Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menyusuri Jejak Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur

12 Juli 2024   07:54 Diperbarui: 12 Juli 2024   08:00 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal

Pagi itu, langit Samarinda cerah. Dengan semangat tinggi, saya memulai perjalanan menuju Tenggarong, sebuah kota yang kaya akan sejarah dan budaya berjarak 48 km dengan waktu tempuh sekitar satu jam.

Perjalanan ini akan membawa saya menyusuri jejak Kesultanan Kutai Kartanegara, salah satu kerajaan tertua di Indonesia yang pernah berkuasa di tanah Kalimantan Timur.

Sebelumnya, saya mempelajari bahwa Kesultanan Kutai Kartanegara memiliki akar sejarah yang kuat sejak abad ke-13 Masehi. Awalnya dikenal sebagai Kerajaan Kutai, entitas ini tumbuh dan berkembang di tepian Sungai Mahakam, yang menjadi jalur penting perdagangan dan kebudayaan di Kalimantan Timur. Sebagai salah satu kerajaan tertua di Nusantara, Kerajaan Kutai menandai permulaan peradaban di pulau Kalimantan.

Kesultanan Kutai Kartanegara mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan berbagai sultan yang bertahta di Tenggarong. Salah satu sultan yang paling diingat adalah Sultan Aji Muhammad Alimuddin, yang memerintah pada akhir abad ke-19.

Di bawah kepemimpinan Sultan Aji, kesultanan ini mengalami perkembangan signifikan dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Tenggarong menjadi pusat pemerintahan dan kekuasaan yang memancarkan pengaruhnya ke seluruh wilayah sekitar Sungai Mahakam.

Sungai Mahakam tidak hanya berfungsi sebagai jalur perdagangan utama, tetapi juga memperteguh posisi strategis Kutai Kartanegara dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan maritim lain di Nusantara. Keberadaan kesultanan ini menjadi pusat pertemuan budaya, di mana perdagangan rempah-rempah, barang-barang kerajinan, dan pertukaran intelektual berlangsung aktif.

Kesultanan Kutai Kartanegara juga terkenal karena keberhasilannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia Tenggara dan Tiongkok. Hal ini tercermin dari catatan sejarah yang mencatat kunjungan utusan-utusan dari berbagai kerajaan dan negara tetangga ke istana kesultanan di Tenggarong.

Dengan kejayaannya, Kutai Kartanegara tidak hanya mengukir prestasi dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga memberikan kontribusi penting dalam pengembangan budaya dan seni di wilayah Kalimantan Timur. Peninggalan sejarah seperti arsitektur istana, seni ukir tradisional, dan tradisi upacara adat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi warisan berharga yang terus dijaga dan dipelihara hingga hari ini.

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam dengan mobil, saya tiba di Tenggarong. Destinasi pertama saya adalah Museum Mulawarman, yang dulunya adalah istana kesultanan. Bangunan megah ini berdiri kokoh dengan gaya arsitektur Eropa, menandakan masa kejayaan Kesultanan Kutai Kartanegara. Memasuki museum, saya disambut oleh pemandu yang ramah dan bersemangat menceritakan sejarah kesultanan.

Di dalam museum, saya melihat berbagai koleksi peninggalan kesultanan. Singgasana Sultan dan Permaisuri yang berlapis emas, patung Lembu Suana, dan berbagai pakaian kebesaran para Sultan Kutai dipajang dengan megah. Saya terkesima melihat keindahan dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh kesultanan ini.

Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Saya juga belajar bahwa bangunan ini pernah menjadi pusat pemerintahan kesultanan sejak didirikan pada tahun 1936 hingga akhirnya diserahkan kepada pemerintah daerah Kalimantan Timur pada tahun 1971.

Setelah puas berkeliling museum, saya melanjutkan perjalanan ke Kompleks Makam Kesultanan Kutai Kartanegara. Kompleks ini menjadi tempat persemayaman terakhir lebih dari 140 anggota keluarga kesultanan. Di sini, saya merasakan kedamaian dan kesakralan tempat ini, yang dikelilingi oleh pepohonan rindang.

Saya mengunjungi makam Sultan Aji Muhammad Muslihuddin, sultan pertama yang dimakamkan di sini, serta makam-makam para sultan lainnya seperti Aji Muhammad Salehuddin, Aji Muhammad Sulaiman, dan Aji Muhammad Parikesit. Pemandu saya menjelaskan bahwa keberadaan kompleks makam ini mencerminkan upaya menyatukan makam keluarga kerajaan dalam satu lokasi.

Makan Raja-raja Kutai Kartanegara, Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Makan Raja-raja Kutai Kartanegara, Sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Namun, ada beberapa pengecualian seperti makam Sultan Muhammad Alimuddin yang terletak di perbukitan Kampung Melayu Tenggarong dan makam Panglima Awang Lor di Kelurahan Sukarame. Meskipun terpisah, setiap makam tetap memiliki cerita dan sejarahnya sendiri yang menarik untuk dijelajahi.

Perjalanan saya berlanjut ke Kedaton Kutai Kartanegara, yang terletak tepat di belakang Museum Mulawarman. Kedaton ini adalah istana baru yang dibangun sebagai bagian dari upaya pemerintah setempat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai.

Bangunan Kedaton ini diresmikan menjelang Festival Keraton Nusantara III pada tahun 2002. Secara arsitektur, Kedaton ini mengadaptasi bentuk istana lama yang dibangun pada masa Sultan Aji Muhammad Alimuddin, tetapi dengan konstruksi beton modern.

Kedaton Kutai Kartanegara, sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal
Kedaton Kutai Kartanegara, sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal

Memasuki Kedaton, saya terkesan dengan aula besar di tengahnya yang digunakan untuk acara-acara resmi kesultanan. Singgasana berlapis emas dan patung Lembu Suana menjadi pusat perhatian di ruangan ini.

Lantai bawah tanah Kedaton menjadi ruangan pameran memorabilia peninggalan kesultanan, termasuk foto-foto para sultan dan busana khusus untuk tari ganjur. Ruangan ini memberikan gambaran lengkap tentang sejarah dan kebudayaan Kesultanan Kutai.

Tidak jauh dari Kedaton, saya mengunjungi Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin. Masjid bersejarah ini awalnya dibangun pada tahun 1874 oleh Sultan Sulaiman dan kemudian diperbesar oleh Sultan Adji Muhammad Parikesit pada tahun 1930.

Masjid ini memiliki 16 tiang kayu ulin yang besar, yang awalnya digunakan untuk adat ritual permandian putra mahkota. Di dalam masjid, saya merasakan nuansa tradisional Kalimantan Timur yang kental, dengan atap tumpang tiga dan ventilasi beragam yang menghiasi bangunan.

Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal
Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Perjalanan sejarah saya di Tenggarong diakhiri dengan salat Dzuhur di Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin. Mengakhiri perjalanan ini, saya merasa sangat terhubung dengan sejarah dan budaya Kesultanan Kutai Kartanegara.

Perjalanan ini tidak hanya memperkaya pengetahuan saya tentang sejarah lokal, tetapi juga memberikan pengalaman spiritual yang mendalam. Saya berharap, dengan melestarikan situs-situs bersejarah ini, generasi mendatang dapat terus menghargai dan menjaga warisan budaya yang kaya ini.

Wasana Kata 

Perjalanan ini membawa saya melewati lorong-wisata sejarah yang kaya, mengungkapkan kejayaan dan keindahan budaya Kesultanan Kutai Kartanegara. Dari Museum Mulawarman yang megah hingga Kompleks Makam Kesultanan yang sakral, setiap langkah mengajak untuk merenung tentang perjalanan panjang sebuah kerajaan yang berakar dalam sejarah Nusantara.

Bagi para pelancong sejarah, Tenggarong menawarkan lebih dari sekadar jejak masa lalu. Kota ini memancarkan pesona modern yang beriringan dengan warisan budayanya yang kuat. Dari festival budaya hingga kuliner khas, setiap kunjungan ke Tenggarong adalah perjalanan ke dalam cerita masa lalu yang masih hidup dalam budaya dan tradisinya.

Untuk mereka yang merindukan kedamaian spiritual, Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin menjadi oase yang menghadirkan harmoni antara sejarah dan kehidupan sehari-hari. Di sini, aroma kayu ulin dan arsitektur klasik menyatu dalam keindahan yang mengingatkan akan keteguhan iman dan kejayaan masa lampau.

Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin, sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal
Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin, sumber gambar: Dokumentasi Pribadi Merza Gamal

Melalui perjalanan ini, saya berharap kita dapat terus menghargai dan menjaga warisan budaya yang telah ditinggalkan oleh Kesultanan Kutai Kartanegara. Semoga kisah perjalanan ini memberi inspirasi bagi generasi masa depan untuk menjaga dan melestarikan kekayaan sejarah Nusantara.

Dengan demikian, perjalanan napak tilas sejarah ini tidak hanya menjadi catatan pribadi, tetapi juga panggilan untuk terus menjaga dan memelihara keindahan warisan budaya Indonesia.

Terima kasih telah mengikuti jejak saya dalam menggali sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara. Semoga kita dapat bertemu lagi di destinasi lain yang sama bersejarahnya pada perjalanan berikutnya.

Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun