Dalam rangka menyambut Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-79, saya akan menceritakan sebuah perjalanan yang membawa saya lebih dari sekadar wisata. Perjalanan ini adalah ziarah yang membawa saya ke makam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotak, Kecamatan Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara---tempat yang menjadi saksi bisu atas pengorbanan besar seorang pahlawan nasional dalam melawan penjajahan demi kemerdekaan bangsa.
Mengunjungi makam Tuanku Imam Bonjol adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengingatkan kita akan arti sebenarnya dari pengorbanan dan perjuangan demi kemerdekaan dan keadilan. Tempat ini juga menjadi simbol persatuan, menunjukkan bagaimana seorang putra Minangkabau dapat menjadi bagian dari sejarah Minahasa.
Ziarah ke makam ini bukan hanya sekadar penghormatan kepada pahlawan nasional, tetapi juga menjadi momen refleksi diri tentang pentingnya mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Setiap langkah yang kita ambil menuju makam ini adalah sebuah pengingat akan semangat juang yang tidak pernah pudar, meskipun menghadapi tekanan dan kesulitan yang luar biasa.
Sejarah Tuanku Imam Bonjol: Pejuang Perang Padri
Tuanku Imam Bonjol, yang memiliki nama asli Muhammad Shahab, lahir pada tahun 1772 di Bonjol, Sumatera Barat. Beliau dikenal sebagai salah satu pemimpin utama dalam Perang Padri, yang berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini awalnya dimulai sebagai konflik internal antara kaum adat dan kaum Padri---sekelompok ulama yang ingin menerapkan hukum Islam secara lebih ketat. Namun, konflik ini kemudian berkembang menjadi perlawanan terhadap kolonial Belanda yang turut campur tangan dan mencoba memperluas kekuasaan mereka di wilayah Minangkabau.
Tuanku Imam Bonjol memimpin perlawanan dengan gagah berani. Beliau adalah seorang ulama, pemimpin agama, dan sekaligus seorang pejuang yang mampu menginspirasi rakyat untuk melawan penindasan.
Dengan taktik gerilya yang cerdik, pasukan Padri di bawah komando beliau mampu memberikan perlawanan sengit kepada Belanda, meski pada akhirnya mereka kalah karena superioritas militer Belanda yang didukung oleh persenjataan lebih modern dan taktik divide et impera (pecah belah) yang efektif.
Pada tahun 1837, Tuanku Imam Bonjol tertangkap oleh Belanda setelah melalui pertempuran yang sengit. Sebagai bentuk hukuman atas perlawanan gigihnya, beliau diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, sebelum akhirnya dipindahkan ke Ambon, dan kemudian ke Minahasa, Sulawesi Utara. Di Minahasa, beliau menghabiskan sisa hidupnya dalam pengasingan hingga wafat pada tanggal 6 November 1854.
Perjalanan ke Desa Lotak: Menyusuri Jejak Sejarah
Dalam perjalanan akhir pekan ke Danau Tondano, sebelum kembali ke Manado untuk pulang ke Jakarta, saya mampir ke kompleks pemakaman Tuanku Imam Bonjol di Desa Lutak di Kecamatan Pinleng, Minahasa.
Desa Lutak terletak di kaki pegunungan dengan suasana yang sejuk dan tenang, memberikan nuansa yang damai dan reflektif. Begitu tiba di kompleks pemakaman, saya disambut oleh sebuah taman yang asri dengan pepohonan rindang.
Dari tempat parkir, saya berjalan menuju bangunan bercat putih dengan arsitektur Bagonjong yang khas, menyerupai Rumah Adat Minangkabau. Bangunan ini memberikan nuansa Minang yang kuat, meskipun berada jauh di tanah Minahasa.
Untuk mencapai makam, beberapa anak tangga harus dilalui. Di dalam bangunan, saya disambut oleh sebuah makam sederhana yang dilapisi keramik putih. Pada batu nisan, tertulis sejarah singkat tentang Tuanku Imam Bonjol:
"Tuanku Imam Bonjol lahir pada tahun 1774 di Tanjung Bungo, Bonjol, Sumatera Barat. Wafat pada 6 November 1854 di Lota Minahasa dalam pengasingan Pemerintah Kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan Tanah Air, Bangsa dan Negara."
Tulisan ini mengingatkan saya akan perjuangan Tuanku Imam Bonjol yang gigih melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa. Beliau tidak hanya menjadi simbol perlawanan fisik tetapi juga perlawanan moral terhadap ketidakadilan.
Di salah satu dinding bangunan, terdapat lukisan yang menggambarkan Tuanku Imam Bonjol dengan jubah dan sorban putih, sedang mengacungkan pedang di atas seekor kuda. Lukisan ini mencerminkan semangat perjuangan dan keteguhan hati beliau yang tak pernah surut.
Mengunjungi Peninggalan Tempat Ibadah Tuanku Imam Bonjol
Selain berziarah ke makam, saya juga berkesempatan mengunjungi peninggalan tempat ibadah Tuanku Imam Bonjol yang terletak di bawah bangunan makam. Untuk mencapainya, saya berjalan melewati rimbunnya pepohonan jati dan bambu, serta menuruni beberapa anak tangga.
Tempat ibadah ini berada di sebelah aliran Sungai Malalayang yang jernih, menambah suasana khidmat dan spiritual. Di dalam bangunan tempat ibadah ini, terdapat sebuah batu besar yang digunakan sebagai alas salat oleh Tuanku Imam Bonjol.
Ketika saya mencoba untuk bersujud di atas batu tersebut, terasa nyaman dan pas di dahi dan lutut, seolah-olah batu ini memang telah disesuaikan dengan gerakan salat. Selain itu, terdapat juga sumur dengan air yang sangat dangkal, yang dapat digunakan untuk wudhu dan membasuh diri.
Refleksi Kepahlawanan: Pengorbanan yang Tak Terkira
Mengunjungi makam dan tempat ibadah ini memberikan saya waktu untuk merenung tentang makna kepahlawanan. Perjuangan Tuanku Imam Bonjol melawan penjajahan bukan hanya tentang pertempuran fisik, tetapi juga tentang mempertahankan martabat dan identitas bangsa.
Pengorbanan beliau, yang harus diasingkan jauh dari tanah kelahirannya hingga meninggal di pinggiran Kota Manado, adalah pengingat bagi kita semua bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah.
Pada saat kita memperingati Proklamasi Kemerdekaan ke-79, penting bagi kita untuk tidak hanya mengenang jasa para pahlawan, tetapi juga untuk meneruskan semangat perjuangan mereka. Tuanku Imam Bonjol telah menunjukkan kepada kita bahwa mempertahankan kebenaran dan keadilan membutuhkan keberanian, keteguhan hati, dan pengorbanan yang besar.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita dapat menerapkan nilai-nilai ini dengan menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa, serta dengan terus berjuang untuk kemajuan negara kita tercinta.
Kesimpulan: Ziarah Sebagai Bentuk Penghargaan
Ziarah ke makam Tuanku Imam Bonjol bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam. Dengan mengenang perjuangan beliau, kita diingatkan akan betapa mahalnya harga kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa ini.
Semoga perjalanan ini menginspirasi kita semua untuk terus menghargai dan melanjutkan perjuangan para pahlawan dalam menjaga keutuhan dan kemajuan Indonesia.
Mari kita sambut Peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-79 ini dengan penuh semangat dan tekad untuk membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)