteraan tim. Padahal, dalam sebuah organisasi, kepemimpinan yang baik adalah yang mampu mendengarkan dan memahami.

Kiat Menghadapi Atasan yang Tone Deaf

  1. Tetap Profesional dan Tenang: Menghadapi atasan yang tone deaf bisa memancing emosi, tapi penting untuk tetap tenang dan menjaga sikap profesional. Reaksi emosional yang berlebihan hanya akan memperburuk situasi. Jika kita merasa frustasi, ambil jeda sejenak untuk menenangkan diri sebelum memutuskan langkah berikutnya.
  2. Memilih Waktu yang Tepat untuk Berbicara: Sama seperti menghadapi teman yang tone deaf, memilih waktu yang tepat untuk berbicara dengan atasan juga penting. Jangan sampai kita membahas masalah ini saat situasi sedang panas atau terburu-buru. Cari waktu di mana kita bisa berbicara secara pribadi dan santai. Dengan cara ini, atasan lebih mungkin mendengarkan kita dengan kepala dingin.
  3. Gunakan Pendekatan yang Diplomatis: Ketika berbicara dengan atasan, gunakan pendekatan yang diplomatis dan konstruktif. Alih-alih menuding atau mengkritik secara langsung, kita bisa menyampaikan perasaan kita dengan cara yang tidak menyinggung. Misalnya, kita bisa mengatakan, "Saya merasa agak terbebani akhir-akhir ini dan butuh dukungan lebih dari tim," daripada langsung mengatakan, "Anda nggak peduli dengan kerja keras saya." Pendekatan ini memungkinkan kita untuk tetap menjaga hubungan baik sambil menyampaikan pesan penting.
  4. Fokus pada Solusi, Bukan Masalah: Saat menyampaikan keluhan atau perasaan kita, penting untuk tetap fokus pada solusi. Alih-alih hanya mengeluhkan masalah, coba ajukan ide atau langkah yang bisa membantu menyelesaikan situasi. Misalnya, jika merasa terlalu banyak tugas, kita bisa mengusulkan prioritas yang lebih jelas atau meminta bantuan untuk mengatur ulang beban kerja. Dengan fokus pada solusi, atasan lebih mungkin merespons dengan positif.
  5. Kenali Batas Diri dan Ketahui Kapan Harus Mencari Bantuan: Jika situasi terus berlanjut dan tidak ada perubahan meskipun kita sudah berusaha berbicara, mungkin sudah saatnya mencari bantuan dari pihak lain, seperti HR atau mentor dalam perusahaan. Jangan ragu untuk melindungi kesehatan mental kita sendiri jika situasi menjadi terlalu berat.
  6. Bersikap Fleksibel, Tapi Tetap Tegas: Fleksibilitas penting dalam menghadapi atasan yang tone deaf, namun jangan biarkan fleksibilitas tersebut merugikan diri sendiri. Kita harus tetap tegas dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pekerjaan dan kesejahteraan pribadi. Jika kita merasa dimanfaatkan atau diabaikan, penting untuk menetapkan batasan dengan cara yang sopan namun tegas.

Menghadapi Dilema Antara Menghormati dan Menjaga Diri

Menghadapi atasan yang tone deaf sering kali menempatkan kita dalam dilema. Kita ingin tetap menghormati mereka sebagai pemimpin, tapi di sisi lain, ada kebutuhan untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan mental kita sendiri.

Dalam situasi ini, penting untuk mengingat bahwa menghormati seseorang tidak berarti kita harus mengorbankan kesejahteraan kita. Menjaga komunikasi yang terbuka dan jujur bisa membantu menjembatani kesenjangan tersebut.

Menghadapi Berbagai Reaksi

Saat kita berbicara dengan atasan tentang sikap mereka yang kurang peka, ada berbagai reaksi yang mungkin muncul. Ada atasan yang langsung memahami dan berusaha memperbaiki diri, tapi ada juga yang defensif dan merasa bahwa kita mengkritik mereka secara pribadi.

Jika ini terjadi, penting untuk tetap tenang dan tidak terlibat dalam konfrontasi yang tidak perlu. Kita bisa memberikan mereka waktu untuk merenung, atau, jika diperlukan, melibatkan pihak lain dalam perusahaan untuk membantu menyelesaikan masalah.

Akhir Kata

Menghadapi atasan atau orang yang seharusnya kita hormati yang tone deaf adalah salah satu ujian dalam perjalanan profesional yang bisa sangat menantang, bahkan menguras emosi. Namun, tantangan ini bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk tumbuh sebagai individu yang lebih bijak dan dewasa.

 Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan AI: Copilot.Microsoft 
 Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal diolah dengan AI: Copilot.Microsoft 

Pada dasarnya, kita semua memiliki keinginan yang sama untuk diakui, dihargai, dan dipahami. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kemampuan atau kesadaran untuk menunjukkan empati secara efektif.

Mungkin karena pengalaman hidup mereka sendiri, atau karena mereka terbentuk oleh lingkungan yang tidak peka terhadap perasaan orang lain. Tetapi ini bukan berarti kita harus menerima keadaan ini begitu saja tanpa mencari solusi yang sehat.

Dalam menghadapi atasan atau figur yang tone deaf, ingatlah bahwa kekuatan sejati terletak pada bagaimana kita merespons situasi tersebut. Kebijakan, kesabaran, dan keterampilan komunikasi menjadi kunci penting.

Tetaplah tenang dalam menghadapi ketidakpekaan mereka, namun jangan ragu untuk menyuarakan perasaan dan kebutuhan kita dengan cara yang konstruktif dan penuh hormat.

Tidak mudah untuk menemukan keseimbangan antara menghormati otoritas dan menjaga martabat diri sendiri, namun hal ini bisa dilakukan. Dengan belajar bagaimana berkomunikasi secara efektif dan menetapkan batasan yang sehat, kita bisa menghadapi situasi sulit ini dengan kepala tegak.

Penting untuk mengingat bahwa menjaga kesejahteraan diri kita adalah prioritas, dan itu bukan tindakan egois---melainkan langkah yang perlu untuk tetap produktif dan bahagia dalam lingkungan kerja.

Jika situasi terus berlanjut tanpa ada perbaikan, jangan ragu untuk mencari bantuan dari pihak lain atau mempertimbangkan opsi yang lebih baik bagi diri sendiri. Kadang-kadang, melindungi kesejahteraan kita mungkin berarti membuat keputusan yang sulit, termasuk berbicara dengan pihak yang lebih tinggi atau bahkan mempertimbangkan peluang baru di luar tempat kerja saat ini.

Pada akhirnya, pengalaman menghadapi tone deaf ini bisa menjadi pelajaran berharga dalam membangun kekuatan mental dan emosional. Kita belajar untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain, lebih bijak dalam menyikapi situasi, dan lebih tegar dalam menjaga integritas diri.

Kita pun bisa menjadi pemimpin yang lebih baik di masa depan dengan memastikan bahwa kita tidak mengulangi pola yang sama.

Semoga artikel sederhana berdasarkan pengalaman saya lebih 35 tahun di dunia kerja ini dapat menjadi pemandu dan inspirasi bagi mereka yang sedang berada dalam situasi serupa. Ingatlah bahwa dalam setiap tantangan, ada peluang untuk berkembang.

Tetaplah kuat, jaga martabat diri, dan hadapi setiap kesulitan dengan bijaksana. Terus semangat menghadapi tantangan ini, dan jangan pernah berhenti untuk belajar dan tumbuh.

Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun