Kesultanan Bone adalah salah satu kerajaan Islam terbesar di Sulawesi Selatan yang memiliki sejarah panjang dan kaya. Berdiri sejak abad ke-14 hingga abad ke-19, Kesultanan Bone bersama dengan Kerajaan Luwu, Kerajaan Wajo, dan Kesultanan Gowa merupakan kekuatan utama yang memerintah Sulawesi Selatan.
Kejayaan dan perjuangan kerajaan ini masih bisa dirasakan melalui peninggalan sejarah yang ada di Kota Watampone, pusat pemerintahan Kesultanan Bone.
Pada abad ke-16, Kesultanan Bone sempat jatuh ke tangan Kesultanan Gowa, yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan penduduk Bugis Bone. Salah satu putra Bone, Arung Palakka, bersekutu dengan Belanda untuk menaklukkan Gowa dan merebut kembali Bone. Namun, setelah itu, Bone jatuh ke pengaruh Belanda pada tahun 1666.
Pada awal abad ke-20, rakyat Bone kembali melawan Belanda dalam peristiwa yang dikenal sebagai Rumpa'na Bone pada tahun 1905. Perlawanan ini dipimpin oleh Raja Bone ke-31, Lapawawoi Karaeng Sigeri, dan putranya, Abdul Hamid Baso Pagilingi yang lebih dikenal sebagai Petta Ponggawae.
Meskipun perlawanan tersebut akhirnya gagal dan Bone jatuh ke tangan Belanda, semangat juang dan keberanian para pahlawan Bone tetap dikenang.
Mengunjungi Watampone: Jejak Sejarah di Bola Soba, Masjid Tua Al-Mujahidin, dan Pelabuhan Rakyat Bajoe
Sebagai traveler yang mencintai sejarah dan budaya, kunjungan saya ke Watampone adalah pengalaman yang tak terlupakan. Perjalanan sejarah saya dimulai dari Makassar yang berjarak 170 km dengan waktu tempuh sekitar 4 jam menuju Watampone menggunakan mobil melewati jalanan yang indah dan memberi saya kesempatan untuk menyaksikan langsung jejak sejarah dan kebudayaan Kesultanan Bone.
Destinasi pertama yang saya kunjungi adalah Saoraja Petta Ponggawae, yang lebih dikenal dengan sebutan Bola Soba. Rumah adat ini awalnya berfungsi sebagai istana Raja Bone ke-30, La Pawawoi Karaeng Sigeri, pada tahun 1890. Rumah ini kemudian ditempati oleh putranya, Baso Pagilingi Abdul Hamid, yang diangkat sebagai Petta Ponggawae (panglima perang) Kerajaan Bone.
Awalnya, rumah ini memiliki lima singkap timpa'laja, yang menunjukkan statusnya sebagai rumah raja. Namun, setelah ditempati oleh Petta Ponggawae, rumah ini diubah menjadi empat singkap, sesuai dengan statusnya sebagai rumah putra raja.
Pada tahun 1912, Saoraja Petta Ponggawae jatuh ke tangan Belanda dan digunakan sebagai markas tentara serta penginapan untuk tamu-tamu Belanda. Bola Soba juga pernah difungsikan sebagai istana sementara Raja Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-31, La Mappanyukki, pada tahun 1931, dan menjadi markas Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) serta asrama TNI pada tahun 1957.
Ketika saya mengunjungi rumah ini, saya terkesima dengan arsitektur dan nilai historis yang terkandung di dalamnya. Sayangnya, rumah yang menjadi salah satu kebanggaan warga Bone ini terbakar pada 20 Maret 2021, menjelang peringatan Hari Jadi Bone ke-691 pada 6 April 2021.
Namun demikian, saat saya berkunjung, saya masih dapat merasakan aura sejarah yang menyelimuti tempat ini. Meskipun dalam proses rekonstruksi, Bola Soba tetap menjadi simbol persahabatan, sebagaimana namanya yang berarti "rumah persahabatan."