"Ya, Bagaimana, Pak? Apakah bapak sudah membawa uangnya?" tanya teman saya langsung ke pokok persoalan.
"Ini, uangnya," katanya sambil memperlihatkan kantong semen di tangannya. "Mari kita temui petugas untuk membuat akta penyerahan sumbangan ini. Maaf, bukan saya tidak percaya, tapi ini perlu sebagaimana ajaran Al-Quran menyebutkan bahwa segala sesuatunya harus tertulis," katanya.
Sambil melangkah masuk menemui petugas pengadilan, Sobari langsung menyerahkan tumpukan uang di hadapan mereka. Petugas itu menghitungnya. Jumlahnya Rp 500 juta! Petugas itu kemudian menyerahkan formulir untuk kami isi. Setelah menandatangani formulir itu, uangnya pun berpindah ke tangan kami.
Melihat situasi yang diluar dugaan kami, timbul rasa malu dan rendah di hadapan Sobari. Ternyata dia menunjukkan kemuliaannya. Sementara kami dari awal meremehkan dan memandang sebelah mata padanya.
"Mengapa Bapak ikhlas menyumbang uang sebanyak ini? Sementara saya lihat, maaf, terlihat sangat sederhana. Mobil pun Bapak tidak punya," tanya teman saya dengan heran.
"Saya merasa sangat kaya karena Allah memberikan saya qalbu yang dapat memahami ayat-ayat Al Quran. Cobalah Anda bayangkan. Bila uang itu saya belikan kendaraan, maka manfaatnya hanya seumur kendaraan itu. Bila saya membangun rumah mewah, maka nikmatnya hanya untuk dipandang. Tapi bila saya gunakan harta untuk berjuang di jalan Allah demi kepentingan umat, maka manfaatnya tidak akan pernah habis," jawabnya dengan sangat sederhana namun menyentuh.
"Apa pekerjaan Bapak?" tanya teman saya.
"Saya petani kopi. Alhamdulillah, dari hasil kebun kopi, lima anak saya semua sudah menjadi sarjana dan sekarang mereka hidup sejahtera. Lima limanya sudah berkeluarga. Alhamdulillah, semua anak dan menantu saya sudah menunaikan ibadah haji," jawabnya.
"Bapak memang sangat beruntung. Apa resepnya hingga Bapak dapat mendidik anak yang sholeh?" tanyaku.
"Resepnya adalah dekatlah kepada Allah. Cintailah Allah. Cintailah semua yang Dia amanahkan kepada kita. Dan berkorbanlah untuk itu. Bukankah anak, istri, lingkungan, dan syiar agama adalah amanah Allah kepada kita semua? Bila kita sudah mencintai Allah dengan hati dan dibuktikan dengan perbuatan, maka selanjutnya hidup kita akan dijamin oleh Allah. Apakah ada yang paling bernilai di dunia ini dibanding kecintaan Allah kepada kita..."
Dia berlalu dengan menumpang becak. Sementara saya dan teman saya tak berani mendahului becak yang ditumpanginya. Toyota merek terbaru yang baru saya beli bulan lalu serasa tak mampu melewati becak itu.
Saya merasa malu. Malu dengan kerendahan diri saya di hadapan orang yang tawadhu namun ikhlas berjuang karena Allah. Mungkin penghasilan saya lebih besar darinya, tetapi saya merasa belum seikhlas dia. Saya menjadi merasa tak pantas menyebut diri ini mencintai Allah.
Keesokan harinya, suasana hati saya masih terguncang oleh pertemuan dengan orang yang begitu sederhana namun begitu besar keikhlasannya. Saya merenungkan kata-katanya yang sederhana namun mendalam, dan saya mulai mempertanyakan banyak hal tentang diri saya sendiri.
Pada saat itulah, saya menyadari bahwa kekayaan sejati tidak hanya terletak pada harta benda, tetapi juga pada keikhlasan hati dan ketulusan niat. Saya berjanji pada diri sendiri untuk belajar lebih banyak tentang arti sejati dari mencintai Allah dan berjuang di jalan-Nya dengan tulus dan ikhlas.
Penulis: Merza Gamal
Sumber: Sebagaimana diceritakan oleh seorang hamba Allah beberapa tahun lalu.