Manusia diciptakan dengan segala ketidaksempurnaannya. Kesalahan adalah bagian dari kodrat manusia, tetapi bersama dengan kelemahan ini, manusia juga diberkahi kemampuan untuk memperbaiki diri, salah satunya melalui sifat pemaaf. Sifat pemaaf adalah salah satu kualitas yang paling mulia, tetapi tidak semua orang mampu dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Pertanyaannya, mengapa kita sering merasa mudah untuk memaafkan namun begitu sulit untuk melupakan? Apakah ini pertanda bahwa kita sebenarnya belum sepenuhnya memaafkan?
Fenomena "forgive but not forget" atau memaafkan tetapi tidak melupakan adalah sesuatu yang sangat umum dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Islam mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang pemaaf, sebagaimana tercermin dalam beberapa ayat Al-Qur'an.
Dalam Surat an-Nisa [4]: ayat 149, Allah SWT berfirman, "Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Kuasa." Ayat ini mengajarkan kita bahwa memaafkan adalah tindakan yang sangat mulia dan mendapat pahala yang besar dari Allah.
Namun, memaafkan bukanlah proses yang sederhana. Sebagaimana dijelaskan oleh para psikolog, memaafkan adalah proses yang melibatkan evaluasi mendalam terhadap reaksi emosional kita.
Michael McCullough, seorang psikolog, menyatakan bahwa memaafkan terjadi ketika kita tidak lagi termotivasi untuk membalas dendam, tidak menghindari orang yang telah melukai kita, dan benar-benar ingin berdamai dengan hati yang tulus.
Memaafkan adalah cara untuk melepaskan diri dari beban emosi negatif yang mungkin kita pikul, tetapi sering kali kita menemukan bahwa melupakan rasa sakitnya adalah bagian yang paling sulit.
Saat kita merenung lebih dalam, kita mungkin menemukan bahwa kesulitan untuk melupakan sebenarnya berkaitan erat dengan identitas personal kita. Harga diri, ego, dan rasa aman yang terguncang akibat pengalaman yang menyakitkan, sering kali membuat kita enggan melupakan peristiwa tersebut.
Hal tersebut diperkuat oleh berbagai penelitian psikologi yang menunjukkan bahwa keputusan untuk memaafkan sangat dipengaruhi oleh suasana hati, identitas sosial, dan keterikatan emosional yang kita miliki.
Misalnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Feng Jiang dan timnya di Central University of Finance and Economics di Beijing, ditemukan bahwa partisipan yang sedang dalam suasana hati yang bahagia cenderung lebih mudah memaafkan. Ini menunjukkan bahwa emosi positif memainkan peran penting dalam proses pemaafan.
Di sisi lain, penelitian Chelsea L. Greer dari Virginia Commonwealth University menunjukkan bahwa individu yang memiliki keterikatan kuat dengan komunitas agama mereka cenderung lebih mudah memaafkan anggota komunitas yang sama, karena adanya kesamaan identitas sosial yang kuat.
Namun, di luar konteks sosial dan emosional, memaafkan pada hari-hari biasa sering kali lebih sulit daripada saat momen-momen khusus seperti Lebaran. Mengapa kita lebih mudah memaafkan saat Lebaran? Karena pada saat itu, permaafan menjadi bagian dari identitas sosial dan religius kita.
Lebaran adalah momen spiritual yang memotivasi kita untuk memaafkan karena ia dianggap sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab kita sebagai umat beragama. Dengan demikian, identitas sosial kita sebagai seorang Muslim yang merayakan hari besar agama mendorong kita untuk memaafkan dengan lebih mudah.
Lalu, bagaimana caranya kita memaafkan dalam kehidupan sehari-hari? Pertama, kita perlu melakukan refleksi diri untuk memahami emosi dan alasan di balik rasa sakit yang kita rasakan. Kemudian, kita harus membangun komunikasi yang jujur dengan orang yang terkait, menunjukkan keseriusan kita dalam meminta atau memberikan maaf.
Langkah selanjutnya adalah memperbaiki diri dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, serta menjaga hubungan sosial yang baik melalui silaturahmi dan komunikasi yang berkelanjutan.
Dalam Islam, memaafkan bukan hanya tindakan mulia, tetapi juga perbuatan yang mendatangkan ketenangan hati. Allah SWT berfirman dalam Surat Asy-Syura [42]: ayat 43, "Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." Ayat ini mengingatkan kita bahwa kesabaran dan kemampuan untuk memaafkan adalah tanda dari kemuliaan hati.
Memaafkan memang bukan hal yang mudah, terutama ketika kita masih dibayangi oleh rasa sakit yang ditimbulkan. Tetapi dengan memaafkan, kita melepaskan diri dari belenggu emosi negatif dan membuka pintu untuk kedamaian batin. Meskipun melupakan mungkin tidak selalu bisa kita lakukan, memaafkan adalah langkah pertama menuju penyembuhan.
Dalam hidup, kita mungkin tidak selalu bisa menghapus kenangan buruk, tetapi dengan memaafkan, kita dapat melangkah maju dengan hati yang lebih ringan dan pikiran yang lebih tenang.
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa memaafkan bukan hanya sebuah tindakan, melainkan sebuah perjalanan. Dalam perjalanan ini, kita belajar memahami makna sebenarnya dari memaafkan dan mengapa melupakan mungkin tidak selalu menjadi pilihan yang tepat.
Namun demikian, kita juga harus memahami bahwa meskipun kita tidak dapat melupakan kesalahan, kita tetap dapat memilih untuk tidak membiarkan kenangan tersebut membebani hati kita.
Memaafkan adalah pilihan yang memberi kita kekuatan. Dengan memaafkan, kita tidak hanya membebaskan orang lain dari kesalahan mereka, tetapi juga membebaskan diri kita dari rasa sakit yang bisa menggerogoti kebahagiaan kita. Ini adalah langkah menuju kedamaian batin yang sejati---sebuah kedamaian yang datang dari kemampuan untuk melihat ke masa depan tanpa terus-menerus diwarnai oleh luka masa lalu.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering dihadapkan pada situasi di mana kita harus memilih antara membalas dendam atau memberi maaf. Memilih untuk memaafkan adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Ini menunjukkan bahwa kita memiliki kendali atas emosi kita dan tidak membiarkan rasa sakit masa lalu mendikte kebahagiaan kita di masa depan.
Pada akhirnya, "forgive but not forget" adalah tentang bagaimana kita bisa menggunakan pengalaman masa lalu untuk tumbuh dan menjadi pribadi yang lebih kuat. Kita tidak harus melupakan untuk memaafkan, tetapi kita harus belajar bagaimana melepaskan rasa sakit dan bergerak maju dengan hati yang lebih ringan dan penuh kedamaian. Memaafkan adalah hadiah yang kita berikan kepada diri sendiri, sebuah langkah penting menuju kehidupan yang lebih damai dan bermakna.
Semoga kita semua selalu diberikan kekuatan untuk memaafkan, menemukan kedamaian dalam proses tersebut, dan terus berkembang menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H