Ketika Demokrasi Terkikis di Bawah Tirani Penguasa
Di balik keseharian yang terlihat tenang, ada suara yang semakin lantang di media sosial dan ruang publik. Banner bertuliskan "Peringatan Darurat" mulai bermunculan di berbagai platform, menggambarkan kekhawatiran mendalam masyarakat terhadap keadaan negara tercinta.
Kekhawatiran ini tidak muncul tanpa sebab. Di bawah tirani penguasa yang semakin dzalim, hukum dan konstitusi yang seharusnya menjadi pelindung hak rakyat justru dilecehkan. Negara yang dulunya berlandaskan demokrasi kini mulai menjauh dari prinsip-prinsip keadilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi: Hak Semua Partai untuk Mendaftar
Dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah bagi partai politik. MK menyatakan bahwa seluruh partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun yang tidak, berhak untuk mendaftarkan dan mengusung pasangan calon kepala daerah.
Keputusan ini bertujuan untuk memperkuat demokrasi dengan memberikan peluang yang lebih luas bagi berbagai partai politik untuk berpartisipasi dalam Pilkada, tanpa terhalang oleh batasan ambang batas yang sempit.
Respon Baleg DPR: Mengabaikan Putusan MK
Namun, hanya sehari setelah putusan MK dibacakan pada 20 Agustus 2024, Badan Legislasi DPR menggelar Rapat Panitia Kerja (Panja) untuk membahas RUU Pilkada. Dalam rapat tersebut, pada 21 Agustus 2024, Baleg DPR menyepakati bahwa penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya akan berlaku bagi partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Aturan ini kemudian dimasukkan ke dalam draf Pasal 40 RUU Pilkada.
Langkah ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Pengamat politik dan hukum menganggap keputusan Baleg DPR sebagai bentuk pengabaian terhadap amar putusan MK. Mereka menilai bahwa perubahan yang disepakati oleh Baleg DPR tidak sesuai dengan substansi putusan MK yang mengharuskan penurunan syarat ambang batas berlaku secara universal bagi semua partai, tanpa membedakan status parlemen atau nonparlemen.
Suara Rakyat dan Pembegalan Konstitusi
Di balik semua keterpurukan ini, rakyat tidak tinggal diam. Media sosial telah menjadi ruang baru untuk bersuara, tempat di mana mereka yang merasa tidak berdaya menemukan kekuatan untuk menyuarakan keprihatinan mereka.
Banner "Peringatan Darurat" menjadi simbol perlawanan damai, tanda bahwa rakyat tidak akan menyerah begitu saja terhadap ketidakadilan. Ini bukan hanya sekadar ekspresi frustrasi, tetapi sebuah seruan untuk bertindak, untuk menyadarkan semua pihak bahwa krisis ini nyata dan membutuhkan perhatian segera.
Penguasa saat ini tidak hanya berusaha mempertahankan kekuasaan tetapi juga menguasai seluruh struktur yang seharusnya menjadi pengawas mereka. Eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, kini semua berada dalam kendali penuh penguasa.