Usai maghrib, seorang tamu tiba di rumahku. Sapaannya mengejutkan, namun senyumnya yang hangat mengundang keramahan.
"Dari mana Anda?" tanyaku setelah membukakan pintu.
"Saya Sobari," jawabnya dengan rendah hati. "Anda pengurus masjid?"
Pertanyaan itu menarik perhatianku. "Ya, saya pengurus masjid. Ada hal apa yang bisa saya bantu?"
Sobari dengan lembut menjelaskan bahwa dia ingin memberikan sedekah untuk membantu menyelesaikan pembangunan masjid yang telah terkatung-katung selama hampir empat tahun. Namun, melihat penampilannya yang sederhana, ragu pun muncul dalam benakku.
"Berapa Anda bersedia sumbang?" tanyaku, mencoba memastikan niatnya.
"Saya ingin tahu berapa dana yang diperlukan untuk menyelesaikan masjid itu?" tanyanya dengan tenang.
"Kita butuh dana sebesar Rp 500 juta," jawabku dengan nada skeptis.
"Baik, Pak. Besok, kalau Bapak ada waktu, saya tunggu di Pengadilan Agama. Saya akan memberikan sedekah di hadapan hakim Agama," katanya. "Jam berapa Bapak ada waktu?" lanjutnya.
"Ya, lihat saja besok, Pak," jawabku, berharap dia segera pergi karena aku harus memimpin sholat isya di masjid.
"Baiklah. Ini nomor telepon rumah saya. Kalau Bapak siap, hubungi saya," katanya sambil pamit. "Permisi, saya pamit dulu. Rumah saya jauh," lanjutnya sambil berdiri dan pergi. Baru saya sadar, saya tidak menawarkannya minum.
Setelah selesai sholat isya, secara tidak sengaja saya menceritakan kedatangan tamu ke rumah kepada pengurus masjid. Tanggapan mereka sama seperti saya. Orang itu gila dan tidak perlu dilayani.
Keesokan harinya, salah satu pengurus meminta saya untuk menemaninya ke showroom mobil karena hendak menebus indent kendaraan yang dipesannya empat bulan lalu. Karena lokasinya tidak begitu jauh dari Kantor Pengadilan Agama, saya menawarkan kepada teman ini untuk singgah sebentar di sana. Awalnya dia sungkan, tapi akhirnya setuju.
Saya langsung menghubungi Sobari melalui telepon rumahnya. Dia langsung menyanggupi untuk datang, berjanji akan sampai di Kantor Pengadilan pukul 11 siang.
"Baiklah. Tapi saya tidak akan menunggu terlalu lama di kantor pengadilan. Kalau lewat setengah jam Anda tidak datang, saya akan pulang," kataku tegas, masih meragukan orang ini.
"Insya Allah," jawabnya.
Tepat jam 11, saya dan teman sudah tiba di pengadilan. Namun, Sobari belum juga datang. Lima menit kemudian, dia datang dengan menumpang becak yang langsung masuk ke halaman pengadilan. Bajunya sangat sederhana.
Teman saya tersenyum kecut melihat pemandangan itu. Bagaimana mungkin dia bisa menutup kekurangan pembangunan masjid.
"Mungkin kita yang gila. Mau-maunya menunggu dia. Tapi ya sudahlah, kita lihat saja," gerutu teman saya.
"Assalamualaikum," sapanya ketika sampai di dalam menemui kami.
"Ya, Bagaimana, Pak? Apakah bapak sudah membawa uangnya?" tanya teman saya langsung ke pokok persoalan.
"Ini, uangnya," katanya sambil memperlihatkan kantong semen di tangannya. "Mari kita temui petugas untuk membuat akta penyerahan sumbangan ini. Maaf, bukan saya tidak percaya, tapi ini perlu sebagaimana ajaran Al-Quran menyebutkan bahwa segala sesuatunya harus tertulis," katanya.
Sambil melangkah masuk menemui petugas pengadilan, Sobari langsung menyerahkan tumpukan uang di hadapan mereka. Petugas itu menghitungnya. Jumlahnya Rp 500 juta! Petugas itu kemudian menyerahkan formulir untuk kami isi. Setelah menandatangani formulir itu, uangnya pun berpindah ke tangan kami.
Melihat situasi yang diluar dugaan kami, timbul rasa malu dan rendah di hadapan Sobari. Ternyata dia menunjukkan kemuliaannya. Sementara kami dari awal meremehkan dan memandang sebelah mata padanya.
"Mengapa Bapak ikhlas menyumbang uang sebanyak ini? Sementara saya lihat, maaf, terlihat sangat sederhana. Mobil pun Bapak tidak punya," tanya teman saya dengan heran.
"Saya merasa sangat kaya karena Allah memberikan saya qalbu yang dapat memahami ayat-ayat Al Quran. Cobalah Anda bayangkan. Bila uang itu saya belikan kendaraan, maka manfaatnya hanya seumur kendaraan itu. Bila saya membangun rumah mewah, maka nikmatnya hanya untuk dipandang. Tapi bila saya gunakan harta untuk berjuang di jalan Allah demi kepentingan umat, maka manfaatnya tidak akan pernah habis," jawabnya dengan sangat sederhana namun menyentuh.
"Apa pekerjaan Bapak?" tanya teman saya.
"Saya petani kopi. Alhamdulillah, dari hasil kebun kopi, lima anak saya semua sudah menjadi sarjana dan sekarang mereka hidup sejahtera. Lima limanya sudah berkeluarga. Alhamdulillah, semua anak dan menantu saya sudah menunaikan ibadah haji," jawabnya.
"Bapak memang sangat beruntung. Apa resepnya hingga Bapak dapat mendidik anak yang sholeh?" tanyaku.
"Resepnya adalah dekatlah kepada Allah. Cintailah Allah. Cintailah semua yang Dia amanahkan kepada kita. Dan berkorbanlah untuk itu. Bukankah anak, istri, lingkungan, dan syiar agama adalah amanah Allah kepada kita semua? Bila kita sudah mencintai Allah dengan hati dan dibuktikan dengan perbuatan, maka selanjutnya hidup kita akan dijamin oleh Allah. Apakah ada yang paling bernilai di dunia ini dibanding kecintaan Allah kepada kita..."
Dia berlalu dengan menumpang becak. Sementara saya dan teman saya tak berani mendahului becak yang ditumpanginya. Toyota merek terbaru yang baru saya beli bulan lalu serasa tak mampu melewati becak itu.
Saya merasa malu. Malu dengan kerendahan diri saya di hadapan orang yang tawadhu namun ikhlas berjuang karena Allah. Mungkin penghasilan saya lebih besar darinya, tetapi saya merasa belum seikhlas dia. Saya menjadi merasa tak pantas menyebut diri ini mencintai Allah.
Keesokan harinya, suasana hati saya masih terguncang oleh pertemuan dengan orang yang begitu sederhana namun begitu besar keikhlasannya. Saya merenungkan kata-katanya yang sederhana namun mendalam, dan saya mulai mempertanyakan banyak hal tentang diri saya sendiri.
Pada saat itulah, saya menyadari bahwa kekayaan sejati tidak hanya terletak pada harta benda, tetapi juga pada keikhlasan hati dan ketulusan niat. Saya berjanji pada diri sendiri untuk belajar lebih banyak tentang arti sejati dari mencintai Allah dan berjuang di jalan-Nya dengan tulus dan ikhlas.
Penulis: Merza Gamal
Sumber: Sebagaimana diceritakan oleh seorang hamba Allah beberapa tahun lalu.
Note: Kisah ini saya tulis ulang dengan pembaharuan dari tulisan yang pernah diposting di akun facebook saya, https://www.facebook.com/share/p/JxLeK1C5yghqNYyz/ (28 Februari 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H