Pertama kali saya menginjakkan kaki di Kupang pada tahun 2008, karena tugas saya sebagai seorang AVP Perencanaan & Pengembangan di sebuah bank nasional mengharuskan saya mengembangkan cabang di daerah tersebut.
Saat itu, saya menyempatkan diri berkunjung ke Pantai Lasiana, yang terletak di Kelurahan Lasiana, Kelapa Lima, sekitar 12 km dari Pusat Kota Kupang. Pantai ini dihiasi dengan pesona pohon lontar, yang memberikan penampilan eksotis berbeda dari pantai-pantai lain di Nusantara yang biasanya ditumbuhi pohon kelapa.
Rasa penasaran saya terhadap pohon lontar semakin besar setiap kali saya berkunjung ke berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pohon lontar, atau Borassus flabellifer Linn, adalah sejenis palem yang tumbuh liar di daerah dengan ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut. Lontar diketahui berasal dari India dan Srilanka, kemudian menyebar ke Arab Saudi sampai negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, hingga Indonesia.
Masyarakat di NTT, khususnya di Pulau Sabu dan Rote, masih sangat bergantung pada pohon lontar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menyebutnya sebagai pohon al-hayat atau pohon kehidupan.
Di berbagai daerah, pohon ini dikenal dengan berbagai nama; di Jawa disebut siwalan atau rontal, di Bali tetap rontal, di Pulau Sabu disebut kepuwe duwe, di Rote disebut tua, dan di Papua disebut uga. Sebutan umum "lontar" mungkin berasal dari kata rontal yang berarti daun pohon tal.
Setidaknya ada 800 manfaat yang bisa diambil dari pohon lontar, mulai dari manfaat fisik hingga kimia. Air nira yang dihasilkan oleh lontar kaya akan gula, protein, vitamin C, dan beberapa mineral.
Di NTT, batang lontar digunakan sebagai bahan bangunan rumah, perabotan, dan perahu. Pelepahnya yang besar dan kuat digunakan untuk pagar dan tembok rumah, sementara daunnya yang lebar dimanfaatkan sebagai wadah penampung air, atap rumah, alat musik Sasando, dan topi adat Ti'i Langga.
Penyadapan Lontar di Pulau Sabu dan Pulau Rote
Dalam perjalanan di NTT, saya sering melihat pemandangan unik di tepi jalan, yaitu proses pengeringan gula lontar dalam bentuk lempengan-lempengan bulat seperti uang logam dengan ukuran lebih besar. Proses ini merupakan salah satu kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh banyak kepala keluarga di Pulau Sabu dan Pulau Rote.